18. Satria (otaknya) Sakit

2.1K 192 19
                                    

Hello!

\

\

***

-Satria

Perlahan aku mulai membuka mata, dan yang pertama kali aku lihat adalah ruangan serba putih dengan bau obat yang khas. Terakhir yang aku inget adalah rasa nyeri di bagian perut, terus aku susah payah berjalan ke luar dari ruangan dosen dan berpapasan dengan Caca. Setelahnya aku engga begitu inget apa yang terjadi denganku.

"Perutnya udah mendingan, Satria?" tanya Bu Aryanti selaku ketua jurusan.

Aku mengerjap, berusaha memaksimalkan kesadaran secara penuh. Kok bisa aku berakhir di rumah sakit sama ketua jurusan.

Caca mana?

Apa dia bagian dari halusinasi ya? Dan kenapa pula harus Caca yang menjadi bagian dari halusinasiku.

Bu Aryanti tersenyum melihat aku yang sedang berusaha mengumpulkan seluruh kesadaran dan ingatan, "tadi kamu pingsan, Satria. Saya kebetulan lewat ruangan kamu, jadi saya bawa kamu ke sini."

"Terima kasih, Bu. Maaf kalau merepotkan." Aku tersenyum.

"Kamu ini kok bisa kena DBD typus dan asam lambung di waktu bersamaan?" tanya Bu Aryanti, beliau memutuskan untuk duduk di kursi sebelah ranjang tempat tidurku.

Aku meringis, karena sadar akhir-akhir ini pola hidupku sangat berantakan. Telat makan, memforsir diri kerja sampai lembur padahal engga begitu urgent, tidur paling lama tiga jam doang. Aku pun tidak mengerti dengan apa yang terjadi padaku kali ini.

"Ini belum akhir semester, Satria. Jadi take it easy, kalau sampai sakit gini nanti saya dikira ngasih kerjaan berlebihan sama kamu." Bu Aryanti meraih gelas berisi air putih di nakas samping tempat tidur, dan memberikannya padaku, "diminum dulu."

"Terima kasih banyak, Bu. Saya akhir-akhir ini sedang sibuk mengerjakan proyek di luar kampus." Engga sepenuhnya bohong, karena temanku yang baru mendirikan sebuah konsultan arsitek membutuhkan jasa arsitek landscape, jadi aku memutuskan untuk membantunya.

"Saya mau hubungi keluarga kamu, it's okay, Satria?" tanya Bu Aryanti, "maksud saya, kamu akan anak rantau. Orang tua kamu di Pontianak, jadi kemana saya harus menghubungi keluarga kamu?" lanjut beliau.

"Engga usah, Bu. Biar nanti saya hubungi kakak dan adik saya, dia kebetulan kerja di Jakarta. Orang tua saya engga usah dihubungi, nanti mereka khawatir."

Bu Aryanti tersenyum, memaklumi apa yang aku pikirkan. Aku sudah bilang belum, kalau Bu Aryanti ini adalah ketua jurusan yang begitu aku hormati keberadaannya, jabatannya, dan pribadinya. Beliau sangat-sangat mengayomi dosen muda seperti aku, yang masih belum banyak pengalaman.

Beliau juga yang rajin ngasih tau info tentang penelitian, agar softskill ku bertambah. Selain itu, Bu Aryanti kalau ngasih motivasi selalu bikin adem sekaligus membuat semangatku berkobar. Beliau ini sudah aku anggap seperti Bunda sendiri di tanah perantauan ini. Beliau adalah wanita terhebat dan terkeren yang pernah aku temui.

Bisa dengan balance mengatur waktu untuk mahasiswa, jurusan, kampus, dan keluarga. Walau pun beliau ketua di jurusan, kalau sudah bergabung dengan keluarganya, beliau tidak melupakan kodratnya sebagai istri dan ibu bagi anak dan suaminya. Mungkin kalau ditanya, tipe cewek idamanku seperti apa, aku akan mantap menjawab seperti beliau.

Lagi asyik ngobrol sama ibu kajur, ada yang buka pintu dan masuk. Kirain perawat.

"Caca, sudah makannya?" tanya Bu Aryanti, beliau bangkit dari duduk dan menghampiri Caca yang memutuskan buat duduk di sofa.

Grow Up: MercusuarWhere stories live. Discover now