Chapter 17: Bad Daughter in Law

10.7K 1K 47
                                    



Chapter 17

Bad Daughter in Law

Ketika pada akhirnya,

Yang menjadi sandaran

Adalah diri sendiri



Pertengkaran pertama kami. Lebih tepatnya, pertengkaran besar pertama sepanjang saling mengenal satu sama lain. Biasanya, sejak kami masih kecil sampai menikah saat ini, Mas Ray akan selalu berusaha melunakkan hatiku yang sedang kesal. Pun, ketika dia tak menyukai apa yang kulakukan, tak sekalipun kudengar suaranya yang meninggi. Dengan nada rendah dan penuh ketegasan, dia akan mengatakan apa yang tidak disukainya, dan aku akan menurutinya tanpa banyak pertanyaan.

Namun semalam, dia bukan saja sekadar meninggikan suara hingga hampir terdengar seakan bergetar. Mas Ray juga mencengkeram pergelangan tanganku dan menarikku ke sana kemari. Bersitegang dengan pendirian kami masing-masing, tanpa ada yang mau mengalah.

Aku hampir ketakutan menghadapi sikapnya yang tak pernah kuketahui sebelumnya itu, sampai -sampai aku memilih untuk bersembunyi di dalam kamar berpura-pura Danial masih membutuhkanku. Padahal, aku tahu dia masih menungguku di ruang kerjanya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang tentu saja tak bisa kujawab.

"Jangan-jangan sebenarnya malah kamu yang ngga bahagia selama ini?"

Haha. Memangnya aku harus menjawab apa?

Bahwa aku tertekan dengan pernikahan ini? Bahwa aku selalu ketakutan menjadi bayang-bayang wanita sempurna yang selalu ia cintai? Bahwa aku masih berharap, aku bisa pergi dari situasi dan lingkaran hubungan yang selalu menebarkan kebencian untukku? Agar aku tak perlu berurusan dengan dua keluarga ini.

Saat itu tiba, ketika aku harus meninggalkan keluarga besar ini untuk selamanya, itu artinya tidak akan ada mas Ray juga. Aku juga akan kehilangan dia yang selama ini ternyata memang selalu ada di sampingku sejak dulu.

Aku merasakan pipiku basah, entah sejak kapan anak sungai dari pusat netraku menghambur keluar tanpa bisa dicegah. Buru-buru kuusap dengan punggung tangan. Aku tak mau mas Ray yang duduk di meja makan dengan koran di depan wajahnya itu menyadari tangisanku.

Lelaki itu masih menikmati kopi yang racikannya telah kupelajari dari mamanya. Konon katanya itu sudah sesuai selera. Dia juga masih mau makan sarapan yang kusiapkan, walau kutahu itu bukan favoritnya. Aku tak pernah bisa masak seenak buatan mama mertuaku. Dan itu pula yang selalu menjadi ketidaksukaan mama Mas Ray terhadapku. Aku menantu yang tidak becus. Tak layak masuk dalam bagian keluarganya.

Mau bagaimana lagi? Aku menghela pelan. Jika terus bersamaku, mas Ray tidak akan pernah bisa bahagia. Mamanya akan terus benci dan merongrong mencari-cari alasan untuk membuatku menjadi istri yang tidak pantas mendampinginya. Jika aku tetap menjadi istrinya, maka rumah yang dia tinggali ini tidak akan pernah mendapatkan doa dari mertuanya. Karena mertuanya, kedua orangtuaku, tak pernah sudi untuk menginjakkan kaki di sini.

Pagi ini mas Ray meninggalkan rumah tanpa mengucapkan sepatah katapun padaku, bahkan tak membiarkanku mencium punggung tangannya untuk berpamitan. Dia mulai mendiamkanku. Semalam juga dia tak kembali ke kamar, malah tidur di depan TV di ruang tengah.

Seharian dia membiarkanku berpikir sendiri, tak sekalipun terdengar dering telepon darinya. Padahal, biasanya dia akan video call atau telpon dan chat sebentar sekedar menanyakan apa yang sedang dilakukan oleh anaknya. Tapi hari ini, ponselku tergeletak di meja nakas tak berguna.

Nayyara, Lost in MarriageWhere stories live. Discover now