Lembar: 09 - Maling Diary

373 98 1
                                    

El ingin tahu lebih banyak tentang Runa. Tapi bagaimana?
Pemuda itu bolak-balik berjalan di depan meja belajarnya. Ia ingin mengenal Runa, ingin tahu kesehariannya, perasaannya, dan semua hal tentangnya.

"Sial, gue penasaran." Ia bergumam kasar sambil menjambak rambutnya.

Kembali ia berjalan bolak-balik. Kali ini dengan ujung jempol kuku yang digigit. Gue harus balikin diary dia, tapi gue bisa dikira orang mesum nanti kalau sampai ketahuan, batinnya kalut.

El mencoba meredamkan perasaan kepo-nya dengan membuka buku. Ia mencoba belajar untuk persiapan olimpiade nanti.

Apa gue ambil diary lain dia lagi ya? Biar tahu lanjutannya?

Ide gila, bodoh, dan tak beradab itu tiba-tiba muncul dari otak cerdas El.

Pemuda itu akhirnya menarik napas panjang. Sepertinya Diary Runa adalah candu.

El: Na, ini diary, lo? Gue nemu di perpus tadi.

El mengirim foto diary bersampul biru itu pada Runa. Ia berusaha tenang.

Runa_dy: IYA! Itu diaryku. Kok bisa ada di kamu?

El: Gw nemu di perpus.

Runa_dy: Oh iya ya. Jangan dibaca pokoknya!

El: Ngapain gw baca diary cwe.

Runa_dy: Hehe, kali aja kan? Wk. Maap

El: Iya

Runa_dy: Besok gue ambil ke kelas lo sekalian tanya soal latihan ya:3

El: Iya

Dan percakapan pun berakhir.

Gawat. Jantung El berdetak lebih cepat dari biasanya. Lelaki itu segera membaringkan tubuhnya ke kasur. Sepertinya tak sabar menunggu esok hari untuk mengembalikan diary milik Runa. Ia pikir, gadis itu akan marah karena diary miliknya dibawa pulang oleh pemuda itu. Tapi ternyata tidak.

Syukurlah, batinnya. Sekarang misi dia adalah mengambil diary lain milik gadis itu.

***

"Makasih udah nemuin diaryku," ucap Runa dengan senyum manis.

Senyum pertamanya yang ditujukan untuk El—kecuali senyum miring.

El mengangguk. "Gue bawa pulang karena gue kira buku gue," ujarnya mencari alasan sebelum gadis itu menanyakan soal bagaimana bisa pemuda itu membawanya pulang.

"Oh, kamu juga suka model buku kayak gini? Ini edisi terbatas loh," kata gadis itu tertarik.

Eh? Apa? El menelan ludah. "Iya, gue suka model buku kayak gitu," balasnya datar.

Memanglah, lelaki bernama El ini pandai sekali menyembunyikan emosi dan pikiran absurd-nya. Lihatlah sorot mata datar seperti tak tertarik pada apapun itu. Lihat juga mulut dia yang irit bicara itu. Wah, pasti orang yang melihat akan salah paham kalau dia adalah lelaki dingin tak berperasaan.

Beruntung nada bicara dia lirih. Maka sekali mendengar suaranya, argumen soal lelaki dingin itu dipatahkan.

Kelas yang ditempati El sedang sepi. Dua orang itu sengaja datang pagi-pagi karena para penggemar El sangat ganas di mata Runa.

"Eum, mau nanya apa?" El memutus hening.

Runa kalap. Ia segera mengeluarkan bukunya. "Ini nomor sepuluh."

Mereka berdua sibuk mempelajari soal hingga tak menyadari sekolah berangsur ramai.

"Baru kali ini gue lihat si Runa seberani itu," komentar Gion, ketua kelas yang duduknya tepat di samping El.

Runa dan El bisa mendengarnya, namun mereka pura-pura tak mendengar.

"Demi memajukan sekolah kita, Abang." Edward menyahut. Matanya mengawasi Runa intens.

Gion mengangguk setuju. "Masalahnya bukan itu, Ward."

Edward manggut-manggut. "Masalahnya para cewek di kelas kita, 'kan?"

Sang Ketua Kelas mengangguk lagi.

Hareudang.

***
Bersambung
.
.

BWAHAAHHAHAHAHA

selamat datang kembali di foot note author -_-

:V plak. Eh, /senyum manis/ silakan pencet byntancnya
/masih senyum manis/
Dan jangan lupa komeng :v

Sip. Terimagaji

(☞^o^) ☞

Blue Diary | ✓Where stories live. Discover now