9

2.2K 303 109
                                    

Tidak ada yang aneh dengan Soobin, pada awalnya.

Oke ralat, pada awalnya saja Soobin sudah 'aneh' sejak meminta Kai menjadi pacarnya di pertemuan pertama mereka—ingat? Di depan toilet. Tapi telah Kai pikir-pikir lagi, rasanya jadi lucu karena ada orang yang memintanya jadi kekasih di depan toilet, kapan lagi ya kan.

Kemudian... Soobin meminta nomor handphonenya di hari yang sama, dan juga secara langsung—itu keren, pikir Kai. Dimana-mana orang pasti menggunakan jasa orang ketiga untuk mendapatkan nomor handphone, alih-alih meminta langsung. Jadi saat Soobin menghampirinya malam itu untuk meminta nomor, Kai benar-benar terkesan akan keberaniannya.

Tentang kencan pertama mereka di game center dan juga makan di restoran fastfood yang mana itu adalah kencan paling umum di muka bumi ini, Kai benar-benar sangat menikmatinya. Kendati ia sudah ribuan kali melakukan dua hal itu, saat bersamaan Soobin rasanya benar-benar berbeda—perutnya mulas seharian seperti remaja yang baru pertama kali mengenal cinta. Berlebihan memang, tapi itu nyata.

Pertama kali Kai merasa kalau Soobin itu aneh adalah... saat mereka pulang dari kencan ke apartemen Soobin—karena hujan. Disitupun awalnya Kai masih merasa biasa saja saat mereka menikmati animasi Zootopia. Namun saat Soobin berbisik dengan nada rendah, "Kenapa lari?" dan juga tatapan tajam yang sangat gelap, Kai tahu seharusnya ia pergi saat itu juga, bukan malah terlena dengan mantra kecil dari bibir manis Soobin.

Mengenai bunga anyelir, Kai juga menipu diri dengan mengatakan semuanya baik-baik saja, bahwa itu hanya cara Soobin menunjukkan rasa sukanya pada Kai. padahal kalau ia mau berpikir sedikit lebih logis, dimana ada orang jatuh cinta yang sampai menguntit mengirim bunga ke dalam loker? Terlebih, pertanyaan terbesarnya adalah: dari mana Soobin bisa mendapatkan kunci lokernya? Sampai sekarang Kai tidak berani bertanya—dan mengabaikannya seolah itu tidak pernah terjadi.

Lalu perlahan-lahan Kai tahu, dan memang benar tahu kalau Soobin mulai menguasai dirinya. Bukan tentang apa yang harus ia lakukan dari jam ke jam, tapi tentang bagaimana Soobin memulai pembicaraan yang pada akhirnya argumen Kai akan tenggelam dengan sendirinya oleh argumen Soobin.

Tidak, mereka tidak bertengkar kalau kalian penasaran.

Kai hanya tidak sadar Soobin sedang memanipulasi apapun yang ia katakan dengan membolakbalikkan kalimatnya sehingga Kai mempertanyakan kembali argumennya sendiri: apakah aku salah?

Seperti sekarang ini.

"Kenapa baru pulang?"

Padahal sebelum Kai berkencan dengan Soobin, tidak ada orang yang peduli jam berapa ia sampai di kos, apa yang dia lakukan di luar sana, apa yang ia makan, dan juga hal-hal kecil lainnya, bahkan orang tua Kai saja tidak tahu.

Langkah kaki Kai terhenti di depan pintu—ia bahkan belum membuka sepatu saat suara Soobin terdengar di telinga, dan saat Kai mendongak, Soobin ada beberapa langkah di depannya, melipat kedua tangan di depan dada dengan satu tangan menggenggam ponsel, dan juga raut wajah serius yang sangat kentara.

Kai membungkuk, melepas sepatu dan meletakkannya di rak pendek dekat pintu—untuk waktu yang sangat singkat itu, ia berpikir kalimat apa yang harusnya ia lontarkan untuk jawaban.

"Eum... latihannya lebih lama dari yang seharusnya."

"Tapi kan aku udah bilang kalau kamu pulang telat, kabarin aku dulu."

