24. Jatuh

2.3K 195 57
                                    

Hallo!

/

/

/

/

/

/

***

-Satria

"Je lu pernah merasa bingung sama perasaan lo sendiri gak sih?"

"Sat, perasaan itu bukan untuk dimengerti, tapi dia ada untuk lo terima. Perasaan engga akan bisa diemengerti sama logika."

Perkataan Jeral ada benarnya juga.

Akhir-akhir ini aku engga pernah ngerti dengan apa yang sedang aku rasakan. Beberapa kilas balik momen aku bersama Caca yang membuat aku bingung dengan perasaan ini.

Kenapa aku harus seeffort ini sama Caca?

"Je, gue ngelakuin ini karena kewajiban gue sebagai dosen atau apasih?"

"Kok lu tanya gue? Yang punya perasaan kan lu, kenapa nanya sama gue? Salah sambung."

Pertanyaan yang belakangan ini sering datang menghantui, berujung bikin aku frustasi. Engga tau, bingung menerjemahkan rasa khawatir ini.

Pertama, kenapa aku harus ikut merasa frustasi saat tau Caca ingin menyerah dengan hidupnya. Kedua, kenapa aku merasa sedih saat tau kenyataan kalau ternyata Caca bisa serapuh ini. Ketiga, kejadian yang dialami Caca kemarin entah kenapa berhasil bikin aku kalang kabut.

Aku selalu mencari jawaban, dan jawaban yang ingin aku dengar adalah, "karena lo dosen udah sewajarnya kayak gini."

Tapi kayak ada yang aneh, bukan itu jawabannya.

"Sat, mau gue kasih satu fakta menarik engga?" tanya Jeral.

"Apa?"

"Dulu temen gue ada yang kayak Caca, tapi dosen gue cuman ngasih semangat lewat kata-kata, engga sampai nemenin mahasiswanya nugas bareng. Bisa tarik kesimpulan engga dari fakta yang gue kasih kali ini?"

Gue diam, merenungi kata-kata yang keluar dari mulut Jeral.

"Gue tau lo udah dapet jawabannya, Sat. Cuman lagi denial aja, ye 'kan?" tanya Jeral.

"Tau ah Je, lu jangan bikin gue makin pusing dong."

Lagi asyik merenung, melamun, dan memikirkan kata-katanya Jeral. Panggilan masuk mengacaukan konsentrasi gue.

Wira's calling.

Tumben banget Wira telfon, biasanya dia chat dulu baru yang telfon gue.

"Halo Wir, kenapa?"

"Caca lagi sama Bapak engga?" tanya Wira di sebrang sana, samar gue mendengar nada panik dari suara Wira.

"Engga. Terakhir ketemu dan ngehubungin dia 3 hari yang lalu buat bimbingan. Kenapa, Wir?"

"Caca, engga bisa dihubungi. Terus dia juga engga ada di kosan, kira-kira bapak tau engga biasanya nongkrong di mana selain coffee shop yang biasa kita pake nugas?" tanya Wira berusaha tenang. Kontrol emosi Wira bagus, patut diacungi jempol.

"Okay, gue bantu cari ya, Wir. Selagi nyari, lo coba terus hubungi dia."

Setelah Wira mengiyakan apa yang aku minta, sambungan terputus.

"Kenapa?" tanya Jeral.

"Caca," aku menghela nafas, "dia engga bisa dihubungi seharian ini, dan engga ada di kosannya."

Grow Up: MercusuarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang