Lembar: 13 - Titik Nol

312 79 6
                                    

Runa Adinda. Gadis nyentrik di sekolah elite. Ia tampak berbeda dengan gaya rambut kuno dan kacamata tebalnya—membeli baru setelah dipecahkan Nadia.

Ia memiliki sifat berani dan tak tertebak. Kadang sikapnya yang terlalu supel menjadi halangan bagi teman-temannya untuk merebut hati pria tampan. Terkadang sifatnya yang pemalu menjadi bahan olok-olok kawannya di kelas.

Gadis itu lebih mencintai rumus-rumus fisika daripada oppa Korea. Tapi jangan salah, selera laki-lakinya sangat tinggi. Paling tidak ia harus memiliki kulit putih nan mulus. Wajah tampan dan otak cemerlang.

Hampir semua wanita di dunia ini pasti menginginkan laki-laki semacam itu. Tapi tunggu, Runa berbeda. Ia menyukai lelaki yang memiliki kekurangan pula.

Contohlah Rudy. Ia sudah memenuhi kriteria pasangan impian Runa. Apa kekurangannya? Tentu saja kelakuan tak bertanggung jawabnya itu.

Apa istilahnya? Benar sekali, fuckboy.

Runa tahu itu, begitu juga Gita. Mereka berdua memang sudah terjebak dilema cinta Rudy. Sebenarnya, siapa yang dicintai pemuda itu?

Runa ingin beralih dan melupakan sahabat playboy-nya itu. Tapi sampai detik ini juga, ia belum mau bergerak dari zona nyaman.

Hari ini, setelah Rudy memberikan solusi untuk masalah Runa, lagi-lagi pemuda itu membuat dia jatuh cinta untuk kesekian kalinya.

"Mau kuantar?" Rudy tersenyum manis. Mereka berdua baru saja menyelesaikan kelas, sementara Gita dipanggil ke lapangan untuk latihan pekan olahraga.

Runa mengangguk. "Boleh."

Rudy mengacak puncak kepala Runa gemas. "Mampir toko buku sekalian. Gue mau beli sesuatu," ujar Rudy melangkah keluar lebih dulu.

"Beli apa?" Runa berjalan menyusul di belakangnya.

"Ya buku lah."

Mereka berdua tertawa.

***

"Gue lihat muka lu sepet amat dari tadi," komentar Edward sebelum membereskan peralatannya. Ia merasa ada yang aneh dengan kawan sebangkunya kali ini. Pagi tadi jalannya terpincang. Sekarang wajahnya suram.

Sebagai kawan yang baik, Edward pun menanyakan keadaan El yang sudah pasti buruk.

"Bukan urusan lo," jawab El dingin.

"Eh lihat itu Runa!" seru Edward tiba-tiba.

El reflek menoleh ke arah jendela.

Tawa Edward seketika meledak. "Tapi boonk."

El membuang muka. Ia malu mengakuinya tapi, pemuda itu berharap bisa berbicara dengan Runa hari ini.

"Lo kenapa sih?" Edward menyilangkan tangan di atas meja—setelah menyeka ujung matanya yang basah. Kelas berangsur sepi, menyisakan beberapa murid yang sedang piket dan mereka berdua.

El tak terlalu dekat dengan Edward. Namun jujur, ia kenal watak pria di sebelahnya.

Edward adalah salah satu manusia supel di sekolah. Ia netral tak tertarik pada apapun kecuali gosip.

"Ck. Jangan dingin-dingin, abang jadi takut." Edward berpura-pura memasang wajah ngeri.

El memutar kedua matanya malas. Tak sengaja netranya menangkap dua sosok yang sedang berjalan beriringan di koridor kelas. El reflek berdiri. Ia mengawasi Runa dan Rudy yang mengobrol di sepanjang lorong depan kelas El.

"El, lo mau ke mana?!" seru Edward saat menyadari kawan sebangkunya berjalan keluar kelas.

"Lo bego apa gimana, Ward. Jelas pulanglah!" sahut Gion dari depan kelas. Ia baru saja menyelesaikan tugasnya menghapus papan tulis.

Edward berdecak. Dasar bodoh, ia lupa kalau sekarang sudah jam pulang.

***

"Runa!" panggil El saat gadis itu dan Rudy sedang mengobrol di parkiran.

Runa menoleh sekilas, lalu kembali melanjutkan obrolan dengan Rudy.

Sakit. Itulah yang dirasakan El sakarang. Ternyata kacang itu sangat berbahaya untuk jantung.

"Na," lirih El setibanya di dekat gadis itu. Ia memasang wajah suram.

Runa tak menggubris. Ia sekarang sibuk mengenakan helm.

"Runa, gue mau ngomong sesuatu sama lo," ucap El parau. Ia khawatir gadis itu mengacuhkan dirinya selamanya.

Runa mendelik. "Aku sibuk," gumamnya.

Rudy mengacak rambut Runa. "Na, kasih dia kesempatan, gih. Gue tahu pasti ada hal penting yang mau dia sampein ke lo," ujar lelaki itu dengan senyuman.

"Tapi—"

"Tenang aja, gue tunggu di sini kok," potong Rudy seraya mengedipkan sebelah matanya.

Runa ragu. Tapi melihat keadaan El sekarang, gadis itu akhirnya mengangguk. Ia melepaskan helm sebentar.

"Jangan lama-lama. Aku mau kencan," bisik Runa tajam saat melangkah melewati El.

Mata El melebar. Ia mengangguk lalu menyusul gadis itu dengan kaki sedikit terpincang.

Walau kalimat Runa tadi menyakitkan, tapi melihat gadis itu memilih mengobrol dengan El lebih dulu, berhasil membuat jantung El berdetak lebih semangat hari ini.

***
Bersambung
.
.

ლ(^o^ლ)Hei ges apa kabar. Karena diriku terbiasa up pageh, mule besok mungkin agak siang bikos diriku fokus ikutan ipen laknat :v dukung yak!

Blue Diary | ✓Место, где живут истории. Откройте их для себя