Kai menelan ludah, melirik jam dinding yang ada di belakang tubuh Soobin. Kai hanya terlambar sepuluh menit dari janjinya pada Soobin, tapi Soobin bertingkah seolah-olah Kai telah lima jam, demi tuhan.

"Ya kan kami latihan, Kak Soobin. Mana sempat pegang hape."

Soobin mengetatkan rahang—Kai melihat itu, dan ia menelan ludah. Selama beberapa minggu belakang ia tinggal bersama Soobin, laki-laki itu punya aura dominan yang terlalu kuat sampai Kai kadang takut dibuatnya. Tentu saja, Soobin tidak pernah melakukan kekerasan apapun pada Kai, kecuali di ranjang.

Ketegangan di antara mereka mulai mereka saat Soobin menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil.

"Yasudah. Kamu pasti belum makan kan? Kita pesan pizza aja, mau?"

Lagi, seperti ini. Seolah Kai menghadapi dua orang yang berbeda. Soobin bisa menakutkan di satu waktu, tapi langsung berubah menjadi seperti orang lain di waktu yang sama.

Kai mengangguk, baru berani melangkah mendekat saat Soobin membuka lipatan tangannya, menunggu Kai masuk ke dalam pelukannya untuk ia berikan kecupan ringan di dahi, seperti biasa.

Kai menghidu aroma Soobin dari ceruk leher sang kekasih, merasa lelahnya selama latihan berangsur pergi. Barulah ia rasa perutnya perih, lapar mulai mengetuk.

"Sama ayam juga, boleh?" tanya Kai dengan wajah masih menempel di leher Soobin.

"Tentu."

Pelukan mereka terlepas, dan Kai hanya memandangi punggung Soobin saat ia berjalan ke dapur sambil mengetikkan sesuatu di layar handphone—barangkali sedang memesan pizza dan ayam.

"Yah, colanya abis." Soobin bergumam di depan kulkas yang terbuka, lalu kembali memainkan ponsel—barangkali ikut memesan cola sebagai tambahan.

Merasa tubuhnya penat, Kai menghempaskan dirinya di sofa, lalu memejamkan matanya barang sebentar. Tak lama Soobin menyusul ke sofa dan dengan seenaknya saja menggunakan paha Kai sebagai bantal. Kai menunduk, menemukan Soobin tersenyum lebar berbaring di pahanya.

"Tadi aku pesanin cola sekalian. Kamu suka kan?"

Kai mengangguk, menyentuh sisi pipi Soobin yang kenyal, menariknya ke arah yang berlawanan, lalu tertawa menemukan fakta bahwa pipi sang kekasih cukur lentur—mengingatkannya pada karakter komik jepang bertubuh karet dan suka berteriak, "Gomu gomu nooo," yang sudah lama tidak Kai ikuti lagi.

Gerakan tangan Kai berhenti saat ia sadar Soobin tak lepas menatapnya sedari tadi. Maka ia beranikan diri untuk berkelakar, "Kenapa liat-liat? Terpesona ya, sama pacar sendiri?"

Saat Soobin mengangguk tanpa ragu, Kai malah jadi gugup karena merasa telah memberi sinyal yang salah. Terlebih saat Soobin memiringkan tubuhnya menghadap perut Kai—melemparkan bom bernama kecupan-kecupan ringan di atas perutnya yang masih terbalut pakaian, sementara sebelah tangan Soobin melingkar di pinggangnya.

Kai tertawa—karena geli—dan ia menahan bahu Soobin yang semakin merapat ke tubuhnya. Wajahnya kian memanas saat Soobin menyingkap pakaiannya ke atas, kini mengecupi perut telanjang Kai sementara sang empu terkikik geli. Suara bel apartemen berbunyi, dan Kai terselamatkan oleh pizza, ayam, dan cola.

Hanya saja setelah selesai makan dan membersihkan diri serta bersiap tidur di balik selimut dengan nyaman, sepasang tangan melingkari perut Kai, disusul suara Soobin yang sangat dekat di telinganya—bahkan hela napas Soobin terasa hangat.

"Ayo bercinta denganku, Kai."

.

.

.

A/n:

Yeu, ngarep apa kalian heh... Tidur, udah malem.

CARNIS | SooKaiWhere stories live. Discover now