22- Ended sadly

822 71 497
                                    

Hujan nyatanya masih menunjukkan eksistensinya meskipun malam telah berganti menjadi pagi. Menyiram, melimbang, dedaunan hijau yang tumbuh lebat di ranting kayu yang kokoh itu dengan rintiknya. Menciptakan limbungan air di tanah dan aspal itu. Lantas jatuh mengalir, membawa beberapa unsur tanah dan zat hara lantas bermuara ke saluran air yang menciptakan suara khas. Burung-burung masih di sangkar hangatnya enggan untuk keluar menyapa hari. Musim semi yang begitu sendu, bahkan kelopak bunga sakura yang hampir merekah itu kembali bersembunyi di kuncupnya—mengurungkan niatnya.

Suasananya mendukung sekali untuk menyeduh beberapa cangkir teh atau kopi. Menikmatinya dengan duduk di sofa hangat, bersama seseorang yang di cintai sembari memandang noktah embun yang tercetak di jendela kaca. Dan berakhir merengkuh hangat satu sama lain, atau tertidur bersama.

Tapi rasanya mustahil, untuk itu jadi terwujud kali ini.

Tidak ada secangkir kopi penuh kepulan dan aroma, tak ada orang tercinta dan rengkuhan hangat. Kini yang mengawani hanyalah hawa dingin yang sedari tadi telah mencatuk serat kain yang telah robek itu. Tak sengaja tercarik ketika ia mencoba untuk menyelamatkan diri. Namun tetap saja tenaganya tak sebanding. Tak berdaya kembali, tak dapat melakukan apapun. Air matanya saja seakan telah bosan untuk mengalir atau malah telah mengering melesap getir, perih dan kebingungannya.

Entah hingga kapan ia dapat bertahan dari kurungan gila ini. Ia bahkan tak mengerti apa kesalahan yang ia perbuat. Semua terjadi begitu cepat, hingga sulit untuk mencerna langsung tanpa membahamnya terlebih dahulu. Ranum merah yang semakin memucat itu tak henti-hentinya merapalkan doa, berharap akan ada jalan keluar dari segala kesulitan yang ia dera saat ini.

Sekonyong-konyong di tengah lamunan, hadir kilatan cahaya putih yang mengudara di langit dinding itu. Sekejap, sebelum berganti dengan gemuruh yang menggelegar. Hyerim tak pernah menyukai petir, sangat takut. Ia terpaksa mendengar semua gemuruh itu tanpa dapat menutup kedua rungunya. Rasanya takut sekali bahkan tubuhnya gemetar hebat sekarang. Bagaimana bisa ia menghindarinya jika kedua tangan putih yang terhias lecet itu masih terbebat tali.

Debur pintu kayu itu terbuka perlahan, Hyerim mendongak kemudian menghadap ke depan. Menemukan presensi bayangan hitam yang mendekat. Wanita itu tak dapat melihat dengan jelas karena minimnya penerangan di sana. Langkah kaki itu semakin mendekat ke arahnya. Hyerim meneguk salivanya kasar, ketakutan. Dan betapa terkejutnya dirinya saat menemukan kehadiran orang yang tak pernah ia sangka akan menapakkan kaki itu di ambang pintu dan menatapnya dengan datar, sebelum tersenyum simpul. Gila, mirip seperti psikopat yang haus mangsa.

Kang Seoyung ada di depannya sekarang. Hanya berjarak beberapa langkah kaki saja. Sedari tadi Hyerim masih mengatur debarnya sendiri dari keterkejutan ini. Bagaimana tidak tercengang jika dalang di balik penculikannya adalah mantan dari kekasihnya sendiri. Dirinya sedari tadi sedang berpikir dan menerka maksud dan tujuan dari ini semua. Tapi entahlah seakan otaknya kini hanyalah tersisa residu tanpa ada inti dan sarinya. Terlalu lemas, hingga tak memiliki energi untuk menafsirkan sejauh mana itu akan berjalan.

"Um, nona Hye sudah bangun rupanya." Ujar wanita dengan mantel merah dan rambut tergerai yang sedikit basah terkena rintik hujan. Tungkai terbalut heels itu semakin mendekat ke arah Hyerim dan membuka kain yang menutup ranum wanita itu. Hyerim bernapas lega tatkala kain sialan itu dibuka. Akhirnya ia dapat sedikit membaik, meskipun bibir itu semakin pucat. Tak memperdulikan tatapan tajam wanita di depannya itu.

Hyerim masih mengatur napasnya, sebelum membawa kedua iris hazelnya menatap Seoyung. "apa tujuanmu, melakukan ini Seo?" Kesal. Manakala tak menemukan sahutan dari lawan bicaranya.

Remembrance ✔️Where stories live. Discover now