Chapter 23: Tempat Berlindung

15.6K 1.1K 37
                                    

Chapter 23
Tempat Berlindung

Au revoir,

Pandangannya gusar, padahal di depannya sudah tersaji kopi yang masih mengepulkan asapnya. Ada selembar roti panggang yang diolesi dengan mentega dan selai kacang, ganjalan pagi untuknya sementara aku menyiapkan sarapan.

Aku bisa merasakan pandangan matanya mengikutiku yang kesana kemari sibuk di dapur, karena setiap kali aku menoleh aku bisa menemukan kedua bola matanya menatapku tajam.

Dia gusar. Atau lebih tepatnya marah. Aku bisa merasakan itu.

Lepas jamaah shubuh tadi, aku mengutarakan maksudku untuk pulang ke rumah orangtuaku. Jelas saja Mas Ray terkejut, karena dia tahu aku tak pernah kerasan tinggal di sana, dan sekarang malah minta pulang.

"Cuman sementara aja, kok," rayuku shubuh tadi, dengan masih mengenakan mukena yang menjulur menutupi tubuhku.

"Kenapa tiba-tiba?"

"Nggak tiba-tiba. Aku udah lama pingin ke rumah papa. Tapi belum sempat aja. Pingin nginap di rumah Lawang."

Bohong. Dia pasti tahu aku bohong. Bertahun-tahun aku ingin keluar dari rumah itu, dan sekarang malah ingin menginap lagi di sana. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tak punya tujuan lain, selain ke Lawang. Setidaknya untuk sementara ini.

Mas Ray menatapku penuh selidik. "Ada apa lagi?"

Aku maju mundur mau mengatakannya. Alasan apa yang akan kugunakan?

"Nggak ada apa-apa, kok..."

"Nay, aku tahu kamu," potongnya, "Kamu nggak mungkin mau pulang kesana kalau ngga sama aku. Kamu tunggu aku selesaikan kerjaanku yang workshop di kampus UMM nanti. Setelah itu, aku temani kamu ke Lawang."

"Iya, aku tahu kamu sibuk. Makanya aku ngga ngajak kamu nginep juga. Kamu anterin aku aja, ya? Lagipula..."

"Lagipula?" beonya.

"Ada lagi hal yang harus kamu kerjakan sementara aku di Lawang," lanjutku.

"Apa memangnya?"

"Selama aku ada di rumah, kamu nanti ngga bakalan serius mau nyari Kayla. Aku pulang ke Lawang dulu, biar kamu bisa fokus ke Kayla," ujarku lancar. Padahal dadaku kebat-kebit.

"Nay! Udah dong... pembicaraan tentang Kayla bukannya udah selesai? Sudahlah..."

"Gini lho, Mas... Kamu dengar aku dulu," desakku.

"Nyesel aku cerita semalam. Tahu begini, mendingan aku nggak usah bilang apa-apa kemarin. Kukira, setelah semalaman kita-"

"Mas..." kugayut lengannya yang bersendekap dan merapatkan dudukku di sampingnya. "Jangan marah dulu. Kamu dengerin dulu."

"Apa?"

"Kamu ngga kasihan sama Kayla?"

Dia terdiam.

"Kalau kamu ngga cerita, aku malah kecewa. Kamu kan selalu bilang apa-apa ke aku dari dulu, apalagi tentang Kayla. Kamu terhubung lagi, aku malah seneng. Akhirnya kan kalian bisa berbaikan." Kucoba membujuknya walau dia sendiri masih enggan mendengar.

"Lagipula, kamu tahu sendiri, kehidupan Kayla sedang tidak baik sekarang. Kamu sendiri yang bilang, kan? Dia berani menghubungimu, itu artinya dia sudah nggak punya pilihan lain lagi.

"Harga diri seorang janda, Mas... Dia terpuruk sendiri. Malu dengan predikatnya sekarang. Yakin Cuma sama kamu, dia bisa minta tolong. Karena dia tahu, kamu satu-satunya orang yang tidak akan membuangnya. Coba bayangkan kalau dia minta tolong teman-teman kamu yang lain. Kamu yakin, mereka mau bantu dia?"

Nayyara, Lost in MarriageWhere stories live. Discover now