Lembar: 15 - Sang Penggemar

290 76 7
                                    

Hari yang ditunggu-tunggu pak Hans tiba. Olimpiade tingkat daerah sudah di depan mata. Pria paruh baya tersebut kini sedang memberikan arahan serta nasihat pada beberapa muridnya—termasuk El dan Runa.

"Paham semua?" Suara lantang pak Hans menyebar ke seluruh lapangan sekolah.

"Paham, Pak!" sahut 10 murid di depannya dengan teriakan serentak.

Setelah beberapa kalimat, barisan tersebut di arahkan menuju mini bus. Benda itu melesat membelah jalanan kota.

Selama perjalanan, El tak henti-hentinya menoleh ke kursi sampingnya. Runa sepertinya sibuk memperhatikan ke luar jendela.

Entah kenapa pemuda itu bisa mendapatkan bagian tempat duduk di samping Runa. Apa karena mereka satu tim? Mungkin saja.

Sisi baiknya, El yang sudah beberapa hari ini tak memiliki kesempatan berbicara dan menjelaskan banyak hal pada Runa, akhirnya mendapatkan kesempatan itu.

Sekarang mungkin bukan waktu yang tepat karena mereka harus berlatih beberapa soal sambil menunggu bus sampai ke tujuan.

Runa termenung. Ia tak menyangka El akan duduk di sebelahnya. Gadis itu memilih terus memalingkan muka. Setiap melihat wajah tampan El, yang ada di kepala gadis itu hanyalah fakta El mesum. Sialnya, hari ini dia harus terus bersamanya karena mereka satu tim.

***

Olimpiade berjalan lancar. El dan Runa berhasil lolos ke babak 2 dan sekarang sedang menunggu pengumuman pemenang untuk lanjut ke babak tiga.

Sambil menunggu, El dan Runa beristirahat di salah satu stand makanan yang sudah di sediakan.

"Gimana soalnya?" El mencoba mengajak bicara.

Runa hanya melirik pemuda itu sekilas. Ia kembali menyesap minuman dinginnya. Tak peduli.

Ughh, gini amat hidup gue, batin El menahan perih di dada.

Tak lama setelah kejadian canggung itu, panggilan pengumuman terdengar.

Runa segera pergi menuju aula utama, diikuti El yang melangkah masygul.

"12, 17, 18, 20, 24, 56, 76...."

Runa mendengarkan dengan seksama semoga nomor urutnya masuk ke dalam 20 besar. Ia dan El sama-sama menunggu dalam diam.

"80, 81, 93, 97, 98...."

"Yes!" Runa mengepalkan tinjunya. Ia nomor urut 80, sementara El 81. Tanpa sadar gadis itu mengajak El beradu tos.

"Kita masuk!" seru Runa kegirangan. Ia loncat-loncat saking senangnya.

El membulatkan matanya. Ia kaget kenapa tiba-tiba diajak tos. Ternyata gadis itu terlalu senang hingga tanpa sadar, orang yang dibencinya pun turut jadi pelampiasan kebahagiaan gadis itu.

Tersadar, Runa segera menarik tangannya. Gadis itu salah tingkah. Ia berdehem mencoba berpura-pura tak terjadi apa-apa. El membuang muka, ia sedikit malu karena hal barusan.

Dua jam berlalu dan babak final usai. Sudah bisa ditebak, El dan Runa mendapatkan juara—walau bukan juara satu. Mereka tetap puas dengan hasilnya. Sementara itu, 4 tim lainnya juga berhasil mendapatkan juaranya masing-masing. Pak Hans menatap anak-anak didiknya  bangga.

Binar kegembiraan terpancar di mata para muridnya. "Pak," interupsi Ody. Matanya yang paling memancarkan aura semangat.

"Ya, Ody?" sahut pak Hans.

Mereka berkumpul di parkiran saat semua sudah usai.

"Traktirannya sapi!" serunya semangat. Beberapa kemudian menyahut setuju.

"Joysteak, Pak! Dagingnya empuk!" sahut yang lainnya.

Pak Hans tertawa. "Giliran traktir kalian lebih semangat rupanya."

***

Mini bus berjalan seperti siput karena kemacetan kota. Semua penumpang sudah lelah usai olimpiade. Mereka juga puas memalak guru mereka di restoran mahal tadi.

Runa tertidur pulas. El melirik gadis itu takut-takut. Cahaya matahari mengenai sang pemilik diary biru tersebut. El panik. Ia takut tidur Runa terganggu karena silau matahari. Pemuda itu segera menarik tirai agar menutupi jendela kaca bus.

Menghela napas lega, El kembali menghadap depan. Tiba-tiba, sesuatu mengenai bahunya. Pemuda itu ragu melirik ke samping. Karena goncangan bus barusan, posisi kepala Runa beralih ke pundak El. Gadis itu masih saja tertidur. Mungkin tambah pulas karena sandaran barunya.

El menahan napas. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia beusaha tetap tenang saat Runa bergumam dan memperbaiki posisi kepalanya. Bukannya beralih, gadis itu malah tambah tenggelam di pundak El. Aroma lavender tercium samar. Tebak sendiri semerah apa wajah pemuda itu sekarang. Cahaya sore samar menelisik celah tirai. Tanpa sadar pemuda itu ikut terlelap.

***

"Runa, tunggu!" cegah El saat sang pemilik nama hendak berjalan menuju halte.


Runa berbalik. Lalu mendecih kesal. Dia kira siapa, ternyata si mesum.

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo," ujar El memberanikan diri. "Tolong dengerin gue."

Runa menimbang. Ia ingin segera pulang, tapi berpikir juga, kapan masalah itu selesai.

"Oke, 10 menit." Runa mengangkat tangannya. Melirik jam tangan dengan mata lelah.

El menelan ludah, ia mulai menjelaskan, "Gue emang udah jahat banget baca diary lo. Sejauh ini, gue berpikir, kenapa gue bisa segitu pengennya baca lagi diary lo sampe kemarin lancang minta punya lo yang lain."

Runa diam. Ia menunggu El menyelesaikan penjelasannya.

"Ternyata, gue suka sama tulisan lo. Gue suka sama cara lo nulis di diary. Gue penggemar tulisan lo, Na," lanjut pemuda itu.

Wajah Runa seketika memanas. Apa dia bilang? Penggemar?

"Jadi, gue mau minta maaf. Cara gue salah," El menunduk dalam, "seorang penggemar nggak seharusnya lancang meminta karya orang yang digemarinya dengan paksa."

Runa sedikit tergelitik karena pemuda itu mengaku penggemarnya. Walau hal yang digemarinya adalah privasinya, tapi tak bisa dipungkiri Runa senang akhirnya masalah itu tak sesuai yang dibayangkannya.

"Terus?" Runa berdehem.

"Lo mau maafin gue?" El berusaha menatap manik cokelat Runa. Tapi sedetik saja, pemuda itu tak sanggup. Ia kembali menurunkan pandangannya.

"Dengan satu syarat."

***
Bersambung
.
.
No capt :v seneng kelan hah

Blue Diary | ✓Where stories live. Discover now