Chapter 13: Lullaby

10.5K 976 42
                                    

Chapter 12

Lullaby

Lullaby,
To make me sleep tide
To send me the ocean of dreams
To tender and softened heart that just flaw

“Mas!”

Pekikan tertahan itu membangunkan Mas Ray. Ah, mungkin bukan karena pekikanku, tapi karena cengkeraman kuat yang kusematkan di lengannya. Dia tersentak dan langsung terjaga dari tidurnya. Dia langsung waspada dengan muka sedikit linglung menatapku meringis kesakitan.

Sesungguhnya aku tidak tega membangunkannya karena kutahu dia sangat lelah sepulang dari mengisi salah satu workshop di luar kota tadi sore. Tapi aku sendiri tidak tahan lagi. Saat dia sempat terlelap tadi, aku sendirian terjaga meringis menahan gelombang rasa sakit yang mulai dari pelan, tak tertahankan, hingga sampai membuatku memekik kesakitan.

“Datang lagi?” tanyanya seraya balik menggenggam tanganku. “Coba atur nafas pelan-pelan.”

“Dari tadi juga nafas pelan-pelan, ya Allah…” desisku tak sabar sekaligus menahan sakit.

Mas Ray tersenyum tipis, mungkin dia menahan tawa mendengarku mengadu. Bisa-bisanya dia menertawakanku. Menyesalku telah membangunkannya. Tahu begitu, biar kurasakan sendiri rasa sakit ini diam-diam. Dia pikir ini lucu apa?

Kubalikkan badanku memunggunginya pelan-pelan. Mendesis menahan sakit. Dengan perut yang sudah besar begini, aku kesulitan bergerak lebih cepat. Aku tak tahu bagaimana caranya mengatasi serangan rasa sakit di bagian bawah perutku ini. Sudah kubaca segala referensi, tapi hasilnya nihil. Menahan nafas, mengatur nafas satu dua tiga, membaca segala dzikir, surat-surat pendek yang kuhafal, nyatanya tetap saja terasa sakit kontraksi di bawah perutku ini.

Apalagi, saat periksa ke bidan semalam, jawabannya membuatku semakin pusing. Sudah sejak dua hari yang lalu ketika aku pertama kali merasakan gelombang rasa sakit kontraksi, saat itu bidan yang memeriksaku mengatakan masih bukaan satu.
Dan semalam, ketika kupikir aku sudah merasakan serangan luar biasa yang jauh lebih sakit dari kontraksi awal, bidan itu tetap mengatakan masih bukaan satu. Terlalu dini untuk dibawa ke tempat persalinan, katanya. Untung saja mas Ray sudah pulang, jadi aku tak khawatir sendirian lagi.

Ya Allah, berapa lama rasa sakit ini harus terasa? Aku sudah hampir tidak kuat. Dua hari kesakitan, tanpa mampu menghitung, apakah sakitnya terasa berjeda atau tidak. Mengatur nafas sekenanya, karena aku sendiri tak tahu caranya. Yang kurasakan, sakitnya terasa semakin sering dan semakin sakit. Bagian bawah perutku serasa terbakar, melilit, diperas dan seakan ada yang menekan dan terus mendesak. Perih, sampai membuat kepalaku terasa berputar dan nafasku tertahan pendek.

“Dek?” panggil mas Ray terdengar ragu dan khawatir di telingaku. 

Dengan tangannya dia mengelus punggungku mencoba mengurangi rasa sakitku. Namun sayang, tidak sedikitpun berkurang. Malah rasanya semakin menjadi. Aku sendiri sudah tak kuat merubah posisiku yang masih meringkuk memunggunginya.

Mas Ray menarik bahuku demi melihat ekspresiku yang sama sekali tidak elok. Dia terlihat sedikit terkejut.

“Kamu pucet banget, Dek…” desisnya. Aku tahu itu. 

Dia tak perlu memberitahukupun aku juga sudah tahu mukaku pasti pucat sekali. Keringat dingin menjalari tengkuk sampai ke punggungku. Bulir-bulirnya kurasakan membasahi keningku. Aku berusaha membuka mataku lebih lebar, tapi sia-sia. Tiba-tiba pandanganku mengabur, kepalaku terasa sangat berat dan sakit. Dan semuanya perlahan terlihat gelap.

***

Ketika kubuka mataku, hal yang pertama kulihat adalah warna putih yang tak terhingga. Lalu warna putih itu berubah menjadi sebentuk wajah yang kukenal memandangku dengan senyuman khawatir. Baru beberapa saat aku menyadari jika warna putih tadi karena aku sedang berada dalam ruangan serba putih yang asing. Bukan kamarku kurasa.

Nayyara, Lost in MarriageDonde viven las historias. Descúbrelo ahora