Salam Kenal, Nata

25 4 0
                                    

“... mulai sekarang kamu akan bergabung dengan kelas 11 Oto 1, Walikelasmu bernama Pak Hendrawan, beliau adalah guru Teknik Perakitan, juga merangkap pengajar Bahasa Inggris. Masuk di tengah semester cukup berat, tapi belum terlambat mengejar ketinggalan. Kamu bisa mengikuti ...”
Nata berusaha menyimak apa yang dikatakan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan yang tengah mengantarnya ke ruang kelas baru, sembari mengawasi sekitar untuk membiasakan diri dengan lingkungan baru. Setelah menghabiskan sebulan di rumah sakit dan sebulan masa pemulihan, Nata memang melewatkan banyak hal terutama pendidikannya. Apalagi dia langsung masuk ke sekolah baru.
Langkah Nata terus mengikuti jejak sang Wakasek bernama Pak Hidayat tersebut. Dia tetap memasang telinga sambil membaca papan nama penunjuk ruangan setiap kali menemukannya. Niatnya untuk segera menghafal denah sekolah sehingga bisa cepat beradaptasi. Walaupun tak terlalu senang dengan image sekolah barunya, Nata tetap ingin mengejar ketertinggalannya. Dia tetap ingin lulus tingkat menengah atas sesuai waktunya, bukan lebih lambat satu tahun.
Sekolah baru Nata sebenarnya bernama SMK Lambung Mangkurat, tapi masyarakat kota Banjarmasin lebih mengenalnya dengan sebutan SMK Penjara. Bangunan sekolah yang dikelilingi dengan pagar setinggi 3 meter membuat sekolah kejuruan tersebut seperti terisolasi dari dunia luar, padahal letaknya berada di pusat kota. Selain itu, letak bangunan sekolah yang berada di belakang Lembaga Permasyarakatan membuat sebutan SMK Penjara menjadi ternama.
Namun, bukan itu saja yang membuat nama tersebut melekat di SMK Lambung Mangkurat. Sepuluh tahun lalu sebuah insiden tawuran yang terjadi di sana membuat nama Penjara begitu melekat dan membuat sekolah tersebut minim peminat. Biasanya siswa yang masuk ke SMK Penjara hanyalah mereka yang tak beruntung diterima di sekolah lain.
Seperti kasus Nata, tak ada sekolah yang mau menerimanya karena catatan hitam tertoreh 3 bulan lalu. Semua orang melupakan bahwa dulunya Nata Mahija merupakan siswa berprestasi, pernah menjadi atlet yang mengibarkan bendera merah putih di Piala Asian U16. Bahkan orangtua Nata sendiri sudah melupakannya. Membuang Nata ke rumah sang nenek dan tak memedulikannya lagi.
Nata sudah mengikuti langkah Pak Hidayat lebih dari sepuluh menit, tapi belum mencapai tujuan. Sepertinya Pak Hidayat sengaja mengambil rute memutar agar Nata bisa mengenali sekolah barunya dengan lebih baik. Walaupun terlihat galak ternyata guru plontos tersebut perhatian juga pada murid baru,
“... ini adalah bengkel kerja jurusan otomotif. Biasanya ruangan ini digunakan untuk praktik, tapi sekarang dipakai anak-anak untuk persiapan mengikuti Lomba Otomotif antar sekolah. Kamu nanti juga bisa ikut bergabung.”
Nata dan Pak Hidayat baru akan melewati ruangan tersebut saat terdengar teriakan disusul suara gedebuk keras benda-benda yang jatuh. Mereka berdua bergegas masuk ke ruangan dan menemukan lemari kayu di bagian sudut ruangan mulai kehilangan keseimbangan dan hampir menimpa seorang siswa. Nata melesat ke arah lemari tersebut, tepat waktu untuk menahan bobot lemari sehingga siswa tersebut bisa meloloskan diri. Kemudian dia melepaskan lemari dan menimbulkan suara ribut kayu-kayu yang beradu dengan lantai semen.
“Kamu ga papa?” Nata menghampiri siswa yang baru ditolongnya. Untuk sesaat tertegun saat siswa itu mendongak dan beradu pandangan dengannya. Meskipun dengan terusan praktik berwarna biru malam, badan penuh oli, dan wajah yang masih shock, gadis itu tetap membuat Nata tak bisa mengalihkan pandangannya. Ya, yang Nata tolong adalah seorang gadis. Seorang gadis yang wajahnya belepotan oli dengan rambut diikat asal-asalan dan baru saja lolos dari kecelakaan yang mungkin akan membuat gadis itu berakhir di ruang IGD.
