Chapter 9: Melepas Kenangan

10.8K 1K 32
                                    

Chapter 9
Melepas Kenangan

Ketika menjalani sesuatu dengan rasa gembira, apa yang ada di hadapan kita akan berwarna lebih cerah. Pagi ini aku melihat dedaunan hijau yang basah karena embun. Mendung pagi bergelayut tapi entah kenapa, rasanya bukan seperti membuat beban bagi siapa saja yang berada di bawahnya. Tanah basah, paving terasa basah, sisa hujan semalam. Bulan desember memang jagonya membuat suasana terasa syahdu.

Desember, saatnya bagiku mengucapkan selamat tinggal pada apa yang selama ini menjadi tempatku melarikan diri.

Sedari shubuh, aku sudah bersiap di tempat kos Alina. Aku menginap semalam, karena memburu waktu untuk berdandan pagi. Alina jago memakaikan make-up, jadi aku tidak perlu susah payah harus menyewa perias untuk menyambut hari ini.

Momen special. Hari ini adalah hari wisuda kami.

Setelah masa skripsi yang memuakkanku berakhir, aku langsung mendaftar untuk yudisium bulan lalu. Skripsi yang sungguh menyiksa dan ingin segera kuselesaikan tak peduli berakhir dengan hasil memuaskan atau tidak. Aku sudah tak peduli dengan nilai, yang penting aku bisa segera lulus.

Aku jengah, dengan sindiran mama mertuaku yang seringkali tidak menyukai aku menghabiskan waktu di kamar untuk mengerjakan draft skripsiku. Mas Ray tidak keberatan sebenarnya, bahkan dia memfasilitasiku dengan laptop dan printer lengkap untuk menunjang garapanku. Tapi aku yang tidak enak hati. Setelah kejadian mama drop karena aku, sebisa mungkin aku tidak membuat beliau merasa kesal.

Di tempat Alina, aku bisa tertawa. Karena sahabatku satu ini, selalu memiliki cara untuk membuatku merasa tidak sendiri. Padahal, dia tidak pernah mengetahui bagaimana kehidupanku setelah menikah. Yang dia tahu, aku sudah bahagia memiliki suami ganteng, baik hati dan penyayang.

Itulah alasan kenapa aku bisa merasa senang sekali pagi ini. Karena pagi ini, aku memulainya dengan gembira tanpa beban.

“Keluargamu datang, Nay?” bisik Alina di telingaku disela-sela barisan kami yang mulai ramai.

“Palingan mas Rayyan sih, yang datang,” jawabku berbisik juga. Siapa lagi? Rasanya tidak ada lagi yang peduli dengan kehidupanku selain lelaki itu.

“Orangtuamu? Mertuamu? Keluargamu kan dobel sekarang, Nay… harusnya yang datang semakin ramai, dong!”

Alina tak pernah tahu, bagaimana kondisi keluargaku. Dia hanya tahu, aku tidak kerasan di rumah orangtuaku. Mungkin dia menganggap wajar, karena dianggapnya aku sedang dalam usia tidak nyaman berdekatan dengan keluarga. Sedang dalam masa memberontak, sok dewasa, dan ingin mandiri. Biar saja, dia tidak perlu tahu sesungguhnya. Cukup dia menghiburku dengan keceriaannya.

Dan dia bahagia, saat melihatku menikah. Walau dia juga tidak tahu, bagaimana kondisi sebenarnya kehidupan pernikahanku yang dianggapnya “indah” itu.

“Yeeee… emangnya lagi hajatan apa? Wisuda gini doang.”

“Ehhhh jangan salah. Bukan cuma wisuda doang, tapi ini momen tahu! Momen dimana kita bisa diakui masyarakat sebagai manusia dewasa. Dimana-mana wisuda itu mengharukan! Momen sakral!”

“Kamu emang belum diakui sebagai orang dewasa, Lin!” gurauku

Welcome to the jungle, gitu mereka selalu bilang,”

Nayyara, Lost in MarriageWhere stories live. Discover now