Lembar: 18 - Diary Bang El

311 74 3
                                    

Tak perlu alarm, El bisa bangun dari tidurnya. Ia tanpa banyak menunggu tenaganya terkumpul, segera melakukan kegiatan pagi seperti biasa.

Biasanya, El berangkat ke sekolah naik motor atau bus—tergantung kondisi jalanan kota. Lelaki itu sebenarnya lebih memilih angkutan umum karena tak ingin membuat kota semakin macet dan menambah polusi. Namun suara klakson kendaraan yang bersahut-sahutan di ujung gang terdengar sampai ke rumahnya. Jadilah pemuda itu menaiki motor untuk hari ini.

Di sepanjang perjalanan, ia teringat percakapan Runa kemarin siang saat di food fest.

Dia bilang, "Kita sahabat. Jangan remehin hubungan kita."

El agaknya ragu, ia kembali bertanya, "Kalau gitu, kalian serius naksir Rudy? Maaf, yang playboy itu?"

Hening sejenak. Runa tak tahu bagaimana harus menjelaskannya pada El.

"Na?"

"Aku tahu Rudy playboy. Aku dan Gita coba buat ngertiin sifat dia. Dia lakuin itu buat milih siapa yang pantes di jadiin pasangan di masa depan," jelas gadis itu.

Kalimat itu terus terngiang di kepala El hingga tak terasa ia sudah tiba di sekolah. Setelah memarkinkan motor, pemuda itu menyimpan kedua telapak tangannya di saku celana. Berjalan bisu menuju kelas.

Jawaban Runa kemarin membuktikan bahwa Gita dan Runa sepakat tak akan membiarkan Rudy meninggalkan mereka. Walau sulit dipercaya Runa terlihat santai-santai saja saat melihat Rudy dan Gita lebih akrab beberapa hari ini.

"Kak El!"

Langkah El terhenti. Ia menoleh kanan kiri memastikan siapa yang baru saja memanggilnya.

Ketemu. Seorang siswi bertubuh mungil dengan wajah imut berdiri malu-malu tak jauh darinya.

"Ya?"

Beberapa murid tampak berkerumun untuk menyaksikan drama picisan tersebut. El sebenarnya tahu apa mau siswi itu, tapi ia sebaiknya menunggu untuk dijawab.

"Aku suka sama kakak!" seru gadis itu dengan wajah merah padam.

"Tapi gue nggak suka sama lo," sahut El langsung. Ia menggelengkan kepalanya heran, kemudian berbalik melanjutkan langkahnya menuju kelas.

El tidak sadar, ia sebenarnya adalah murid laki-laki yang digemari siswi di sekolahnya. Bahkan ia tak tahu kalau fotonya terpajang di internet dan di sebarkan para gadis gila cogan.

Kadang lelaki itu heran, kenapa anak SMA berambisi untuk mendapatkan pasangan. Di kepala El, pacaran hanya membuang-buang waktu. Lebih baik menyiapkan diri untuk masa depan dan melamar gadis impian.

"Gila, masa si Rudy tadi jalan sama cewek lagi."

Suara Runa memutus lamunan El. Pemuda itu sigap berbalik dan bersembunyi di balik tembok.

"Ya, namanya cowok bebek sawah ya gitu, Na. Kita harus sembuhin dengan cara temuin dia sama cinta sejatinya," balas Gita.  Ia menyilangkan tangannya di dada sambil menyandar dinding. Kedua siswi itu sedang mengantri di depan toilet.

"Tapi aku nggak suka lihatnya. Kita kena kacang mulu," gerutu gadis berkacamata itu.

Tawa Gita terdengar. "Karena dia lagi nyari temen hidup. Bukan temen sekolah," kekehnya miris.

El tersenyum miring. Rudy itu sudah menyia-nyiakan kedua sahabatnya yang sudah pasti menemaninya sampai kapanpun dan dia memilih untuk bersama 'calon teman hidup' yang belum pasti teman hidupnya.

Ia kembali melanjutkan langkahnya. Pura-pura tak melihat Runa. El ingin sesekali disapa gadis itu.

"El," panggil Runa.

El tersenyum dalam hati. Ia menoleh. "Ya?"

"Kamu kenapa senyam-senyum?" Runa berkata datar.

"Eh?" El menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Tunggu, jadi dia tidak menahan senyum dari tadi? Reflek pemuda itu memegangi pipinya. Astaga, ternyata ia tak pandai menyembunyikan senyum.

"Lo sama El pacaran?" Gita menyelidik.

Ptak!

"Ta, cari topik yang faedah dikit napa!" Runa mendengkus kesal. Ia dan El memang agak akrab beberapa hari ini. Bukan berarti mereka pacaran.

"Kalian sejak kapan akrab? Bukannya lo maling diary Runa?"

Dasar Gita. Mulutnya tak akan berhenti berbicara hingga pertanyaan terjawab.

Ptak!

"Ta, serius. Dia udah minta maaf, biarin aja. Lagian isi diarynya paling bucinku sama Rudy," bisik Runa yang masih terdengar di telinga El.

Kata siapa? Batin El menantang.

Gita ber-oh pelan. "Jadi diary lo masih banyak?"

Runa mengangguk. Ia bercerita kalau isi diarynya seperti sebuah cerita berseri yang menjadikan Runa seperti sekarang.

Sial, gue jadi penasaran diary lainnya, batin El kesal. Tapi ia harus menahan diri demi pertemanannya dengan sang pemilik diary.

***

Gawat bagi El adalah, ketika ia tak dapat menahan dirinya yang kepo.

Satu minggu berlalu tanpa terasa. Hari-hari El selalu di isi dengan latihan dan latihan untuk olimpiade mendatang. Karena keberhasilannya di setiap olimpiade, El sekarang menjadi pemeran utama di tim.

Runa tak tertinggal. Ia menyusul kawan-kawannya dengan cepat. Hari ini, tim El sedang berdiskusi di ruang olimpiade seperti biasa.

Yang berbeda adalah, wajah Runa terlihat lebih pucat. Mungkin jadwalnya yang super padat membuat kesehatan gadis itu menurun.

El tak henti-hentinya memastikan teman beda kelasnya itu baik-baik saja. Ia bahkan tak fokus mengerjakan soal hingga Runa memegang pulpennya.

Beruntung pak Hans harus segera menjemput istrinya yang sakit. Terima kasih istri pak Hans, berkatmu El bisa mendatangi Runa sesegera mungkin.

"Na, gue anter pulang ya?" tawar El.

Runa mendongak. "Nggak usah, aku ada janji sama Gita hari ini."

"Wajah lo pucet, Na. Lo harus istirahat dulu," sahut El gemas.

"Tapi...."

"Nanti gue telpon Gita."

Runa mengangguk lemah, ia hendak meraih tasnya namun kalah cepat. El sudah lebih dulu menenteng tas biru tersebut.

"Mau gue gendong?"

Runa buru-buru menggeleng. "Aku jalan aja."

***
Bersambung
.
Fiks 1 atau 2 part lagi tamat( /^ω^)/♪♪

Blue Diary | ✓Where stories live. Discover now