“Kamu terluka? Ada bagian tubuh yang sakit?”
Pertanyaan itu bukan dari Nata, melainkan Pak Hidayat yang berjongkok di sisi lain gadis itu. Si gadis mengalihkan tatapan, menyadarkan Nata bahwa dia sudah menatap gadis itu lebih lama dari semestinya. Nata segera menegakkan tubuh, di saat bersamaan terdengar suara gadis itu menjawab pertanyaan Pak Hidayat.
“Saya baik-baik saja, hanya sedikit kaget.”
Dari sudut matanya Nata melihat Pak Hidayat membantu gadis itu bangun dan melangkah menuju kursi terdekat. Wakasek Kesiswaan itu kemudian memberikan segelas air mineral dan menanyakan beberapa hal pada si gadis mengenai kecelakaan yang terjadi sementara Nata mengikuti tapi tetap menjaga jarak. Mengamati si gadis dari jarak beberapa meter.
Gadis itu terlihat mungil dalam baju bengkel biru gelap. Perkiraan Nata tinggi gadis itu sekitar 150 cm, mungkin lebih sedikit. Dengan wajah berbentuk hati dan mata bulat seperti kacang kenari, gadis itu terlihat sangat manis. Hanya saja, Nata bingung bagaimana gadis semanis itu bisa berakhir di SMK Penjara ini. Biasanya para gadis lebih menyukai jurusan perkantoran, pariwisata, akuntansi atau boga. Jarang sekali ada yang mau memakai baju bengkel dan bermain dengan oli.
“Terima kasih sudah menolongku.”
Ucapan itu menarik Nata dari lamunan. Matanya kembali mengarah ke sepasang mata bulat cerah itu dan tak mampu mengeluarkan balasan apa pun. Akhirnya hanya sebuah anggukan yang bisa dia berikan.
“Kamu siswa baru itu, ya?” tanya gadis itu. Sementara Pak Hidayat mengecek akibat kecelakaan di sudut ruangan.
Lagi, Nata hanya bisa mengangguk. Entah kenapa gadis itu membuatnya tak bisa mengeluarkan satu kata pun.
“Namaku Freya Faranisa, kamu bisa memanggilku Freya. Namamu siapa?”
“N-nata Mahija.” Akhirnya Nata bisa menjawab setelah memaksa mulutnya mengeluarkan suara dengan susah payah.
“Nata Mahija,” Freya membeo, “artinya pelindung, bukan?”
Sedikit tercengang karena Freya mengetahui arti namanya dengan mudah, Nata menganggauk mengiakan.
“Nama yang keren,” puji gadis itu.
Selama ini Nata tak terlalu memikirkan mengenai arti namanya. Dia menganggap itu hanya sebuah nama biasa. Namun, saat Freya mengatakan namanya keren, Nata sedikit bangga karenanya. “Makasih,” ucapnya pelan.
Suara benda jatuh membuat kedua siswa tersebut memandang ke sudut ruangan. Pak Hidayat melangkah ke arah mereka. “Semua itu harus segera dirapikan.”
“Siap, Pak. Akan saya rapikan setelah punya tenaga,” jawab Freya.
“Minta bantuan penjaga sekolah,” ujar Pak Hidayat. “Segera kembali ke kelasmu setelah selesai, jam praktik sudah lewat.”
“Baik, Pak. Maaf saya keasyikan mengerjakan itu,” Freya menunjuk sebuah mesin yang dilihat dari rangka yang tersisa adalah mesin motor, “saya akan segera kembali ke kelas. Terima kasih, Pak.”
Pak Hidayat mengangguk, kemudian beralih pada Nata. “Mari, Bapak akan mengantarmu ke kelas.”
Nata mengikuti langkah Pak Hidayat. Dia baru mencapai pintu saat suara Freya kembali terdengar. Langkahnya terhenti dan matanya kembali mengarah pada gadis itu.
“Salam kenal, Nata. Mulai sekarang kita akan jadi teman sekelas.”
Senyuman manis Freya membuat Nata lagi-lagi tak bisa mengalihkan pandangan dan sekarang jantungnya berdegup lebih kencang.
***
Setelah perkenalan singkat, Nata memperoleh tempat duduk di baris keempat di dekat jendela. Dari jendela kelasnya yang berada di lantai dua, Nata bisa melihat taman kecil berhias kolam dan tanaman yang dipangkas rapi. Sebelum memasuki bangunan sekolah Nata tak mengharapkan melihat pemandangan tersebut. Image yang menempel pada SMK Penjara tak menjanjikan bisa melihat pemandangan seteduh itu.
