Chapter 14: Maya

9.2K 909 7
                                    

Chapter 14

Maya

“Halo Nay.”

“Mbak Maya?” Suara diujung sana mengejutkanku.

“Kamu mau dibawain apa?”

“Ngga ada mbak, nggak usah ngga apa-apa kok. Mbak Maya mau ke rumah?”

“Iya dong, kamu baru pindahan, masak aku nggak kesana? Jadi mau dibawain apa?”

“Sama siapa, Mbak?”

“Sendirian aja. Mas Dewa nanti jemput pulang kantor,” jawabnya menyebut nama suami yang baru dua bulan lalu dinikahinya. 

Pesta pernikahan yang mewah, berbanding terbalik dengan pernikahanku dulu. Tentu saja, seleraku dan mbak Maya, kakak perempuanku itu sangat berbeda. Aku tak suka keramaian, sedangkan mbak Maya menyukai ketika dirinya menjadi pusat perhatian.

“Ponakanku dibawain apa? Martabak, mau? Atau pizza?”

Aku tertawa, “Mbak, ini anak masih 5 bulan, belum makan apa-apa.” Aku tahu mbak Maya hanya bercanda.

“Ya udah kalau gitu pizza aja buat mama Danial.” Seperti biasa, dia bersikeras dengan kemauannya. Aku mengiyakan saja.

Ini kali kedua mbak Maya mengejutkanku dengan kehadirannya, setelah 5 bulan yang lalu tiba-tiba dia muncul di rumah Mama mertuaku dengan membawa banyak sekali perlengkapan bayi sebagai hadiah. Dia datang, seakan tidak pernah ada apa-apa. Mama menyambutnya dengan senang hati, tentu beda sikap denganku dulu. Padahal sebelum ini, dia tak pernah peduli apakah aku ada atau tidak.

Seminggu yang lalu, akhirnya rumah baru berhasil kami tempati. Mas Ray meyakinkan mamanya bahwa kami bisa mandiri.

“Dalam satu rumah, tidak baik ada lebih dari satu kepala rumah tangga, Ma… Kan sudah ada Papa dan Fahri di sini. Lagipula rumah kami juga tidak jauh, kan? Kami bisa kapan saja datang dan nengok Papa Mama. Bahkan setiap hari juga bisa. Tapi yang terpenting sekarang, biarkan kami belajar membangun rumah tangga kami sendiri, Ma… Gimana Ray bisa mandiri, kalau setiap kebutuhan Ray dan Naya masih disokong Papa Mama? Ini Ray udah kerja, lho. Penghasilan Ray juga ngga sedikit!” 

Entah apalagi yang dibualkan mas Ray kala mencoba meyakinkan orangtuanya. Mama Ratih mendebat, pasti akulah yang memaksa mas Ray untuk segera pindah. Padahal aku tak punya inisiatif apa-apa. Di depanku, beliau berargumen, bahwa akulah yang sebenarnya tidak suka tinggal disana. Aku tak menjawab. Memang benar tuduhannya. Hanya saja aku sama sekali tak pernah menyuarakan pendapat atau pikiranku kepada mas Ray tentang hal itu. Bahkan mungkin mas Ray tak tahu, aku tak pernah betah berada di sana. Aku hanya menahan diri, karena tahu, suatu saat nanti, mungkin, aku bisa bebas dan tak akan lagi menjadi menantu dari keluarga ini.

Dan akhirnya, mama mengizinkan kami pindah, dengan syarat, mengganti semua perabot yang sebelumnya sudah kami beli dengan perabot pilihan mama. Semua mama yang mencarikan, dan beliau pula yang membayarnya. Dengan begitu, baru mama bisa menilai rumah kami layak untuk ditinggali.

***

“Halo Danial, sudah bisa apa, Sayang?”

Aku tersenyum memandangi mbak Maya yang sedang bergurau dengan Danial. Bayi kecilku itu tertawa-tawa menyemburkan air liurnya sambil menendang-nendangkan kakinya. Aku beruntung, dia tergolong bayi yang lumayan gembul. Setidaknya, aku tidak akan dicemooh dengan bobot bayi yang dipandang orang kurang gizi.

“Kamu masih belum bisa ngasih Asi, Nay?”

“Cuma sedikit, Mbak, yang keluar. Aku udah coba setiap kali dia mau, tapi ngga bisa.”

“Katanya ada yang namanya relaktasi?”

“Ngga tahu sih, Mbak. Yang aku tahu, Asi akan keluar dengan sendirinya kalau sering-sering diberikan. Tapi Danial ngga mau. Aku pompa pun, hasilnya masih sedikit. Kasihan dia kurang susu kalau aku paksain,” jawabku.

Aneh, obrolan kami tiba-tiba menyambung begitu saja. Aku tak pernah ingat pernah mengobrol santai dengan kakak perempuanku ini sebelumnya. Sejak dulu, bagiku dia sangat sulit diraih. Padahal usia kami hanya terpaut dua tahun. Tidak jauh. Tapi, aku tak pernah bisa mengambil topik yang cocok untuk kubicarakan dengannya.

Dia tak pernah menyukaiku, dulu. Dia tak pernah peduli padaku juga. Sama seperti papa. Tak melemparkan kebencian. Tapi juga tak pernah memberikan uluran tangan untukku.

Makanya, sikapnya beberapa bulan ini benar-benar membuatku seperti jetlag tak percaya. Dia begitu baik, dan memperhatikanku. Terutama setelah dia menikah dengan mas Dewa. Aku tak mengenal sosok mas Dewa jika mbak Maya sendiri tak pernah mengenalkan padaku. Ternyata, lelaki itu adalah pacarnya sejak dua tahun lalu. Mungkin mereka berhubungan setelah aku menikahi mas Ray. Tapi aku tahu, suami mbak Maya adalah lelaki yang baik. Dia sama glamornya dengan mbak Maya, tapi dia tak pernah memandang sebelah mata padaku seperti pandangan yang diberikan keluargaku padaku.

Aku tak berani menanyakan tentang papa dan mama kepada mbak Maya. Aku takut, pertanyaanku malah membuatku lebih terluka lagi. Aku tahu ada suatu hal yang membuatnya berubah, tapi aku tak tahu apa itu. Hanya saja yang kutahu, aku tak akan berharap, perubahan itu juga terjadi pada orangtua kami.

***

Nayyara, Lost in MarriageWhere stories live. Discover now