Chapter 26

12.7K 845 6
                                    

Chapter 26
Masih pikiran Rayyan

“Maafkan saya, Mas!”

Brak!

Kulayangkan kepalanku tepat di rahangnya, tapi tak sampai membuatnya tersungkur. Sakit. Aku yang memukul, tapi buku-buku jariku yang malah kesakitan. Lelaki yang berdiri di depanku hanya diam saja menerima pukulanku barusan. Dia tak membalas, hanya tertunduk ketakutan. Dia tahu, kalau aku serius, dia bisa mati.

“Sampean bukan preman, Mas Banu,” desisku sambil mengangkat rahangnya kasar dengan dua jariku agar dia bisa melihatku. Sudut bibirnya pecah dan berdarah. “Ndak sepantasnya sampean sampai seperti itu.”

“Maaf, Mas… saya hanya menjalankan perintah bapak.”

“Memangnya bapak menyuruh sampean sampai meneror seperti itu? Kalau mereka sampai lapor polisi, sampean pikir bapak bakalan melindungi? Yang ada, bapak bakalan lepas tangan dan membiarkan sampean membusuk dipenjara dihajar preman sungguhan.”

Resiko yang kukatakan, dia bukannya tak memahami. Orang suruhan papa ini memang ditugaskan untuk hal-hal yang berbahaya. Hanya saja, aku tak menyangka, untuk urusan jodoh anaknya saja, papa sampai memerintahkan orang-orang suruhannya.

Aku tahu, itu bukan kesalahan mas Banu dan teman-temannya. Namun tetap saja, aku tak bisa menahan lagi emosiku.

Kayla tak berkabar, ternyata bukan tanpa alasan. Papa menyelidiki keluarga Kayla ketika mereka tahu aku bermaksud menyatukan kedua keluarga.

Semalam, papa menunjukkan bukti padaku bahwa ternyata Kayla, gadis alim yang berhijab yang ingin kunikahi itu, bukan dari keluarga baik-baik. Kumpulan foto ayahnya yang sedang mabuk-mabukan dan berjudi tergeletak di depanku. Juga ada sederetan angka menunjukkan hutang yang diemban keluarga mereka karena kebiasaan buruk ayahnya. Tidak sedikit, hampir mencapai 8 digit.

Papa tak akan pernah mengijinkan aku menikahinya jika latar belakang keluarganya seperti itu, betapapun baiknya Kayla.

Yang tak bisa kumaafkan, adalah terror yang mereka alami, dengan permintaan Kayla untuk menjauhiku. Sejumlah uang juga diberikan mama padanya. Entah dengan cara apa. Yang jelas, aku tahu, semua hal itu akan membuat Kayla tak akan pernah kembali. Harga dirinya jelas terluka. Dia jelas sakit hati.

Aku menyesal, alih-alih membicarakan baik-baik denganku, papa dan mama lebih memilih melakukan semua itu di belakangku.

Kuselipkan beberapa lembar uang ke kantong jaket mas Banu, lalu menepuk pelan pipinya yang sudah terlanjur kupukul tadi. “Sampean berobat, Mas. Maaf aku emosi sudah nggampar sampean.”

Mas Banu mengangguk singkat sebelum berpamitan.

“Ingat, Mas. Apapun perintah bapak ke sampean, aku ndak peduli. Aku tahu itu resiko itu sampean sudah tahu betul. Tapi, kalau sampai itu ada hubungannya denganku, aku harap sampean tahu diri tanpa harus kuperingatkan lagi.”

***

“Coba dulu  ketemu, Nak… siapa tahu, nanti cocok?”

Yang kuingat, itu adalah paksaan lembut cara mama untuk membuatku datang ke pertemuan ini. Waktu dan tempat, sudah ditentukan. Aku tinggal datang saja katanya. Bekalku hanya foto yang diberikan mama tempo hari, agar aku bisa mudah mengenali perempuan yang sedang dijodohkan denganku.

Anak dari kolega papa yang lain lagi. Bisa kulihat dari foto yang kuletakkan begitu saja di atas meja, dia bukan perempuan murahan. Itu artinya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, apa yang disandangnya bukan benda murahan. Kalau bukan ber-merk terkenal, bisa jadi edisi khusus. Aku bisa mengenalinya dalam sekali pandang. Dia memang cantik, bak model. Ukiran wajahnya, alis, mata, hidung, bibir hingga dagunya begitu proposional. Aku bukan tipe lelaki yang bisa menilai dan memuji kecantikan seorang perempuan.

Hanya saja, perempuan di foto ini memang cantik.
Sangat sesuai. Sungguh benar-benar cocok. Dengan mama tentu saja, bukan denganku. Perempuan yang tidak memalukan mata untuk dipandang dan juga bisa dibanggakan. Seperti istri adikku. Mama bahkan mengetahui dia sebagai artis instagram, walau mama tak pernah melihat foto-foto yang terunggah di sana.

Sayangnya, gambaran dari foto yang divisualisasikan ke wujud nyata yang sedang duduk di hadapanku ini ternyata sangat mengecewakan.
Oh, tidak. Aku bukan tertipu. Jangan salah sangka. Dia memang perempuan yang cantik persis di dalam foto.
Hanya saja, ketika mama membanggakannya sebagai gadis manis dan sopan cocok sebagai calon menantu mama, dihadapanku dia berubah wujud menjadi gadis yang berpakaian pun seperti kekurangan bahan. Pakaian atas, sangat rendah. Sedangkan bagian bawah sangat pendek. Berkali-kali aku harus memalingkan muka tak nyaman, walau disuguhi secara gratis.
Jauh-jauh aku ke Surabaya, hanya untuk menemui perempuan seperti ini. Ah, mama. Bagaimana bisa mama tidak mengenalku dengan baik? Bagian mana yang membuat mama berpikir aku akan cocok dengan perempuan yang sepertinya sangat terlihat nyaman dan terbiasa keluar masuk pub. Dia bahkan mengajakku bertemu di Gozadera, pub dan sekaligus resto yang terkenal di Surabaya  Yah, memang, tempat ini juga tempat buat makan dan nongkrong, tapi kebanyakan pengunjungnya juga jago mabuk.
"Kamu mau nginap dimana, Ray? Hotel?"
Usianya terlihat tidak jauh dari Naya, tapi dia sepertinya nyaman-nyaman saja memanggilku cukup dengan nama. Tanpa sebutan mas atau kak, layaknya panggilan ke orang yang lebih tua.
"Nggak, aku ada apartemen di Surabaya," jawabku menanggapi. Aku memang tidak menyukai apa yang disuguhkan padaku, tapi aku tak mau jadi lelaki yang tidak sopan. Lagipula aku tidak bohong. Yang kutuju apartemen punya papa. Sama saja kan, tempat untukku tinggal juga.
"Wow. Sama siapa di apartemen?"
"Sekarang sendiri, sih." Dan malam ini memang apartemen sedang kosong. Mungkin besok, asisten mama yang akan datang buat beberes menjelang aku pulang.
Namun anehnya, aku bisa melihat mata perempuan di depanku ini berbinar mendengar penuturanku. Aku bisa merasakan, sedikit demi sedikit, perlahan dia beringsut menggeser tempat duduknya mendekat padaku. Sikapnya pun, berubah menjadi lebih manja dan intens. Tertawa pada gurauan yang tidak lucu, berani memukul lenganku, atau juga sedikit mengusapnya terkadang, bahkan dia juga mulai berani memintaku menyuapi camilan untuknya.
Aku tahu apa niatnya. Dia terdengar girang waktu aku mengajaknya pulang. Keluar dari pub, tak ragu dikaitkan lengannya padaku. Ya Allah, perempuan ini. Aku ini lelaki yang baru dikenalnya. Baru pertama kali ditemuinya hari ini. Tapi sikapnya padaku bergelayut bagaikan kekasih yang sudah lama dipacarinya. Dan aku tahu, aku jelas membuat wajah cantiknya kecewa ketika kuturunkan dia di depan rumah orangtuanya tepat pukul 10 malam.
"Aku mau ke tempatmu, Ray! Ini masih sore," protesnya.
"Ini sudah malam, Dinda. Aku juga sudah capek. Mau ngapain kamu ke tempatku? Aku mau tidur."
"Nemenin kamu. Aku mau kita lebih dekat. Orangtua kita juga sudah setuju, kan?"
Aku hanya bisa menghela. Bergidik sebenarnya. Dengan sedikit paksaan, aku berhasil membuatnya turun dari mobilku. Ah, mobil papa sih. Ini pencitraan saja menurutku. Membawa mobil mahal untuk menemui perempuan yang mau dijodohkan. Padahal, mobilku sendiri cuma Panther tua keluaran taun 2000.
Aku muak. Sangat berbeda. Semua perempuan pilihan orangtuaku sama sekali tak ada yang bisa menyaingi Kayla. Secantik apapun mereka, tak ada yang bisa menggantikan pesona Kayla. Apa orangtuaku sendiri tak bisa memahamiku?
“Perempuan yang bagaimana lagi yang kamu pilih? Mama dan papa sudah berusaha mencarikanmu yang terbaik, tapi semuanya kamu tolak. Kalau kamu tidak suka dengan penampilan mereka sekarang, kamu bisa mengajarinya kan? Jangan Cuma berkoar-koar saja ingin menjadi imam yang baik, kalau menuntun istri saja tidak becus.”
Pada akhirnya, mama dan papa mengancamku. Tercoret dari daftar pewaris papa, aku tak peduli. Aku bahkan tak berminat meneruskan perusahaan papa. Semenjak aku tahu ada tangan-tangan mafia yang ikut campur di dalamnya, aku lebih memilih untuk berdiri dengan usahaku sendiri. Aku tidak mengatakan apa yang diperoleh papa bukan rezeki yang halal, hanya saja aku tak suka dengan cara kerjanya.
Bukan, bukan itu ancaman yang akan diberikan padaku. Orangtuaku mengancam, akan mengeluarkanku dari daftar keluarga.
Mereka tidak ingin mengakuiku sebagai anak lagi, jika aku tidak menikah sampai usiaku 28 tahun. Tahun depan.
***

Nayyara, Lost in MarriageWhere stories live. Discover now