Bab. 51| 🌷 Semuanya Pergi ⚘

762 81 436
                                    

Amanda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Amanda

Dua minggu kemudian ....

Pagi ini aku keluar dari rumahku, menyambut mentari yang mulai menyinari bumi ini. Pagi yang cerah saat kutatap matahari tersenyum di ufuk timur. Suara kicauan burung pun terdengar bersahutan menyambut kehangatan pagi ini. Mereka terbang ke sana-ke mari di angkasa yang luas, mencari tempat yang benar-benar ingin mereka datangi.

Aku menengadahkan kepalaku menatap puluhan burung yang terbang dan berharap semoga mereka bahagia di mana pun mereka berada, sehingga aku akan tetap dapat mendengar kicauannya yang indah itu. Tidak ada yang ingin aku lakukan hari ini, kecuali duduk-duduk saja di teras rumah sambil bertopang dagu.

Akhirnya kemarin aku bertemu dengan Om Nicko, calon papa baruku beserta keluarganya. Mereka datang ke rumah khusus karena katanya ingin bertemu denganku. Meskipun awalnya canggung tapi ternyata mereka baik, bisa menerima keadaanku dan mama apa adanya. Mereka juga berharap setelah pernikahan mama nanti, kami semua akan benar-benar menjadi keluarga yang bahagia.

Ya, itu juga yang aku harapkan. Saat ini kebahagiaan mama adalah hal terpenting untukku. Tidak ada yang aku inginkan lagi kecuali itu. Dia berhak bahagia bersama orang yang dia cintai dan mencintai dia. Aku yakin papa juga bahagia di surga sana melihat mama bahagia.

Saat duduk menyendiri seperti ini, pikiranku jadi melayang ke mana-mana. Aku teringat pertemuanku dengan Raisa minggu lalu.

"Gue bakal balik ke Jogja, Man." Raisa yang mendadak menemuiku di kelas, mengajakku mengobrol di taman belakang sekolah. Dia langsung mengatakan hal tersebut sebelum aku menanyakan apa-apa.

Aku lumayan terkejut. Tetapi aku memahami perasaannya. "Lo serius mau pindah? Apa karena ...." Aku tak sanggup melanjutkan kalimatku karena yakin cewek itu pun sudah paham maksudku.

Dengan senyuman kecil, Raisa mengangguk. "Hm. Dulu gue pindah ke Jakarta cuma demi bisa ketemu sama Aldy. Gue yakin lo juga pasti tahu. Tapi sekarang, gue ngerasa nggak ada gunanya ada di Jakarta. Toh, Aldy juga udah nggak ada."

Aku melihat kesedihan yang mendalam di wajahnya saat dia ucapkan kalimat terakhir. "Lo yakin mau pindah? Padahal gue udah ada rencana mau temenan ama lo." Meskipun terdengar aneh, tapi aku tulus mengatakannya.

Tentu saja hal itu membuat Raisa tertawa. Ya, siapa pun yang mendengarnya pasti akan tertawa. Aku pun juga sebenarnya menertawakan diriku sendiri.

"Sumpah, gue nggak nyangka seorang Amanda bisa ngomong kayak gini." Raisa masih tertawa. Tapi aku tahu dia bukan tertawa mengejek melainkan tawa geli karena mendengar ucapanku.

Aku mengerucutkan bibirku kesal. Walaupun lucu seharusnya dia tidak tertawa, kan.

"Sorry, gue nggak bermaksud ngetawain lo. Hahahaha."

"Silahkan tertawa sebelum tertawa dilarang."

Raisa masih saja tertawa. Dan itu membuatku ingin tertawa juga. Bukan hanya menertawakan ucapanku yang konyol, tetapi menertawakan kehidupan ini. Apakah memang seaneh itu bahwa akhirnya kita bisa saling berbagi tawa dengan seseorang yang dulu tak pernah kita sukai?

Aldy (My Perfect Boyfriend)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang