Helicopter Parenting

56 14 30
                                    

Dulu, sering curhat  ke teman kalau Bapak tuh protektif, kebanyakan nggak boleh. Pas kuliah, malah ada yang lebih parah dari saya, kepikiranlah bikin naskah yang tokoh ceweknya punya masalah kayak gitu, mulai risih di-protektifin bundanya.

Jadilah googling di sana-sini dan ketemu tentang di atas itu, pernah dengar istilah kayak gitu? Yup, istilah lain dari pola asuh orang tua yang overprotektif. Nggak lagi tentang anak yang baru bisa lolos bepergian setelah menjawab banyak pertanyaan (Bapak gini banget, astaga) atau orang tua yang kelewat sering menghubungi anak saat di luar rumah. Lebih dari itu, dalam pola asuh ini orang tua sepenuhnya turut campur terhadap aspek kehidupan anak mereka.

Lantas kenapa disebut helikopter? Sebab orang tua diibaratkan melayang-layang di atas untuk memantau apa pun yang dilakukan anak, persis helikopter, kan? Ada dua sumber berbeda mengenai kali pertama istilah ini digunakan. Tahun 1969 oleh Dr. Haim Ginott dalam bukunya “Between Parent and Teenager” yang diungkapkan oleh seorang remaja atas perlakuan ibunya yang persis helikopter. Sementara menurut sumber lain, istilah tersebut digunakan tahun 2000 ketika banyak orang tua yang mengeluhkan nilai anak-anak mereka pada profesor di universitas.

Contoh kecil dari helicopter parenting yaitu enggan membiarkan anak bermain di luar dengan dalih takut kotor atau terluka. Menyiapkan peralatan sekolah anak bahkan sampai mengerjakan tugas anak. Intinya, anak tidak akan mengerjakan sesuatu yang sulit karena telah diambil alih oleh orang tuanya.

Sekilas kayak enak banget, ya. Nggak perlu capek-capek gitu. Akan tetapi, ketika dilakukan terus-menerus malah berimbas pada kehidupan dewasanya. Misal, saat anak mulai bekerja.

Menurut seorang pakar psikologi, Amy Morin, dalam artikelnya menyebutkan setidaknya ada lima masalah bagi anak yang mendapatkan pola asuh seperti ini, di antaranya:

1. Bermasalah pada kesehatan

Ketika dewasa cenderung mengalami masalah kesehatan, ini terjadi karena sejak kecil seluruh aktivitas diatur oleh orang tua; kapan anak beritirahat, kapan memulai aktivitas, serta makanan apa yang perlu dikonsumsi.

2. Merasa berhak atas semua kemudahan.

Terbiasa memperoleh apa pun sejak kecil menyebabkan anak menjadi manja, pada usia dewasa, anak tentu kesulitan ketika menemukan kendala dalam hidupnya karena terbiasa selalu dimudahkan.

3. Kesulitan mengatur emosi

Studi yang ditunjukkan oleh University of Mary menyebutkan bahwa mahasiswa yang menerima pola asuh helicopter parenting cenderung mengalami depresi.
Bergantung pada obat-obatan
Di usia dewasanya, anak cenderung mengalami gejala anxiety bahkan depresi, hingga harus mengonsumsi obat-obatan. 

4. Kesulitan mengatur diri sendiri.

Anak menjadi manja, tidak produktif, dan kurang motivasi. Penyebabnya? Seluruh aktivitasnya telah diatur oleh orang tua hingga membuat anak kelabakan ketika suatu waktu harus hidup terpisah.

Keinginan semua orang tua melihat anak mereka bahagia, ketika dilakukan berlebihan seringkali membuat orang tua tidak sadar telah menerapkan cara yang salah dalam mendidik anak. Nah, apa saja pemicu helicopter parenting ini?

1. Tidak menginginkan anak mengalami apa yang dialami pada masa lalu.

Kurang kasih sayang atau hidup dalam kondisi terbatas bisa jadi penyebabnya. Orang tua tidak menginginkan hal serupa terjadi pada anaknya hingga berusaha memenuhi semua kebutuhannya. Tanpa disadari malah menjadi bumerang bagi dirinya dan anak.

2. Banyaknya berita negatif yang beredar.

Berita mengenai anak keracunan menjadi salah satu menyebab orang tua menjadi begitu ketat mengatur makanan anak seperti melarangnya jajan. Tidak membiarkan anak bermain di alam terbuka hingga selektif memilih teman-tema. Semata-mata agar anak tidak tertular penyakit. Padahal, sesekali tak mengapa anak mengonsumsi makanan di luar. Berteman pada siapa saja agar tumbuh iwa sosialnya.

3. Merasa bertanggung jawab atas kebahagian atau kesedihan anak.

Mood anak kadang sangat berpengaruh pada orang tua. Maka, ketika anak sedih, orang tua akan merasa bersalah ketika tidak bisa melakukan apa pun untuk mengembalikan keceriaan anak. Apalagi saat anak mengalami trauma, orang tua akan meningkatkan kewaspadaan dalam menjaga anak.

4. Tidak ingin melihat anak gagal
Tidak ada salahnya membiarkan anak gagal dalam melakukan sesuatu. Dengan kegagalan tersebut bisa jadi membuat anak semakin termotivasi mencapai keinginannya, bantuan terbaik adalah terus membersamai anak bukan dengan mengambil alih seluruh tanggung jawabnya.

ketika menyaksikan anak gagal dalam mencapai sesuatu yang diinginkan,
Saking inginnya anak bisa sukses, orang tua tanpa sadar telah bersikap sangat protektif terhadap anak. Padahal kegagalan bisa membuat anak untuk lebih kuat.

Sumber:

Gambar diambil di laman beauty journal-sociolla

https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/helicopter-parenting-pengaruhnya-pada-kesehatan-mental-anak-ejdg

https://today.line.me/id/article/Ini+Pendapat+Para+Ahli+Tentang+Pola+Asuh+Orangtua+Overprotektif-pGM5Eq

https://glitzmedia.co/post/parenting/motherhood/ini-alasan-orangtua-melakukan-helicopter-parenting

My Morning TeaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant