17. Galau Banget.

2.1K 195 32
                                    

***

-Caca

Pernah engga ngerasa saat kita benar-benar jatuh kepada seseorang, di saat yang bersamaan kita merasa tidak pantas, bahkan sekedar untuk berharap pun merasa tidak berhak.

Iya, itu yang gue rasakan sekarang. Gue sadar betul kok untuk bersanding sama Pak Satria, gue jauh dari kata pantas. Semua yang ada di diri gue serba pas-pasan, terus dengan engga tau dirinya gue jatuh cinta sama dia, yang jauh di atas segalanya.

Benar-benar engga tau diri.

Gue berusaha untuk berfikir semua baik-baik saja, perasaan ini akan hilang secepatnya, namun nyatanya engga semudah yang gue pikirkan. Berbagai cara gue lakukan untuk menghilangkan perasaan engga tau diri ini, tapi semakin gue berusaha semakin susah untuk melupakannya.

Shit. Padahal gue tau jatuh cinta itu ribet, tapi kenapa gue malah menceburkan diri lagi.

"Non, udah anjir engga usah galau kelamaan," ucap Anya.

"Siape yang galau? Kagak," gue mengelak, jelas banget padahal gue galaunya. Ini lagi makan sama Anya gue malah ngelamun, pedasnya ayam geprek yang gue pesan kali ini engga ada apa-apanya sama apa yang terjadi dengan hidup gue akhir-akhir ini.

"Kenapa sih? Accept it aja, Non. Engga ada yang salah dengan perasaan lo, kalau galau ya terima aja. Resapi patah hati lo, jangan menghindar."

Gue menghentikan aktivitas makan, menatap Anya dengan tatapan sendu, "jelas salah. Gue salah baper sama Pak Satria. Dia yang too good too be true sedangkan gue yang jauh dari kata itu, jelas salah karena baper sama dia dan sempat berharap sama dia."

Gue menjauhkan piring, tanda kalau makan siang kali ini sudah selesai. Akhir-akhir ini nafsu makan gue benar-benar berkurang, males makan, makan kalau benar-benar lagi lapar aja. "Gue ngerasa bersalah karena menempatkan dia di posisi bingung gini. Gue bingung, dia apalagi. Gue sedih."

Anya mengelus tangan gue, "Ca, engga ada yang salah dengan perasaan. Lo engga boleh menyalahkan diri lo kayak gini. Lagian 'kan lo suka sama dia engga diniatkan, tapi ngalir gitu aja 'kan?"

Gue mengangguk.

Benar kata Anya, apa yang gue rasakan ke Pak Satria mengalir begitu saja. Gue yang tiba-tiba kagum karena melihat dia jadi pembicara di acara himpunan, menjadi moderator di acara kuliah umum. Kemudian perasaan itu semakin berkembang, terpesona melihat dia dengan outfit formalnya. Hal yang dulu gue pikir biasa, karena memang sudah seharusnya dosen berpakaian rapih.

Perlahan perasaan itu semakin berkembang, setiap Pak Satria meminta gue untuk menghadap ke ruangan, menawarkan conference bareng, dan perhatian lainnya, kerja jantung langsung menjadi tidak normal. Gue menyerah dan gue mengakui, bahwa tanpa gue sadari, gue sudah jatuh se dalam itu kepada pesonanya Pak Satria.

"Mirisnya, karena gue baru menyadari perasaan gue saat ini, gue engga menyiapkan kalau hati gue akan dipatahkan secepat ini oleh oknumnya."

"Ih anjir Ca, lo jangan mellow gini dong. Gue sedih, biasanya lo ngegas dan lempeng-lempeng aja kalau di deketin cowok."

Tatapan gue menerawang, "Nya, lo tau alasan kenapa gue agak antipati sama cowok? Kalau ada yang mendekat, gue panik dan minta Wira buat jadi cowok pura-pura gue. Lo mau tau alasannya?"

"Bukan karena Kang Fatthan?" tanya Anya.

Gue menggeleng, "nope. Engga ada hubungannya sama dia."

"Terus kenapa?"

"Dulu banget pas SMA, gue naksir sama kakak kelas beda satu angkatan sama gue. Dia orangnya baik banget, Nya. Perhatian dia bikin gue geer, karena emang sebaik itu. Gue kan satu circle sama dia karena sama-sama anak OSIS, terus kalau main keluar, dia selalu nawarin buat jemput gue. Terus tiba-tiba ngasih jaket kalau tau gue lagi kedinginan. Sikapnya benar-benar bikin gue jatuh."

Grow Up: MercusuarWhere stories live. Discover now