13

2.4K 273 43
                                    

Well, happy birthday to our precious Hueningkai. May god bless you.

.

WARNING

MATURE (SEX) SCENE

.

Kepalan tangan Kai memukul-mukul pintu kamar, membuat suara gaduh. Matanya memanas, memikirkan apa yang mungkin sedang Soobin lakukan di dalam sana. Ketakutan muncul ke permukaan, membuat hatinya kebas. Ia memukul pintu kamar lebih kuat dan lebih cepat—matanya sudah berkaca-kaca, siap untuk menangis kalau memang benar Soobin melakukan hal yang ia takutkan.

"SOOBIN! BUKA PINTUNYA!"

Ceklek.

Napas Kai tercekat, dengan air mata yang siap tumpah dan tangan yang terhenti di udara—pintu kamar itu akhirnya terbuka, menampilkan Soobin yang memejamkan matanya sambil menyugar rambutnya dengan tangan kiri.

"Loh, Kai? Udah pulang? Kirain bakal pergi sampai malam."

Kai—yang untuk beberapa detik menahan napas—langsung menubruk dada Soobin, memeluk laki-laki itu kuat dan menumpahkan tangisnya di sana—tanpa ia tahan-tahan. Dadanya kembang kempis, bersyukur tiada terkira ternyata Soobin hanya tertidur, bukan melakukan itu lagi.

Kantuk Soobin hilang kala Kai menangis tersedu-sedu sambil memeluknya kuat. Bingung, ia mengusap-usap punggung Kai lembut, "Kenapa, Kai? Apa terjadi sesuatu?"

Kai menggeleng, menjawab dengan suara sengau karena mulutnya terhimpit, "Terima kasih, Soobin. Terima kasih karena kamu cuma tidur."

Soobin menekan saklar lampu yang berada di jangkauan tangannya—tepat di belakang kepala Kai, seketika ruangan kamar menjadi benderang dan tangis Kai berangsur mereda. Kai mendongak, menatap Soobin tepat di manik matanya. Lagi-lagi merasa sangat lega karena yang ia takutkan hanya ada dalam bayangannya. Bagaimanapun juga, Soobin amatlah berarti untuk Kai—meski mereka mengenal baru beberapa bulan belakangan.

Kai tidak menolak saat Soobin memapahnya ranjang, dan mereka duduk di pinggir ranjang—masih dengan Kai yang mencengkram baju Soobin di bagian dada kuat-kuat. Soobin menangkup tangan Kai yang mencengkram pakaiannya, mengelus punggung tangan itu pelan. Satu demi satu jemari Kai terlepas dari kaus yang terlihat kusut, dan Soobin mengganti genggaman Kai yang kosong itu dengan tangannya, menyisipkan jemarinya di antara cela jemari Kai—pas, seolah-olah mereka memang diciptakan untuk satu sama lain.

"Mau cerita?"

Kai menggeleng, masih meredakan sisa-sisa tangis dan kembang kempis di dada. Mana mungkin ia mengatakan pada Soobin: Aku pikir kamu melakukan itu lagi. Yang ada hanya menerbitkan rasa tersinggung di hati Soobin, dan Kai tahu ia tidak boleh melewati batas untuk yang satu itu.

Saat ia menemukan Soobin dengan luka yang menganga lebar di pergelangan tangan, Kai sama sekali tidak bertanya apa dan kenapa. Jauh hari sebelum itu, Kai memang sadar ada bekas goresan samar di pergelangan tangan Soobin, dan ia juga tidak berani melewati batas untuk bertanya. Soobin belum seterbuka itu untuknya.

Maka yang Kai lakukan hanyalah mengobati Soobin sebaik mungkin. Membersihkan luka, membalutnya, dan menepuk-nepuk punggung Soobin yang tak bersuara. Malam itu Kai tidak berani untuk tertidur—tidak mau menemukan Soobin di pagi hari dengan pemandangan yang sama. Jadi yang ia lakukan hanya memandangi wajah Soobin, bertanya kenapa Soobin melakukan itu di dalam hatinya—tak berani berucap secara lisan.

"Jadi kenapa kamu nangis? Tadi gedor-gedor pintunya juga berisik. Padahal aku baru tidur beberapa jam."

Tidak ada nada marah di sana—Kai malah hanya menemukan suara sengau, Soobin memang sangat mengantuk. Tangan Soobin terangkat, mengelus rambut Kai yang tampak berantakan.

CARNIS | SooKaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang