Hello hello.
Selamat membaca, enjoy!
***
Pada akhirnya gue menyetujui juga ikut conference bareng Pak Satria dan Wira di Bangka Belitung. Alasannya? Wira maksa gue, dan ya dipikir-pikir gabut aja gitu diem di kosan, bukan karena Pak Satria ya. Catat, bukan, gue lagi proses moveon ke Kang Fatthan.
"Non, muka lo kok pucet sih. Lo gapapa?" tanya Wira yang mendapat tugas buat jemput gue ke Bandara.
Pak Satria dia berangkat duluan dan kita memutuskan buat janjian langsung aja di Bandara.
"Engga tau anjir, masuk angin apa ya? Perut gue engga enak banget, bangun tidur udah muntah-muntah." Gue memegang perut yang rasanya engga enak banget.
"Lo abis ngapain sama Kang Fatthan?" tanya Wira dengan kurang ajarnya.
"Gue getok pala lo ya, Wir."
"Ya soalnya 'kan akhir-akhir ini lo makin lengket sama dia," sahut Wira, "terus gimana dong? Lo masih kuat buat ke Bandara? Apa mau dibatalin?"
"Sekate-kate aja main dibatalin." Aku mendengus sebal.
Padahal Wira tau betul perjuangan kami bertiga mengerjakan jurnal buat conference ini engga mudah. Selama satu bulan kita bertiga hampir bertemu setiap hari di kampus setelah kegiatan kuliah selesai, brainstorming sampai malam berujung makan malam bareng di restaurant fastfood.
Tentu saja ditraktir Pak Satria, cuman dia engga modal aja, traktir kok fastfood.
"Ini cuman masuk angin doang deh kayaknya, ntar di jalan mampir minimarket aja dulu buat beli obat masuk angin." Aku memasuki mobil Wira, membiarkan satu koper yang tadi aku geret di luar mobil, biar Wira yang masukin.
Sekarang masih pukul 4 subuh dan tadi gue bangun kesiangan, mandi buru-buru engga sempat manasin air dulu, jadinya mandi pakai air dingin, makannya perut rasanya engga enak.
"Yaudah deh kalau itu mau lo."
***
"Lemes amat, Ca."
Baru datang gue sudah disambut dengan tatapan sinis dari Pak Satria. Padahal udara Bandung kalau subuh gini dingin minta ampun, ehh tatapannya dia sinis banget bikin udara di sini semakin dingin.
"Engga enak katanya Pak perutnya," sahut Wira, "duduk, Ca. Minum obat masuk anginnya, abis itu makan roti. Biar enakan perutnya." Wira menyeretku untuk duduk, menyerahkan satu bungkus roti, air mineral, dan obat masuk angin.
Emang Wira doang yang TOP, orang yang lagi ngeliatin gue mah remah rengginang.
Pak Satria cuman menghela nafas, terus dia duduk di kursi dengan memberikan jarak beberapa kursi.
Dia kenapa sih? Masih pagi juga.
Gue memakan roti yang Wira berikan, dan gue baru inget kalau kemarin terakhir makan tuh sama Anya jam tiga sore. Habis itu gue kelupaan makan karena asyik nonton drama korea dan ketiduran.
"Wir," gue memanggil Wira, menyerahkan roti yang sedang gue makan, "mau muntah anjir. Tunggu, gue ke toilet dulu."
"Heh, mau gue temenin?" tanya Wira.
Gue menggeleng, engga enak banget ngerepotin Wira dari pertama berangkat. Turun dari mobilnya Wira, dia yang bawain koper gue, udah gitu dia juga yang mampir ke minimarket yang ada di Bandara buat beliin roti dan obat masuk angin.
"Lo beneran enggapapa, Ca?" tanya Wira begitu gue selesai memuntahkan seluruh isi perut.
Gue menggeleng, "gapapa. Ini gue langsung minum obat masuk anginnya aja dulu, perutnya engga enak banget Wir."
YOU ARE READING
Grow Up: Mercusuar
ChickLit[END] Engga pernah terbayangkan di dalam hidupnya harus berurusan dengan dosen hits yang digandrungi oleh mahasiswi seangaktannya, karena kecerobohannya. Ketenangan dan kedamaiannya lenyap dalam hitungan detik. "Welcome to the hell, Ca." -Caca- "Her...
