1. Awal Mula

4.8K 265 4
                                    

Selamat membaca!

***

Gue menatap pintu dosen yang terlihat berkali-kali lebih horornya di depan sana, perut gue langsung mules, tangan gue gemeteran gak berani ngetuk pintu. Keringat dingin mulai bercucuran, gue mulai mengalami serangan panik dan takut.

"Kamu ngapain berdiri di depan pintu dosen? Mahasiswa arsitektur kan? Tau yang namanya sirkulasi kan? Kamu ngalangin sirkulasi." Dan perut gue semakin mules mendengar suara yang terkesan dingin, engga ada ramah-ramahnya sama sekali.

"E-e-eh maaf pak." Gue segera menyingkir dan membiarkan pak Satria masuk ke dalam ruangan dosen.

Gue menarik nafas delam, berusaha menenangkan diri sendiri, berusha menenangkan degup jantung yang sedang berpacu dengan tidak normalnya.

"Kamu ngapain masih berdiri di depan pintu? Masuk." Percuma gue menenangkan diri, toh ketika mendengar suara dingin itu, gue kembali merasakan panik dan takut "Caecelia Salsabila kan? Yang ngatain saya di twitter?"

Gue diam, karena apa yang diomongin sama dosen yang berdiri di depannya itu 100% benar. Kali ini gue salah, dan gue harus meminta maaf.

Gue masuk ke ruang dosen yang terdiri dari beberapa kubikel, di tengahnya terdapat meja besar yang dikeliling oleh beberapa kursi yang biasanya dipake buat bimbingan. Ruang dosen sepi, sepertinya dosen lain sedang ada kelas.

"Pembelaan apa yang akan kamu berikan?" Tanya pak Satria tanpa basa-basi, tatapannya begitu tajam dan mengintimidasi, membuat gue selaku orang yang ditatap menundukan kepala.

"Saya minta maaf, pak. Saya tau apa yang saya lakukan salah, tapi saya engga ada niat buat ngatain bapak kok." Gue masih menunduk, meremas jemari tangan untuk menghilangka rasa takut yang semakin menjadi.

Sial gue beneran kapok ngatain dosen di sosial media.

Pak Satria yang dudu di depan gue mengangkat sebelah alisnya, menatap gue dengan tatapan mengintimidasinya, bikin nyali gue ciut "Terus kalau bukan ngatain apa dong?" Tanyanya, sebelah alisnya terangkat, senyumnya tipis banget. Dia ngetawain gue yang ketakutan, sial.

Gue menatap dia, ntah kebaranian darimana gue dapatkan "Ya saya curhat aja, kesel sama bapak karena bapak seenaknya sama saya, ya manusiawi dong."

Sekali lagi dia mengangkat sebelah alisnya, memberikan senyum miringnya, anjir gue gak suka ditatap kayak gitu berasa disepelekan "Tapi emang perlu curhat di social media?" Tanyanya dengan nada suara yang terdengar tenang tapi menakutkan.

"Itu 'kan hak saya pak? Itu ranah privasi saya, jadi menurut saya engga ada masalah." Entah darimana gue menemukan keberanian berbicara seperti ini, gue perlah melirik eskspresi mukaya, dan dia masih tersenyum miring, menyepelekan "Saya minta maaf pak, apa perminta maafan saya masih kurang? Tweetnya juga udah dihapus kok."

"Jelas. Kamu sudah mencemari nama baik saya dengan ngata-ngatain saya di twitter. Saya merasa dirugikan disini."

"Saya juga merasa dirugikan pak. Maksud bapak apa tiba-tiba mengiyakan bimbingan dengan saya, tapi tiba-tiba membatalkan seenaknya. Waktu saya juga berharga pak. Wajar dong kalau saya kesel sama bapak." Gue menatapnya, tidak ingin terus diintimidasi, maka sekarang giliran gue yang mengintimidasi dia.

Pak Satria menatap gue tajam, seperti ingin membunuh karena mendengar ucapan gue barusan. Oke, dosen memang selalu benar, tapi kalau dia udah keterlaluan ya harus diingetin dong. Jangan mentang-mentang dia dosen, punya hak penuh, bisa seenaknya macam ini.

"Oke oke. Saya engga mau memperpanjang masalah ini dengan melibatkan ketua prodi." Dia menghela nafas, seperti menyerah. Sekarang giliran gue yang tersenyum miring, Caca dilawan.

Grow Up: MercusuarOù les histoires vivent. Découvrez maintenant