10

2.4K 295 97
                                    

W A R N I N G

M A T U R E C O N T E N T

Include self harm

18+

___

Kai lelah.

Ia memang sudah sudah bersiap terbang ke alam mimpi saat Soobin menaiki ranjang dan berbisik di telinganya, demikian. Tak hanya bisikan dan hela napas hangat, tangan Soobin juga menyelinap di balik pakaian tidur dan mengelus kulit telanjangnya dengan sensual.

Kai menahan napas, merasa sangat was-was. Mereka sudah lama tak melakukan itu, dan Kai bisa tahu Soobin telah menahannya sejak ia pulang tadi. Kai memang tidak salah lihat. Kilat mata Soobin tadi... laki-laki itu menginginkannya.

Tak mendapat respon apa-apa dari kekasih yang ia peluk, Soobin mendudukkan dirinya dan membalikkan tubuh Kai. Ia tersenyum kecil saat mereka bertatapan—seperti dugaannya, Kai belum terlelap.

"Kenapa tidak jawab?"

Tangan Soobin merambat naik, menyingkap pakaian tidur Kai hingga ke leher, menampilkan tubuh Kai, seutuhnya telanjang. Senyum Soobin semakin melebar kala melihat puncak dada Kai, sesuatu yang ia bayangkan ada di dalam mulutnya.

Wajah Kai? Memerah, tentu saja. Tatapan Soobin pada tubuhnya selalu membuatnya malu. Bahkan ia dengan pakaian lengkap pun, tatapan Soobin seolah menelanjanginya. Kai menangkap pergelangan tangan Soobin, menatap Soobin seolah meminta agar laki-laki itu menurunkan pakaiannya.

Soobin? Tentu saja tidak mau menuruti. Ia merendahkan wajahnya, mengecupi sisi samping perut Kai, bibir ke kulit. Basah. Dan Kai benar-benar tersemu. Rasa geli dan panas dari mulut Soobin merambat ke seluruh tubuhnya. Terlebih, saat Soobin tak hanya mengecupi perutnya saja, melainkan kedua puncak dadanya bergantian.

"Uhm—Kak Soobin," Kai menyentuh belakang kepala Soobin—awalnya hendak menahan agar laki-laki itu tak melakukan hal lebih, tapi nyatanya, Kai tahu ia juga menginginkan ini terjadi. Ia merindukan Soobin, tapi juga takut.

Laki-laki yang lebih tua itu mengangkat kepalanya dan mereka bertatapan untuk beberapa saat—tanpa suara, tanpa gerakan. Barulah setelah Soobin kembali menegakkan tubuhnya, ia menyentuh kedua sisi pinggang Kai, menarik laki-laki itu agar menempel padanya.

Soobin tersenyum miring, dengan tangan yang terangkat di udara.

Plak!

Kai mendesis. Satu tamparan Soobin melayang di pipinya. Kebas. Panas. Sudut mata Kai seketika berair saat ia menyentuh pipinya yang baru saja ditampar kuat. Menggigit bibir bawahnya, Kai mulai terisak.

"Maaf, Kak. Maaf," cicitnya ketakutan.

Inilah yang membuat Kai kadang mempertanyakan siapa Soobin sebenarnya. Di satu waktu, laki-laki itu bersikap normal seperti pasangan pada umumnya. Bertingkah lucu, menggemaskan, dan juga romantis.

Tapi di satu waktu yang tak terduga, ia bisa bersikap sangat berbeda, seolah bukan orang yang Kai kenal. Mengumpat, memukul, dan bahkan menyakitinya hingga berbekas di tubuh—alasan kenapa akhir-akhir ini Kai tidak datang latihan karena ia takut teman-temannya melihat pipinya yang membengkak.

"Kan sudah aku bilang, jangan menahanku kalau aku sedang menyentuhmu, Kai."

Tatapan Soobin berhasil membuat Kai semakin ketakutan. Kedua pergelangan kakinya dicengkram Soobin—jadi Kai sama sekali tidak bisa bergerak untuk lari. Isakannya juga seperti tak terdengar di telinga Soobin, padahal wajahnya benar-benar menyiratkan rasa takut.

"Berbalik."

Soobin melepas kedua pergelangan kaki Kai, memerintah dengan nada dingin yang tak Kai kenali. Karena takut dan tak berani membantah, Kai berbalik, mencengkram bantal dengan kuat—menanti apa yang mungkin sedang Soobin pikirkan untuk menghukumnya.

Tak terjadi apapun. Bahkan Soobin tak bergerak sedikitpun sedari tadi. Kai menoleh ke belakang, mengintip dengan ujung matanya apa yang mungkin sedang Soobin lakukan.

"Maaf, Kai."

Soobin menunduk dengan sebelah tangan menyentuh pelipisnya.

"Maafkan aku, Kai. Aku—"

Kai tidak membiarkan Soobin menyelesaikan kalimatnya. Ia menghambur memeluk Soobin kuat-kuat dan menangis di dalam pelukan Soobin. Ketakutannya sirna. Meski ia takut pada Soobin yang menyiksanya, Kai jauh lebih takut pada Soobin yang menyiksa dirinya sendiri.

Tidak, jangan sampai kejadian minggu lalu terulang lagi. Kai tidak ingin ia menjerit histeris kala pulang dari kampus menemukan Soobin tak ada di manapun. Justru saat ia masuk ke dalam kamar dan mendengar suara gemericik air, jantung Kai bertalu kuat, membuka langkah lebar-lebar dan menemukan Soobin bersandar di dinding bathup, dengan pergelangan tangan yang terluka dan juga sebuah pisau kecil di dekat kakinya.

Kai tidak bisa lagi menjelaskan bagaimana perasaannya saat itu.

Hancur. Kalut. Bingung.

"Tidak apa-apa, Kak. Aku engga marah. Tapi tolong... tolong jangan benci dirimu sendiri, ya?"

Kai mengusap punggung Soobin—meski laki-laki itu bahkan tak membalas pelukannya.

Tidak apa-apa. Tidak apa-apa Soobin menyakitinya. Bagi Kai, itu lebih baik dari pada Soobin menyakiti dirinya sendiri.

Kai melepaskan pelukannya, menangkup pipi Soobin dengan kedua tangan, berusaha agar Soobin menatap kedua matanya. "Aku sayang kamu, jadi tolong jangan benci diri sendiri ya?"

Akhirnya Soobin menatap mata Kai—juga melihat bekas merah di pipi sang kekasih, dan itu membuat perasaan Soobin jauh lebih buruk dari sebelumnya. Ia merasa sangat marah, marah kepada dirinya sendiri yang menyakiti Kai.

Tangannya terangkat, menyentuh pipi Kai yang mulai berbekas merah. Soobin yang hanya mengenakan kaus lengan pendek memperlihatkan luka di pergelangan tangan yang belum sepenuhnya mengering. Tidak satu, namun banyak bekas lain yang sudah lama, dan Kai tidak berani bertanya karena apa.

Semuanya menjadi abu-abu.

Tentang siapa Soobin, kenapa dia seperti ini, bagaimana perasaan Soobin yang sesungguhnya pada Kai. Semuanya.

Tuluskah Soobin, atau hanya menganggapnya sebagai pelampiasan semata?

.

.

.

A/n:

Selamat malam minggu, jombs.

Btw akhir-akhir ini Sora aktif di twitter, ngonten Sookai short AU di sana. Tenang, kontennya uwu-uwu dan receh dan jamet kok :" Kali aja mau ngintip, di username ixora_kim ya. See you, fellas!

CARNIS | SooKaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang