11. Detak Jantung

5.4K 794 37
                                    

Pergerakan tangan Lova kian melambat setiap detiknya. Hingga akhirnya berhenti, tepat di bagian punggung kucing abu-abu yang saat ini tidur di pangkuannya. Syal yang sedang ia rajut juga jadi terbengkalai karena isi kepala Lova yang sedang tidak karuan. Ya, semenjak kejadian di petshop tadi sore, Lova jadi tidak bisa fokus untuk melakukan apapun. Dan yang patut di salahkan di sini, tentu saja Arvin.

"Ini semua ... bukan pertanda aku mulai ... emm ... suka ...." Lova menghentikan kalimatnya. Dia melotot dan membanting punggungnya ke sandaran kursi keras-keras. Perbuatannya itu bahkan sampai membuat kucing di pangkuannya terlonjak. "Sadar, Lova! Sadar!" Sekarang, tangan Lova sendiri sudah memukul kepalanya. "Ingat, tujuan kamu dari awal itu buat bantu Kak Arvin. Jangan aneh-aneh. Jangan belok ke tujuan lain, Lovata!"

"Meong."

Lova lantas menunduk, mendapati sepasang mata yang sedang menatapnya. Kucing itu seakan ikut berusaha menyadarkan Lova untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dia lakukan. Dan dalam perkara ini, sesuatu itu adalah menyukai Arvin yang memiliki banyak strategi untuk membuatnya bahagia. Itu menjadi tugas Lova untuk lolos dari strategi itu.

"Kalau kenyataannya aku suka sama Kak Arvin, gimana, Snow?"

Benar, yang dipanggil Lova sebagai 'Snow' di sini adalah kucing berwarna abu-abu yang sedang memandangnya. Memang tidak cocok, bahkan sempat menjadi bahan perdebatan Lova dan Arvin tadi sore. Namun, pada akhirnya, Lova yang menang. Atau lebih tepatnya, Arvin yang mengalah. Kucing bernama Snow tidak hanya selalu memiliki bulu berwarna putih, kucing berbulu abu-abu juga punya hak yang sama.

"Jadi, kamu mulai suka sama pacar pura-pura kamu itu?" Sebuah suara membuat Lova memutar kepalanya. Di ambang pintu, ada Vanka yang sedang berdiri sambil tersenyum penuh arti. "Wah ... kakak enggak nyangka kalau akhirnya bakalan kayak gini. Udah mirip cerita novel fiksi."

Dengan cepat, Lova memindahkan Snow menatap meja belajar. Dia berlari untuk mengunci pintu, lalu menarik Vanka duduk di ujung kasur. "Sssut! Kak Vanka ngomongnya jangan keras-keras. Bahaya kalau ketahuan sama ayah bunda." Lova ikut duduk di sana, tepat di samping Vanka. "Kak Vanka pernah suka sama cowok?"

"Kalau mengagumi pernah, sih. Sama ayah, sama mahasiswa berprestasi di kampus, sama dosen baik hati, kakak mengagumi mereka. Tapi, untuk perasaan suka sebagai lawan jenis, kayaknya enggak pernah." Rasanya, Vanka ingin tertawa kencang melihat wajah gusar adiknya. Wajah Lova seperti akan menghadapi Ujian Nasional. "Enggak usah tegang gitu, Va. Enggak salah kalau kamu suka sama Arvin. Dia tampan, baik, kayak yang sayang banget juga sama kamu."

Lova membanting tubuhnya ke atas kasur. Mengambil oksigen sebanyak mungkin, berharap jantungnya nanti bisa baik-baik saja kalau bertemu dengan Arvin lagi. "Aku merrasa salah aja, Kak. Niat aku dari awal kan cuma buat bantu Kak Arvin sembuh. Kalau aku malah suka sama dia, kesannya enggak tahu malu banget."

"Terus, dia yang tiba-tiba mengklaim kamu sebagai pacarnya, itu bukan enggak tahu malu namanya?" Vanka geleng-geleng kepala. Dia juga ikut berbaring, menatap langit-langit kamar Lova. "Kalau kalian sama-sama suka, kenapa enggak coba jalani hubungan yang sebenarnya aja? Selama itu enggak melanggar hukum sama norma, Kakak rasa enggak ada yang salah. Dan menurut kakak, belum tentu ada yang mau mengerti keadaan Arvin sekarang, kecuali kamu."

Diam-diam, Lova tidak menyetujui perkataan kakaknya. Secara kasat mata, tidak ada kekurangan yang menempel pada Arvin. Dia memiliki wajah tampan, otak cemerlang, bakat yang terus terasah sempurna, lahir dari keluarga berada, tulus pada orang lain. Para gadis akan begitu mudah menaruh hati padanya. Serta ada satu nama yang muncul di kepala Lova, seseorang yang mungkin saja akan menerima Arvin lengkap dengan sakitnya. Tamara.

"Aku merasa enggak pantas aja buat Kak Arvin," cicit Lova. Dia tahu, kakaknya sedang menatap dengan penuh bingung. "Kak Arvin ganteng, pintar, kapten tim basket sekolah. Sedangkan aku? Banyak yang bilang kalau aku enggak cocok sama dia, Kak."

Erotomania [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang