12

2K 258 45
                                    

Di suatu pagi hari minggu, Kai mendapat pesan dari ibunya. Isi pesan itu kurang lebih agar ia pergi menengok bibi Jung yang sedang dirawat di rumah sakit—sebagai ganti karena ibu Kai sedang tak bisa menjenguk ke Seoul.

Kai dilema.

Ia dan Soobin sudah berencana untuk berkencan hari ini—menggunakan keseluruhan hari libur untuk bersenang-senang. Sejak bangun tidur pun, wajah Soobin sangat cerah dan Kai tidak tega untuk membatalkan rencana mereka. Tapi ia juga tidak tega untuk menolak permintaan ibunya.

Kai meraih handphone, menimbang-nimbang benda persegi itu selagi memikirkan kalimat yang tepat untuk mengatakan bahwa ia tidak bisa menjenguk bibi Jung hari ini dan mungkin akan membolos kuliah besok untuk bisa pergi ke rumah sakit.

Soobin keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil—sedang menggosok-gosok rambutnya yang lembab. Kai dengan cepat membalik layar handphone di atas ranjang, bersikap kalau ia tak memegang benda itu sebelumnya. Tapi ia kalah cepat. Soobin lebih dulu melihat pergerakan Kai.

“Ada apa?”

Saat Soobin menghempaskan tubuhnya di samping Kai masih dengan kegiatan mengeringkan rambut, Kai menghidu aroma sampo yang maskulin dan juga aroma sabun yang sama. Ia memutar tubuhnya menghadap Soobin, dengan gerakan pelan menyentuh pergelangan tangan Soobin yang masih bergerak.

Soobin menoleh, “Kenapa?” tanyanya sambil menghentikan gerakan tangannya. Tatapan mata Soobin dari balik rambut lembab yang acak-acakan itu terlihat lucu, dan Kai tidak mengurungkan niatnya untuk mengambil alih handuk kecil itu.

“Biar aku saja.” Kai berdiri di depan Soobin yang duduk di tepi ranjang. Tangannya mulai bergerak mengusap rambut Soobin dengan handuk tadi, melakukan gerakan yang sama namun lebih lembut. Dan Kai tahu, Soobin tak lepas menatapnya sedari tadi.

“Katakan saja, ada apa?”

Gerakan tangan Kai sempat berhenti beberapa detik. Karena wajah Soobin tampak sangat cerah pagi ini, maka ia putuskan untuk memberitahu.

“Ibuku mengirim pesan, katanya bibi Jung masuk rumah sakit tadi malam. Dan karena ibuku belum bisa datang ke Seoul hari ini,  aku diminta untuk menjenguknya di rumah sakit.”

Saat mengucapkan kalimat itu, Kai tidak berani menatap mata Soobin, jadi ia berfokus hanya pada helai rambut Soobin yang sebenarnya sudah cukup kering sejak tadi. Tak mendapati respon apa-apa, akhirnya tangan Kai berhenti bergerak. Masih dengan posisi tangannya di samping kiri-kanan kepala Soobin, mereka bertatapan.

Satu, dua, tiga. Kai menghitung dalam hati detik-detik respon kekasihnya itu.

“Pergi saja ke rumah sakit. Kencan kita hari ini bisa ditunda.” Sungguh sebuah kalimat yang tak Kai duga akan keluar dari bibir Soobin. Padahal Kai sudah bersiap seandainya Soobin marah atau tersinggung karena jadwal kencan mereka harus bergeser. Ternyata tidak. Untuk memastikan Soobin berbohong atau tidak, Kai menatap mata lelaki itu dalam-dalam.

Tapi tak ada emosi lain di dalam mata itu. Jernih. Ia benar-benar mengatakan kalimat barusan dengan sangat tulus. Bahkan saat Soobin menurunkan tangan Kai, ia mengulanginya lagi, “Pergi saja. Kencan kita bisa digeser.”

Kai mengangguk kecil, tidak lagi mempertanyakan emosi Soobin—dan lagi ia tidak mau membuat laki-laki itu menjadi lain dalam satu waktu ini. Selagi Soobin kelihatan sangat normal, ia akan melakukannya.

“Perlu aku temani?”

“Jangan!”

Kai menjawab terlalu cepat, dan itu menerbitkan kerutan di dahi Soobin. Ia merutuki kebodohannya di dalam hati, dan cepat-cepat meralatnya kembali, “Maksudku… rumah sakitnya cukup jauh dari sini. Dan mungkin aku akan cukup lama di sana. Kalau kamu bosan bagaimana?”

CARNIS | SooKaiWhere stories live. Discover now