Chapter 18: Unexpected

10.4K 1K 23
                                    


Chapter 18

Unexpected Happening

I had my greatest time of all

Reach the bottom of the ocean

And find the gloom won't always had sorrows

It had pleasure too



Dia sudah berdiri tegak di dekat pintu. Di tangannya ada gulungan koran baru. Aku baru sadar, kalau dia baru saja dari luar rumah. Mungkin memang kondisi tubuhnya sudah membaik, dan tak lagi selemas kemarin. Rona wajahnya juga terlihat lebih sehat.

Kusiapkan teh hangat di meja depan televisi untuknya, sebelum mulai menyiangi sayur dan mengupas bumbu yang akan kumasak. Kesempatan sebelum Danial terbangun.

Dia tak mengucapkan apa-apa ketika duduk dan menghirup teh hangat itu sedikit demi sedikit. Aku sendiri mulai kaku. Apakah aku yang harus memulai percakapan? Atau menunggunya menyapa? Entahlah, kepalaku pening. Aku terlalu pusing memikirkannya. Aku pikir aku harus melakukan sesuatu, tapi aku tak tahu harus memulai darimana.

Dering telepon membuyarkan lamunanku. Kudengar mas Ray mengucapkan sepatah dua patah kata sebelum menutupnya. Hmm... baru juga sembuh sebentar, sudah sibuk lagi. Pikirku.

"Nay, tinggalin sayurnya dulu," ujar mas Ray yang tiba-tiba sudah berada di belakangku. Aku kaget.

"Kenapa? Katanya mau kumasakin?"

"Papa jatuh, nggak sadarkan diri."

Kepalaku tersentak kaget menoleh gugup menghadapnya. Papa?

"Bawa Danial. Kita ke rumah sakit sekarang," sahutnya sambil berlalu dari hadapanku, tak repot-repot menjawab pertanyaanku.

***

Papa mas Ray masuk ICU.

Di perjalanan tadi mas Ray baru menjelaskan padaku bahwa papanya tiba-tiba jatuh shubuh tadi di kamar mandi. Fahri yang mengabari, sebelum dia harus berangkat ke bandara untuk urusan bisnis keluar negri. Istri dan anaknya ikut, karena sudah terlanjur memesan tiket.

Mama mertuaku terlihat sangat cemas duduk di ruang tunggu depan ICU. Beliau berdiri, berjalan berputar-putar kesana kemari, kemudian duduk lagi. Mengatupkan kedua tangannya dengan cemas. Pandangan matanya terlihat redup dan basah.

Bagaimana tidak? Belahan jiwanya sedang terbaring tak sadarkan diri dan kabar terbaru belum didapatkannya. Sudah satu jam sejak masuk ruangan itu, dan kami belum diperbolehkan masuk menemui papa. Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang anfal.

Mas Ray duduk di samping mamanya, merangkulnya mencoba menenangkan. Sepertinya mama bisa lebih tenang ketika mas Ray memegang tangannya dan mengatakan semua akan baik-baik saja.

Seharusnya, di saat seperti ini Fahri ada di sini juga menemani mama. Apa dia tidak khawatir dengan kondisi orangtuanya sendiri? Kenapa memaksakan untuk berangkat pagi ini juga? Aku tak mengerti urusan bisnis. Tapi tidak sepatutnya mereka meninggalkan orangtua dalam kondisi sulit.

"Kenapa Fahri berangkat juga, Ma?" Aku mendongak mendengar mas Ray menyuarakan pikiranku.

"Mau gimana lagi? Ada rapat besar dengan perwakilan dari Sydney. Dia nggak bisa membatalkannya gitu aja. Ella harus mendampingi Fahri. Mana bisa dia mengurus diri sendiri tanpa istrinya?"

Begitu rupanya. Aku mengangguk pelan. Tapi tetap saja, bagiku, sedikit tidak benar. Aku yang mendambakan merawat dan dekat dengan orangtuaku rasanya tidak bisa menerima ketika ada kesempatan seperti itu, seorang anak malah pergi meninggalkan orangtuanya.

Nayyara, Lost in MarriageWhere stories live. Discover now