Maaf Untuk Alika

11.9K 1.9K 124
                                    

Suara takbir mulai terdengar. Putri kecilku yang sudah beranjak menjadi gadis cantik kebangganku sedang sibuk didapur mengeluarkan nastar pertama yang dibuatnya.

Seharian tadi Alika sibuk didapur, setelah bikin butter cookies, niatnya buat bikin kue yang lain masih menggebu-gebu. Bahkan kelinci kesayangannya ditelantarkan begitu saja, dibiarkan berkeliaran di rumah.

Setelah buka puasa tadi dia kembali kedapur. Kali ini nastar, dari kemarin Alika udah ngerengek minta dibeliin nanas untuk nastarnya. Padahal selai nanas anti ribet juga dijual di supermarket.

"Ayah! Berhasil dong!"

Alika berlari kearahku yang sedang duduk didepan TV, sambil membawa satu nastar buatannya.

"Enakkan?!"

Gue gak bisa nahan senyum waktu ngerasain nastar pertama Alika. Enak, tapi selai nanasnya asem banget.

"Enak," jawab gue meskipun rasa asem nanasnya terlalu kuat.

"Tuh kan! Alika emang bakat Yah! Makanya waktu itu Alika bilang gausah beli nastar!"

"Mau Ayah bantuin? Kayaknya adonannya masih banyak."

"Gak usah, Ayahkan hari ini gak libur pasti capek. Mending Ayah istirahat aja. Besokkan lebaran, nanti waktu muter-muter Ayah capek lagi."

Oh iya, tadi gue masih ngantor. Beberapa kerjaan masih ada yang belum beres. Tahun ini kita juga enggak mudik ke Jogja karena H-1 lebaran gue masih masuk kerja. Beruntung Alika paham sama kesibukan gue.

"Tahun ini gak mudik lagi, gakpapa ya? Nanti akhir tahun Ayah janji ambil cuti deh biar bisa liburan sama kamu."

"Iya, lagian kalau cuma jogja Alika bisa kok Yah kapan-kapan naik kereta kesana."

Gue mengusap rambut panjang Alika, sambil menatap wajahnya yang kian hari semakin terlihat kurus.

Saat ini dia masih fokus belajar buat SBMPTN. Gue gak nuntut apapun dari Alika, tapi anak gue yang satu ini emang gigih dan ambis banget.

Persis kayak Ayah dan Mamanya. Emang bener, buah jatuh gak jauh dari pohonnya. Alika ini copy-an dari gue sama Haru, tapi versi lebih cerahnya.

"Dek?" panggil gue.

"Kamu makannya dibanyakin ya? Kok kurus gini?"

"Efek puasa kayaknya Yah."

Poninya yang hampir nutupin mata itu gue rapihin. Terlihat bubuk tepung yang mengotori rambutnya ngebikin gue kembali tersenyum kecil. Alika kalau udah niat memang gak pernah setengah-setengah.

"Alika, Ayah minta maaf ya."

Gue gak tahan lagi mau minta maaf sama anak gue.

Alika merubah posisi duduknya dan menatap gue bingung di sofa samping gue.

"Ayah..." panggilnya pelan sambil mengambil tangan gue.

"Ayah kenapa minta maaf? Aku jadi sedih tau." sudut bibirnya melengkung kebawah.

"Maaf ya bikin Alika jadi harus sibuk masak makanan buka puasa sendiri, nyiapin makanan sahur sendiri."

Alika bergerak memeluk gue erat, "Jangan minta maaf Ayah. Alika tau kok, kita ini beda dari keluarga yang lain."

Hati gue mencelos seketika.

"Kenapa Ayah ngerasa sedih, kita udah biasa lewatin ramadhan seperti ini. Sama aja Yah, bedanya cuma usia aja yang bertambah. Alika udah besar kali Yah! Jadi tanpa disuruh, Alika tau kalau bantuin kerjaan dirumah itu juga jadi tugas Alika."

Ya Tuhan, gimana jadinya kalau Alika bukan anak gue coba?

"Jadi ayah itu berat. Selain harus jadi kepala rumah tangga, Ayah juga harus ngerangkep gantiin posisi Mama."

Tangan gue kembali mengusap rambutnya, "Makasih ya Sayang, ayah gak tau lagi harus bilang sama kamu."

"Ayah pengennya bikin kamu seneng, Ayah mau ngerasain apa yang dirasain anak-anak seumuran kamu Nak."

"Emang aku keliatan gak seneng ya Yah? Aku tuh seneng banget, selama Ayah sama Alika, aku seneng kok!" Alika tersenyum lebar sambil menunjukkan deretan giginya.

"Walaupun gitu, tetep aja Ayah minta maaf. Gak seharusnya kamu berada di kondisi keluarga yang seperti ini."

"No... Ayah jangan bilang kayak gitu. Alika gakpapa Ayah. Ayah itu udah ngusahain yang terbaik buat Alika. Justru Alika yang harus minta maaf, Alika belum bisa balas apa-apa sama Ayah."

Gue bergerak memeluk Alika. Alika gimana Ayah gak bersyukur punya anak seperti kamu?

Ya Allah, tolong jaga anak saya. Dia anak baik, jangan biarin dia terluka

Tanpa sadar gue mulai meneteskan airmata.

Gue beruntung, dulu bisa ngerasain kasih sayang orangtua. Gue beruntung punya orangtua yang sayang sama anak-anaknya, meskipun orangtua gue juga punya kekurangan dalam mendidik anak-anaknya. Tapi paling enggak, gue dibesarin dengan kasih sayang yang lengkap.

Sementara Alika?

Membandingkan gue sama Alika bikin rasa bersalah gue makin menjadi-jadi. Memang, gue udah berusaha ngasih apapun yang bisa gue kasih. Tapi cela itu bakalan tetep ada, mau gue tambal sedemikian rupa juga tetep kelihatan.

Alika, maafin Ayah.

Gue gak boleh menyesali apa yang udah terjadi, tentang gagalnya pernikahan gue sekalipun. Tanpa pernikahan itu, Alika gak bakal lahir kedunia.

Apa jadinya gue hidup tanpa anak itu?

Apa jadinya kalau bukan Alika yang jadi anak gue?

Gue gak sanggup bayangin kalau anak gue bukan Alika.

Alika, sekali lagi Ayah minta maaf karena kekurangan Ayah. Ayah akan selalu berdoa buat Alika supaya kamu selalu dikelilingi orang-orang yang sayang sama kamu Nak.




Satya and His DaughterWhere stories live. Discover now