16. Bingung

2K 185 12
                                    

***

-Satria

Sedari dulu tidak pernah ada yang sederhana tentang perasaan, semua akan menjadi rumit jika kita menjadi tokoh utama di dalamnya. Mungkin bagi sebagian orang, perasaan itu sederhana, jujur dan akui, case closed. Tapi nyatanya engga pernah semudah itu.

Ada peraturan tak kasat mata antara dosen-mahasiswa untuk tidak menjalin hubungan lebih dari itu. Betul, perasaan emang engga ada yang tau, takdir punya jalannya sendiri untuk mempertemukan manusia-manusia dalam ikatan cinta.

Hanya saja, jika memang hubungan antara dosen-mahasiswa itu ada, kredibiltas dan profesionalisme dosen tersebut harus dipertanyakan. Karena sejatinya, dosen harus menjadi pihak netral dia tidak boleh berat sebelah.

Mungkin kalau kasusnya dosen-mahasiswa beda kampus atau fakultas boleh-boleh saja, selagi semua sesuai norma dan batasan yang jelas tidak ada yang salah. Tapi berbeda, kalau dosen tersebut menjalin hubungan dengan mahasiswanya sendiri. Benarkah dosen itu profesional?

Rumit bukan? Maka dari itu, dari awal aku menjadi asisten dosen di sini sampai menjadi dosen, aku sebisa mungkin menerapkan batas antara dosen-mahasiswa. Karena engga jarang ada yang terbawa perasaan dengan sikap ramah yang aku berikan.

Padahal sudah menjadi tugas aku mengarahkan mereka ke jalan yang seharusnya, engga ada maksud apa-apa selain ingin melihat mereka berkembang selagi menjadi mahasiswa.

Tapi kali ini aku kecolongan, aku harus mempertanyakan sikap profesionalismeku kali ini, karena engga mungkin Caca terbawa perasaan kalau bukan aku yang mematik apinya.

"Pak, berkas ini saya simpan di mana ya?" pertanyaan Anya menarik aku kembali ke dunia nyata.

"Simpan di mejanya Pak Yanto aja dulu, Nya. Itu berkas harus dia periksa dulu." Aku bangkit dari duduk di balik meja kerjaku, keluar dari kubikel dan bergabung dengan Anya dan Wira yang sedang menyusun berkas.

"Pesan McD mau?" tanyaku, mereka malam ini lembur yang tidak dibayar untuk membantuku ngurus akreditas jurusan yang akan dilaksanakan beberapa hari ke depan.

"Boleh banget, Pak," sahut Anya antusias.

Aku mulai sibuk dengan ponsel memesan McD untuk makan malam kita bertiga. Karena jarak kita yang cuman beda 5-6 tahun, aku paling enak minta tolong sama mereka berdua, sambil mengorek gosip jurusan dan fakultas dari Tuan Gosip, Wirandra Dharmasena.

"Ada gosip apa nih, Wir, di jurusan?" tanyaku memecah keheningan diantara kita bertiga.

Anya menggelengkan kepalanya, "Bapak doyan kemakan gosip engga bermutu dari Wira juga."

"Tolong jelaskan engga bermutunya darimana ya? Gosip gue selalu akurat engga pernah melenceng, yang artinya itu udah bukan gosip lagi tapi fakta." Wira menghentikan aktivitas menyusun berkasnya, kemudian menatapku, "gosip jenis apa dulu nih? Gosip receh apa berbobot?" tanya Wira seperti penggosip yang handal.

"Bedanya apa tuh, Wir?"

"Beda, Pak, kalau gosip berbobot tuh tentang himpunan, proker mana yang udah dikerjakan, terus prestasi anak-anak, yaa yang gitu gitu," jelas Wira dengan semangat 45.

"Skip."

"Kalau gosip receh, itu tentang sisi gelap himpunan," Wira ketawa, "sama ya percintaan anak-anak."

"Udah tau gue sisi gelap himpunan."

"Serius, Pak?" tanya Anya.

"Ya menurut kamu, Nya. Himpunan kalau ada masalah curhatnya ke siapa? Ya ke saya lah, selaku dosen kemahasiswaan. Saya tau tuh proker mana yang jalan sama yang engga dari tahun ke tahun. Sebalnya saya, udah tau proker itu di tahun sebelumnya engga jalan, ehh malah dipake lagi tahun ini. Gua liatin aja, engga nurut dikasih tau sama yang tua tuh."

Grow Up: MercusuarWhere stories live. Discover now