Namun, seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Sepertinya sekolah barunya tak seperti yang Nata pikirkan sebelumnya. Dia mendapatkan sambutan ramah dari Kepala Sekolah dan Wakilnya. Mendapatkan pemandangan sekolah yang bersih dan rapi juga terlihat sejuk dengan tumbuhan hijau. Selain itu, juga bertemu dengan gadis manis yang disangkanya tak akan pernah ada di sekolah kejuruan ini.
Omong-omong soal gadis manis bernama Freya, Nata tak mengerti apa yang terjadi padanya setelah bertemu gadis itu. Dia bukannya tak pernah bertemu gadis manis. Nata pernah punya pacar, Nadine namanya, anggota klub dance di sekolahnya yang dulu. Nadine termasuk gadis cantik di sekolahnya dan Nata berpacaran dengan Nadine setidaknya 3 bulan sebelum harus masuk karantina dan mengkuti turnamen sepak bola U16.
Namun, apa yang dirasakannya saat dengan Nadine tak seperti ketika bertemu Freya. Nadine lebih seperti teman sedang Freya tak bisa didefinisikan. Ini pertama kalinya Nata bertemu seorang gadis dan tak bisa mengalihkan pandangannya, bahkan ia sempat tak bisa berkata-kata untuk sesaat. Ada yang aneh dalam diri Nata sejak pertemuan dengan Freya. Hanya saja dia tak tahu apa.
“Bukan saatnya memikirkan hal itu.”
“Memikirkan apa?”
Sosok yang Nata pikirkan muncul begitu saja. Wajah Freya tepat di depan mata Nata, hanya berjarak beberapa sentimeter. Nata kembali membeku, matanya tak teralihkan dari wajah berbentuk hati itu dan lidahnya seakan kelu.
“Memikirin apa?” Freya mengulang pertanyaan, tapi Nata tak sanggup memberi jawaban. Pemuda itu masih terfokus pada seraut wajah imut di hadapannya.
“Bumi memanggil Nata. Tes satu ... dua ... tiga ....” Freya kembali bersuara diikuti jentikan jemari di depan wajah Nata.
Tersadar sudah bengong selama bermenit-menit, Nata segera mengalihkan pandangan ke luar jendela. “A-apa yang kamu lakukan di sini?”
“Aku yang tanya duluan, bukan saatnya memikirkan apa?”
Nata segera berdiri, menjauhkan diri karena Freya sepertinya tak berniat melakukan hal tersebut. “Bukan urusanmu,” sahutnya ketus.
“Aku kan cuma nanya,” sahut Freya.
“Itu urusan pribadi, kamu ga berhak bertanya,” ujar Nata. Dengan sengaja dia menjauhkan pandangan dari Freya. Sebab ketika memandang gadis itu sepertinya Nata tak bisa menguasai diri padahal mereka baru bertemu dua kali. Benar-benar ada yang aneh dengan gadis bernama Freya itu.
“Okelah, aku ga nanya lagi,” ujar Freya, “tapi kamu harus duduk, sebentar lagi Pak Hadi masuk.” Gadis itu berbalik dan menempati kursi di depan tempat duduk Nata.
“Kenapa kamu duduk di situ?!” tanya Nata yang mengundang pandangan dari seisi kelas.
“Karena ini tempat dudukku,” jawab Freya polos.
“Kamu duduk di situ?” Nata bertanya lagi seperti orang bego.
Freya mengangguk.
“Kita sekelas?”
“Kan tadi aku bilang kita teman sekelas. Kamu ga usah sekaget itu.”
“Ta-tapi─”
Protes Nata diinterupsi oleh kemunculan Pak Hadi, pengajar matematika di kelas 11 Otomotif 1.
Selama jam perlajaran tersebut, Nata mendapati Freya seringkali menoleh ke belakang dan memandanginya. Kadang gadis itu terlihat menatap penuh pertimbangan, di lain kesempatan melontarkan senyum manis pada Nata. Tentu saja, hal itu membuat Nata tak mampu berkonsentrasi. Dia tak ingat pelajaran apa yang disampaikan Pak Hadi hari itu, tapi mengingat persis bagaimana senyuman manis milik gadis yang duduk di depannya.
***
Cerita ini dibuat untuk mengikuti #tantanganwritora menulis novel dalam satu bulan, dari 28 September 2020 hingga 28 Oktober 2020.

Meniti MimpiWhere stories live. Discover now