Chapter 29: Rahasia Eyang

14K 1.1K 15
                                    

Bab 29
Rahasia Eyang

Menjadi orang tua tunggal, sama sekali tak pernah ada dalam bayanganku. Aku pernah bermimpi, menjadi orang yang bahagia sendirian.

Lulus kuliah, hanya salah satu pencapaian yang ingin kulakukan agar tidak menjadi beban lagi bagi orangtuaku.

Setelah lulus, aku ingin sekali bisa menghidupi diriku sendiri, tanpa merepotkan siapapun lagi. Aku ingin bekerja. Dengan keras. Aku ingin pergi, pergi yang jauh sekali.

Mungkin hidup di benua lain akan lebih baik bagiku. Karena kupikir, aku tidak layak berada di manapun di dekat mereka.

Setidaknya itu yang pernah kupikirkan.
Menikahi mas Ray, sama sekali tidak pernah ada dalam rencanaku. Bukan hanya dengan mas Ray. Menikah dengan siapapun, tak pernah menjadi prioritasku.

Dan saat dia menawarkan kebebasan untuk segera beranjak dari rumah itu, aku seperti merasa tak bisa berpikir panjang.
Aku menerimanya tanpa berpikir bagaimana konsekwensi yang akan kuhadapi. Bagaimana aku dengan bodohnya tak berpikir, bahwa nasibku akan berakhir sama dengan keluarga keduaku.

Tidak diterima.

Karena itulah, mendapati Eyang yang selalu terlihat tulus memperhatikanku benar-benar masih terasa asing bagiku. Bagaimana tidak? Anak dan menantunya saja tak pernah sebaik itu terhadapku. Namun Eyang Uti, bahkan menimang anakku penuh dengan kasih sayang.

“Eyang, Naya minta maaf ya sebelumnya.”

“Kenapa, Nduk?”

“Naya belum bisa mengganti biaya yang kemarin Naya pinjam waktu melahirkan Diandra. Mungkin belum bisa dalam waktu dekat ini.”

Kudengar helaan napas Eyang Uti dan mendapatinya menatapku dengan kening berkerut.
“Eyang ndak pernah memintamu untuk menggantinya, Nduk. Biar itu Eyang yang nanggung. Bahkan kalau perlu, Eyang mau kamu tinggal dulu saja sama Eyang tanpa harus memikirkan biaya hidup seperti sekarang.”

“Jangan Eyang…” sahutku sembari tersenyum mengelus punggung tangannya yang halus. “Naya sudah banyak merepotkan Eyang selama beberapa bulan kemarin. Eyang sudah baik sekali. Sangat baik. Sampai Naya pikir, ndak akan pernah bisa menggantinya.”

“Owalah, Nduk, memang keras kepalamu ini nurun dari papamu. Wes, ora usah mikir macem-macem. Yang penting sekarang, kamu rawat anak-anakmu dengan baik.”

Aku mengangguk menyetujui. Hanya itu yang sekarang kupikirkan. Melihat Diandra, anak keduaku yang tertidur lelap di gendongan Eyang Uti membuatku hangat.

Menurut Eyang, surup-surup, sore menjelang malam ini waktunya jin berkeliaran. Tak baik anak kecil dibiarkan terlelap. Kalau terlanjur tidur, lebih baik digendong saja setidaknya sampai waktu Maghrib berlalu. Keyakinan orangtua yang tidak ada salahnya kuikuti walau aku sendiri tak memahami maksud sebenarnya.

Perhatian seperti itu membuatku teringat Danial, yang saat ini sedang asyik bermain lego sendiri, tak pernah berada dalam gendongan keempat eyangnya. Jangankan menggendong, sekedar menjenguk saja kurasa mereka enggan. Sepertiku, Danial tak pernah mengenal pelukan seorang eyang.

“Alina dimana, Nay? Jam segini kok masih belum pulang?”

Otomatis kepalaku menoleh ke arah jam dinding yang berada di atas pintu menuju kamar. Sudah hampir jam lima sore. Memang seharusnya Alina sudah pulang kerja biasanya.

“Ah, baru ingat. Ini kan akhir bulan, Eyang. Biasanya dia bakal lembur, menyelesaikan laporan pertanggung jawaban bulanan.”

Aku jadi teringat, aku belum menyiapkan makan malam. Bulan lalu, Alina akan pulang larut malam dan dia sudah makan di luar. Aku hanya perlu menyiapkan makanan untukku dan Danial saja. Makan malam yang mudah dan cepat. Tapi malam ini ada Eyang, tidak mungkin hanya kusuguhkan telor ceplok saja.

Nayyara, Lost in MarriageWhere stories live. Discover now