CHAPTER 39: BERAKHIR TIDAK?

17.8K 1.1K 12
                                    

Bab 39
BERAKHIR TIDAK?


Menangis semalaman, benar-benar sebuah kesalahan. Kepalaku terlalu berat, bahkan rasanya melayang. Kopi pahit yang disajikan untukku di meja makan, belum bisa meredakan pengar.

Kurasa aku bahkan sekarang bisa berhalusinasi.

Aku melihat mas Ray duduk di depanku, bertopang dagu dengan satu tangannya lagi terlipat di depan dada. Dia memandangku lekat. Aku bahkan bisa melihat ada dua cangkir kopi di hadapanku.

Tersenyum sendiri aku dibuatnya. Bagaimana bisa aku berhalusinasi sampai seperti ini hanya gara-gara aku tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Padahal, aku juga tidak sedang mengkonsumsi obat apapun.

Mungkin aku terlalu rindu.

Kusesap lagi kopi pahitku yang sudah menghangat. Rasanya lumayan. Pantas saja Mas Ray sangat menyukai kopi, rasanya memang bisa menenangkan pikiran. Ah, pikiranku mengembara lagi padanya.

Tak ada pesan baru darinya. Kugulir layar ponselku yang tergeletak di atas meja ke atas dan ke bawah. Tak ada juga panggilan tak terjawab. Tanpa sadar bibirku memberengut kecewa.

Tentu saja, tak ada satupun pesan darinya kemarin yang kubalas. Mungkin dia sudah bosan.
Dadaku sesak lagi ketika aku membaca ulang pesan-pesan terakhir yang dia kirimkan.

[Aku benci ketika aku lupa menaruh kunci mobil, atau mencari kaos kakiku, nggak ada yang membantuku mencari]

"Memangnya aku google, apa?" Kuketuk layar ponselku kesal. "Aku yang nyari, langsung ketemu! Padahal udah ada tempatnya sendiri-sendiri. Kamunya aja yang nggak mau naruh barang pada tempatnya!" Aku jadi ingin mengomel sendiri.

[Aku benci, menyadari kopi buatanku yang dulu rasanya jauh lebih enak di lidahku, ternyata tak senikmat menyeruput kopi seduhanmu]

Lagi-lagi kutekuk bibirku menahan buncahan dada. "Memangnya kopi buatanku seenak itu? Seharusnya kamu bisa bikin yang lebih enak, kan, Mas?"

"Tapi kopimu tetap yang paling kurindukan, Dek...."

Tunggu. Apakah aku berhalusinasi lagi? Aku bahkan bisa mendengar suaranya! Tidak mungkin kan, kopi yang kuminum membuatku semakin tidak sadar?

Atau...

Aku tidak sedang berhalusinasi?

Kuberanikan diri mendongak memastikan pandang. Memang ada yang hadir di depanku, duduk bertopang dagu dengan tangan terlipat. Bagaimana aku bisa tidak menyadarinya?

Kedua alisku terangkat, dan bahkan aku tak berusaha menyembunyikan suara terkesiap yang lolos dari bibirku. Dia tersenyum dengan memandangku.

"Mas?" pekikku tertahan.

"Apa kabar?"

Ah, sapaannya itu. Aku tak pernah mendengar yang lebih menyenangkan dari kata-kata itu!

***

Aku tahu, berurusan dengan Eyang Uti tidak akan pernah mudah. Bahkan semenja k aku lahir sepertinya hidupku ditakdirkan terikat dengan beliau. Entah kenapa beliau begitu sayang padaku sampai berusaha melindungi hidupku seperti ini.

Namun, seharusnya keputusan bercerai, berpisah dengan lelaki yang selama ini kusebut suami, adalah mutlak hak yang kumiliki. Alih-alih membiarkanku berpisah dengan damai, Eyang malah mengerahkan bala bantuan.

Kepalaku berdenyut semakin keras. Entah kapan mas Ray datang, padahal semalam sepertinya dia masih mengadu sendirian di pembaringan. Dan tak lama menanggung keterkejutanku atas kehadirannya yang tiba-tiba, dua jam kemudian aku sudah berada di dalam pelukan mertuaku.

Kenapa mereka berada di sini?

"Tentu saja untuk mengajakmu pulang."

Ucapan itu terdengar sangat biasa dan tak ada apa-apa. Padahal aku seakan menahan napas mendengarnya.
Kenapa mereka terlihat seperti tidak terjadi apa-apa di depanku?

Aku seperti masih tak menapak di bumi, demi melihat pemandangan di depanku.

Diandra, berada dalam gendongan mama. Danial sendiri sedang membangun Lego baloknya dengan papa. Mas Ray? Dia berdiri di sampingku, merangkul pinggang dan menarikku lebih dekat dengannya.

Aku menghela berat. Sungguh, aku benar-benar tidak terbiasa dengan pemandangan ini. Apa aku mimpi?

Kulepaskan tangan mas Ray yang berada di pinggangku, dan diam-diam meninggalkan mereka pergi ke halaman belakang. Biar saja anak-anakku bermain dengan para eyangnya. Untuk apa aku melarang? Yang penting mereka sudah wangi dan kenyang.

"Dek..."

Panggilan itu tak membuatku menoleh. Rupanya mas Ray mengikutiku.

"Sudah lama rasanya aku ngga dengar kamu manggil aku kaya gitu, Mas."

Mas Ray menangkupkan kedua lengannya merengkuh bahuku dari belakang. Dagunya dia sandarkan di pucuk kepalaku.

"Memangnya aku manggil kamu apa? Sayang?"

Pelan, aku berusaha melepas dekapannya. Tapi dia malah semakin merapatkannya tak mau lepas.

"Tunggulah. Biar saja, jangan dilepaskan dulu. Aku masih ingin berlama-lama memelukmu."

Aku menyerah. Dekapan dari belakang ini semakin dia rapatkan. Aku bahkan bisa merasakan hidungnya mencium kepalaku.

"Kamu ngapain sih, Mas?"

"Merindukanmu."

"Mas.... Aku ngga bercanda..."

"Aku juga tidak."

"Mas~"

"Dek~"

Aku menghela berat. Ya Allah, kenapa seperti ini, sih? Tingkah mereka semua seakan tidak ada apa-apa sama sekali. Dan entah mengapa itu membuatku kesal. Sepertinya kepergianku selama ini bukan hal besar bagi mereka.

Tentu saja. Untuk apa jadi hal besar?

Sepertinya aku sendiri yang membesar-besarkan. Aku sendiri yang merasa menderita. Sedangkan mereka biasa saja.

Bodoh.

"Mas Ray."

"Hmmm?"

"Ayo kita bercerai."

Aku tak mendapatkan jawaban, karena dia hanya membisu.

Nayyara, Lost in MarriageWhere stories live. Discover now