21- Honestly and woulds

547 72 240
                                    

Kala jengkal yang tengah mati-matian meraih tepian namun tetap saja tak sampai. Tetap berada di perahu kayu, yang bertembuk di beberapa bagian di gerus sang tirta. Berada di sungai dengan debur aliran deras, dingin dan ganas beringas. Kembali lagi terjebak, bingung mencari atau malah telah lupa caranya menepi. Dayungnya telah patah, terkena berangkal yang keras saat mencawasnya.

Terjebak, sendirian. Mencoba berteriak, meminta bantuan. Tetap saja hingga pita suaranya berpindah tempat. Tak akan ada yang mendengarkannya, suaranya terlalu lirih. Semua menulikan rungu—terdiam membisu. Tenggelam di bawah ketidakberdayaan, tak memiliki kuasa. Lemah, tersiksa—sesak, perih.

Iris hazel itu telah terbuka sedari tadi, kembali menatap langit-langit dinding yang telah terhiasi oleh sawang-sawang yang pekat. Laba-laba saja sepertinya sangat senang tinggal di dalamnya. Menatap sekeliling, barang-barang bekas yang tersusun berantakan, kursi kayu yang telah kehilangan sebelah kakinya karena lapuk. Barang-barang lain juga ada di sini, berpadu di dalam. Terduduk dengan tali mengikat kedua telapak tangan dan tungkainya. Rasanya sakit, perih saat ia menggerakkannya sedikit saja karena pegal.

Mulutnya di bekap, bahkan menelan salivanya saja Hyerim kesusahan. Sepertinya ia benar-benar akan mati sekarang. Kepalanya pening, surainya tak lagi terbentuk karena telah terjambak, di siksa karena memberontak meminta keluar setelah kesadaannya hadir. Kakinya penuh memar, bahkan tangannya telah lecet, hingga sedikit mengeluarkan darah. Rasanya nyaris sekarat. Ini pukul berapa pun Hyerim tak tahu, semua terasa sama saja.

Hingga kini, ia tak mengetahui siapa yang melakukan ini kepadanya. Hanya empat orang pria dengan pakaian serba hitam. Mungkin itu memang malaikat kematiannya. Hah, sungguh mereka tidak pantas jika di sebut sebagai malaikat, perilakunya saja menyerupai iblis. Cih, Hyerim serasa ingin mengumpat—tapi percuma saja hingga milyaran ataupun triliun sumpah serapah itu keluar, tak akan ada habisnya. Hati mereka telah hitam, mati. Mereka hidup tanpa hati, sama seperti tuannya yang melakukan ini padanya.

Tidak, Hye. Kau tidak boleh menyerah sebegitu mudahnya. Setelah kesekian badai, ombak besar, angin kencang dan hujan deras kau sanggup melaluinya. Jangan menyerah selagi napasmu itu masih berasimilasi seperti sebelumnya. Masih ada Taehyung yang menunggumu di ujung sana, menggenggam erat tanganmu, merengkuh hangat tubuh ringkihmu ini.

Huh, sekonyong-konyong dirinya kini jadi merindukan pria itu. Merindukan senyum kotaknya, bau keringatnya,—ah tidak. Taehyung selalu wangi kok, tapi Hyerim suka menghirup aroma maskulin yang keluar itu. Enak, alami Hyerim suka baunya. Merindukan suara bariton yang selalu mengoceh tak henti, mengomelinya. Bibir yang suka merajuk itu, yang mengecupnya lembut, dan selalu mengatakan " Ayo kita lalui ini bersama, Hye."

Air matanya mencelos jatuh, mengenang kenangan manis itu. Ia berharap itu tak akan jadi pahit. Semoga saja sang pencipta alam semesta masih memberikannya kesempatan membuat setiap kenangan itu. Aish, menyedihkan sekali. Memiliki kekasih satu saja, membuatnya sungguh menderita karena tak kuasa menahan rindu. Taehyung, entah ini malam atau pagi. Saat ini Hyerimmu ini merindukanmu, sungguh.

--

Sementara pria itu masih stagnan pada posisinya, menunggu lawan bicaranya berucap. Tiba-tiba saja angin berhembus cukup kencang, Ryu seperti mendapat firasat buruk. Gelenyar aneh tiba-tiba singgah. Rungunya seakan tak sabar menunggu Haejoon yang masih diam, seperti menimbang-nimbang ucapannya.

"Ingin bicara apa dengan Hyung? Kau kenapa tiba-tiba gugup seperti itu?" Tanya Ryu sambil terkekeh. Woam, perlahan kantuknya hadir kemudian menutup mulutnya dengan sebelah tangan karena menguap. Haejoon masih diam, seolah terlalu kenyang hingga tak sanggup berucap.

Remembrance ✔️Where stories live. Discover now