Lembar: 10 - Diarymu Candu

391 97 12
                                    

"Puas?" Nadia menatap hina gadis di depannya. Tawa cekikikan menggema di langit-langit toilet. Suaranya seolah-olah menyihir Runa untuk terus menunduk. Dingin. Tetesan air tak mau berhenti bergerak dari untaian rambutnya.

Gadis itu tak sudi menangis. Itu artinya dia kalah. Walau dalam hati kecilnya bertanya-tanya, Kenapa? Kenapa aku?

Nadia tak puas. Tangannya beralih menjambak kepangan Runa. Jeritan bisu seolah terdengar oleh pintu. "Wah, hebat ... nggak nangis," ujar salah satu siswi dengan tatapan merendahkan.

Runa menutup mulutnya rapat. Ia berusaha untuk tak menimbulkan suara. Itu taruhan! Gadis yang sudah tak berkacamata itu tak mau kalah dari 3 perempuan di sekelilingnya. Apa-apaan mereka? Apa mereka tidak tahu sekuat apa Nona Runa?

Plak!

"Ups, maaf, tangan gue licin." Gadis berambut pendek pura-pura memasang wajah menyesal setelah telapak tangannya lancang menampar pipi Runa.

Lagi-lagi tawa itu terdengar horor. Mereka sepertinya mendapatkan mainan baru hari ini. Apa sebutannya? Ah ya, boneka cupu yang bisu.

Lima menit, cukup. Runa mulai mendongak saat segayung air tumpah tepat di depan wajahnya.

Splash.

Sempurna. Runa mengusap mukanya yang basah. Ia patah-patah berusaha berdiri.

"Kalian...," gumam Runa dengan wajah datar. Ia menatap satu persatu para siswi di sekelilingnya.

Seringai keji terlukis di wajah Runa. Matanya menatap nyalang Nadia. "Nama kamu siapa?" tanya Runa dengan nada remeh.

"Apaan nih cewek," ujar Nadia heran. Diiringi tawa kedua sahabatnya.

"Heh, denger ya. Gue gak akan biarin cewek dekil kayak lo deketin El!" Nadia berseru. Ia menarik ujung kepangan rambut Runa secara paksa.

Runa menggeram. Ia berusaha menahan tarikan iblis tersebut. Jadi ini karena El? Gila ... fans dia banyak bat dah! Batin Runa kesal.

"Aku nanya nama kamu siapa?" Runa melotot lancang. Ia tak sabar mengetahui siapa nama gadis berambut panjang ini.

"Nadia." Suara lelaki dari pintu terdengar mengerikan di telinga Nadia dan kedua temannya. Mereka berempat menoleh ke bingkai pintu.

"Cil, bukannya gue udah suruh lo kunci pintunya?!" seru Nadia parau.

Cecil bersumpah, "Gue udah kunci, Nad. Mana gue tahu kalau dia bisa masuk!"

"Lepasin Runa!" seru Rudy. Ia menepis tangan Nadia kasar. "Lo cewek tapi kelakuan kayak setan ya," desis Rudy padanya.

Nadia melotot. "Oh, jadi ini pacar lo? Jauh-jauhin dia dari El deh. Dia udah gatel tahu nggak sama pacar gue!"

Rudy dan Runa tak menghiraukan perkataan Nadia. "Ayo pergi." Pemuda itu menarik paksa Runa yang terpaksa menurut dengan kaki tertatih.

"Nad, emang lo sama El udah jadian?" Cecil bertanya polos.

Nadia melirik temannya tajam. "Diem lo."

***

"Runa kenapa?" El baru saja masuk ke ruang olimpiade. Gadis yang dimaksud memakai pakaian olahraga sementara wajahnya pusat pasi. Rambutnya sedang ditata oleh Gita dengan hati-hati.

"Nggak pa-pa," jawab Runa acuh. Ia seperti tak sudi menatap El.

El tak paham apa yang terjadi. Ia akhirnya menatap Gita, meminta penjelasan.

"Runa di-bully pacar lo," sahut Rudy dengan nada dingin.

Alis El terangkat sebelah. Pacar?

"Gue nggak nyangka tipe cewek yang lo suka kayak gitu," gumam Rudy sambil memainkan gawainya.

"Ha?" El bingung. Apa yang sedang mereka bicarakan?

"Gue nggak punya pacar," tukas pemuda itu. Ia segera duduk di salah satu kursi. Gerakannya patah sedikit canggung.

"Nadia." Runa menatap El dengan wajah pucatnya.

El menelan ludah. Nadia? Siapa?

"Lo pacaran sama Nadia?" tanya Runa malas.

El menggeleng. "Dia kayaknya temen sekelas gue?" sahutnya tak yakin.

Ketiga sahabat itu saling tatap.

Satu detik....

Dua detik....

Tiga detik....

"BWHAHAHAHAHAHA." Tawa mereka meledak bersamaaan.

Gita lebih parah. Ia memukul-mukul nakas meja saking semangatnya ia tertawa.

El mengernyit. Mereka kenapa?

"Gue nggak nyangka tu cewek sok ngaku-ngaku pacar El, bwhahahah," ujar Gita di barengi tawa kedua sahabatnya.

"Setuju. Dia mah cemen. Jauhin El dari gue aja pake cara murahan," timpal Runa semangat.

"Sst, udah. Jangan ghibahin orang," sahut Rudy sebelum pembicaraan menjalar ke mana-mana. Wajahnya masih berusaha menahan tawa.

Apanya yang lucu? Batin El tak mengerti.

***

"Runa, mau gue anter?" tawar El usai kelas olimpiade.

Runa yang sedang membereskan bukunya menoleh. "Ha? Enggak usah. Aku udah sama Rudy nanti."

El diam. Di kepalanya dipenuhi pikiran untuk mengambil diary lain milik Runa di rumahnya. Mengajak Runa adalah salah satu cara untuk mendapatkan diary baru gadis itu.

Drrrt....

Ponsel Runa bergetar. Gadis itu segera mengangkatnya.

"Hallo? Rudy?" Senyum manis terulas di wajah pucatnya.

"Na, sorry banget, gue nggak bisa anter lo pulang. Gita ada tugas tambahan buat ke tempat foto copy. Kebetulan gue juga ada urusan di sana. Sorry banget ya."

Kalimat panjang di seberang telepon dapat didengar oleh El. Senyum itu sirna dari wajah Runa. "Oke, ngga pa-pa. Gue pulang sendiri aja."

Gadis itu mematikan gawainya kasar. Ia buru-buru membereskan sisa bukunya.

"Runa?"

"Apa?!"

El terlonjak. Tak menyangka gadis itu akan segalak ini. Tapi di mata lelaki itu, reaksi Runa sangat lucu.

"Gue anter aja gimana? Kebetulan gue ada urusan di sana," tawar El sambil menggaruk tengkuknya.

"Boleh."

***
Bersambung
.
.

ಥ‿ಥplis, pencet bintangnya. Gue Macsya!

(ಠ_ಠ)━☆゚.*・。゚

Blue Diary | ✓Where stories live. Discover now