Chapter 27: Menikah Itu Pilihan

14.1K 933 11
                                    

Chapter 27

MENIKAH ITU PILIHAN

Tatapan mata yang berada di hadapanku ini terasa menguliti, tajam, penuh dengan emosi yang tak berani kuartikan. Mungkin aku anak yang bengal, sering tak mengindahkan apa yang dititahkan orangtua. Namun, di hadapan beliaulah satu-satunya masa ketika aku tak berani berkutik. Menajamkan lidah dan memangku kerasnya kemauan, hanya bisa luruh ketika aku mengutarakannya pada beliau. Eyang Uti.

"Alasanmu piye? Balenono maneh." Suara tenang itu malah membuatku berkeringat dingin. Jika orangtuaku saja tak berani mengangkat muka, bagaimana bisa aku mengucap kata ketika tertahan pada situasi ini?

"Itu satu-satunya cara untuk bisa membantunya, kurasa. Melindunginya lebih baik lagi," cetusku setelah terdiam selama beberapa saat.

"Bukannya itu cara untuk membantu dirimu sendiri?"

Kutelan ludah yang pahit. Aku jadi yakin, Eyang memiliki kemampuan membaca pikiran.

"Benar." Aku mengakui, percuma berkilah. "Tapi, Ray pikir juga tidak ada jalan lain. Ray belum bisa, belum nemu, calon istri yang sesuai. Pilihan papa dan mama, Eyang tahu sendiri bagaimana mereka. Selalu kuceritakan, bukan? Mereka mungkin cocok menjadi menantu mama dan papa, tapi bukan sebagai istri Ray. Selama ini, yang Ray kenal dengan baik cuman Naya. Dia juga yang paling bisa mengerti Ray."

"Lha kamu sendiri? Opo wis cukup iso ngerteni Nayara? Pernikahan itu bukan Cuma untuk keuntunganmu sendiri, ada pihak lain yang harus kamu bahagiakan. Istrimu. Jangan Cuma mencari siapa yang cocok denganmu. Tapi kamu sendiri lupa, apakah kamu cocok untuk dia?"

Embusan napasku terasa berat, aku tahu mendapat restu Eyang Uti tidaklah mudah. Namun, ketika ijin beliau kudapatkan, aku yakin segalanya akan jauh lebih mudah. Terutama dengan para orangtua. Mereka berempat tidak akan pernah bisa menolak apa yang dipinta Eyang.

"Jangan khawatir, Ray tidak akan lupa untuk menanyakan itu padanya. Ini Rencana Ray, memang. Tapi Ray juga butuh persetujuan dari dia juga, kan?"

Kulihat Eyang mengangguk samar.

"Lagipula, menjadi halal dengannya, akan mempermudah Ray untuk melindunginya, Eyang. Dia sudah terlalu lama berada di sana, tanpa tahu kebenarannya. Eyang juga tahu, kan? Dia harus keluar dari rumah itu terlebih dulu."

Kali ini, aku mendengar helaan berat Eyang Uti yang tak ditutup-tutupi. Membahas anak gadis kesayangan Eyang Uti, yang terakhir berada di pelukan ketika usianya bahkan belum genap satu bulan itu, selalu membuat Eyang merasa sentimental.

Bagaimana tidak, bayi Naya yang tak berdosa itu hampir saja terlantarkan oleh orangtuanya sendiri. Pernikahan kedua om Andre yang disembunyikan, selalu membekas luka hingga kini. Istri simpanan om Andre, ibu yang melahirkan Naya, meninggal sesaat setelah gadis itu lahir. Tante Inggrid yang tak mau menerima kehadiran Naya, meminta om Andre membuang bayi selingkuhan itu.

Eyang Uti, yang memaksa mereka menerima bayi itu. Bahkan Eyang juga yang memberikan nama untuk Nayara. Mungkin sekarang beliau menyesal, meninggalkan bayi kecil yang senyumannya selalu membiusku itu di rumah yang tak pernah memberikannya kasih sayang.

Usiaku 8 tahun ketika aku mulai menyukai senyuman itu. Genggamannya di jariku ketika dia menikmati tidurnya, membuatku ingin selalu menemaninya. Ya, aku menyayangi Naya bahkan sejak dia masih bayi. Perlakuan tidak adil yang diterimanya pun juga bisa kupahami dengan baik seiring waktu. Dia yang tak pernah diperkenalkan secara umum sebagai anak kedua keluarga Andre, akan dengan senang hati kuakui sebagai adik perempuanku.

Namun sayangnya, perlindunganku kepadanya terbatas begitu dia mulai dewasa. Aku tak bisa mengusap kepala menenangkannya lagi ketika dia diam-diam menangis. Aku tak bisa sembarangan menyentuhnya. Betapapun kuanggap dia adikku, dia tetap bukan mahramku. Aku harus menahan diri, untuk tidak memeluknya ketika dia terlihat terjatuh. Sedangkan sumber derita dia Cuma satu, keluarga yang tak pernah menerimanya.

Nayyara, Lost in MarriageWhere stories live. Discover now