Epilog

35.2K 1.6K 145
                                    

Aku tak pernah mengira, kembali ke tempat ini lagi, setelah babak belur melarikan diri sebelumnya.

Berusaha keluar dari tempat yang pernah membuatku begitu terluka, dan hampir gila, tapi sekarang, merangkak lagi masuk demi sebuah ridho.

Tak begitu banyak kenangan manis di setiap sudut dari tempat ini, tapi ada bagian-bagian yang selalu mengingatkanku akan rasa sakit.

Pintu di depanku ini, pernah menjadi kawan saat aku menatap seluruh keluargaku pergi bahkan tanpa lambaian tangan sampai ketemu nanti.
Merengek ingin menuntut kenapa hanya aku yang selalu ditinggal sendirian, hanya sempat mampir di ingatanku. Tanpa kuberi kesempatan tuntutan itu untuk keluar dari bibirku.

Aku selalu berpikir, sudah sewajarnya bahwa aku yang selalu ditinggal. Mungkin karena aku selalu merepotkan, atau mungkin karena masih terlalu kecil. Padahal, sepanjang ingatanku, aku bukan anak kecil yang suka membuat masalah.

Kutoleh jendela lantai dua, yang dulu pernah menjadi kamarku. Sempat sekali aku mampir ke sana lagi setelah aku menikah dengan mas Ray. Itu ... satu-satunya kenangan ma1nis yang terselubung pedih. Hari itu, untuk pertama 1 Mas Ray menciumku, setelah aku menolak lamaran orang yang pernah membuatku jatuh cinta.

Hanya hari itu. Selebihnya, kamar itu menjadi satu-satunya tempat pelarianku saat aku ingin sendirian di neraka ini.

Dari beranda, aku bisa melihat jalan menuju halaman belakang. Ya, di situ, di halaman itu, mama pernah murka karena mengetahuiku diam-diam menulis cerita khayalan. Membakar semua tulisan yang kukumpulkan selama bertahun-tahun.
Saat itu aku hancur, tapi tak tahu apalagi yang harus kulakukan.

Aku merasakan gamitan pelan di tanganku. Hangat. Tangan Mas Ray menggenggam ku lembut.

"Aku harus bilang apa?"

Mas Ray tidak langsung pertanyaan itu. Kurasa dia sendiri juga tak tahu harus menjawab apa.

Ini adalah masalahku dengan orangtuaku. Orang-orang yang kuanggap orangtuaku, setidaknya.

Berbicara dari hati ke hati, dengan mama atau papa. Aku tak yakin apa bisa kulakukan. Sedangkan selama ini aku tak pernah berbicara dengan selayaknya dengan mereka.

Sekedar formalitas. Sekedar tanya dan juga menjawab.
Tak pernah ada obrolan berarti.

Lalu, apa yang akan aku bicarakan saat ini?

Ragu, tanganku terulur hendak mengetuk ketika pintu tiba-tiba terbuka.

Aku terkesiap. Belum cukup siap hatiku bertaruh, sudah ada mama berdiri di depanku.
Kami bertatapan tanpa sedikitpun suara mampu terlepas dari bibir masing-masing.

"Assalamualaikum, Ma." Suara mas Ray memecah kesunyian kami. Dia yang memulai meraih tangan mama menyalaminya untuk kemudian kuikuti.

Segan, kaku, takut. Pikiranku seperti terhenti tak bisa berjalan. Hanya membeo mas Ray, agar tidak terlalu kentara bahwa aku kini bak patung yang berbentuk namun tak punya pikiran sendiri.

"Dimana anak-anak?" Pertanyaan yang tak pernah kuduga keluar dari mama.

"Lagi sama Eyang Uti. Diajak jalan-jalan. Mumpung lagi di Malang, " jelas mas Ray. "Lain kali kami ke sini lagi bawa anak-anak kok, Ma."

Anak-anak sengaja tidak kuajak, Eyang dan mertuaku yang meminta agar aku dan mas Ray berangkat ke sini hanya berdua. Mereka tahu, aku harus mengurai satu lagi ikatan yang terlanjur kusut tanpa harus terganggu.

Mama mengangguk. Tanpa kata, beliau memberi jalan untuk kami masuk dan menunjuk sofa ruang tamu untuk mempersilahkan kami duduk. Sedangkan mama duduk di sofa panjang yang terletak di sebelah kiri kami. Di sofa panjang itu, mama duduk di tengah, bahkan tidak mendekat ke arah tempat kami.

Nayyara, Lost in MarriageWhere stories live. Discover now