Kebohongan dan Kehancuran

5 1 0
                                    

Enam bulan sebelumnya:
Sembari menenteng sepatu bola yang kotor oleh lumpur, Nata memasuki pekarangan rumahnya. Dia barus saja menyelesaikan sesi latihan 3 jam dengan pelatih khusus yang dipilih oleh ayahnya sendiri. Menurut sang ayah, Nata harus berlatih lebih keras dari pemain lainnya karena seleksi Timnas U17 akan diadakan sebentar lagi. Nata senang-senang saja mengikuti latihan keras, pasalnya dia memang berniat bermain di Timnas lagi. Walau badannya terkadang terasa remuk, Nata menyukai tantangannya.
Sesi latihan di klub seminggu dua kali ditambah latihan harian minimal dua jam, kadang membuat Nata luar biasa lelah. Bahkan untuk pergi ke sekolah pun rasanya sulit. Untung saja, pihak sekolah memberikan kelonggaran sehingga Nata mendapat dispensasi untuk tidak mengikuti beberapa mata pelajaran.
Senja sudah turun, tapi rumah Nata terlihat sepi. Seperti biasa orangtuanya belum pulang bekerja. Ayahnya, Samsyul Anwar, adalah seorang kontraktor yang mengerjakan berbagai proyek, mulai dari bangunan, jembatan, hingga jalan, dan sekarang tengah sibuk dengan 3 pembangunan jembatan dengan nilai proyek milyaran. Sedangkan ibunya, Hamidah, bekerja di sebuah bank swasta sebagai Manager Marketing, kerja lembur sudah bukan hal aneh lagi, bahkan terkadang di akhir pekan pun ibunya bekerja.
Bisa dikatakan frekuensi pertemuan Nata dan orangtuanya sangat kecil. Bisa bersama seharian dengan orangtuanya merupakan sebuah keajaiban baginya. Bahkan di hari ulang tahunnya, kedua orangtuanya hanya menyempatkan waktu sekitar 2 jam untuk makan malam bersama. Orangtuanya memberikan nafkah yang cukup, tapi dalam hal lainnya Nata selalu mengharapkan lebih. Sayangnya, harapannya sia-sia.
Nata tidak masuk melalui pintu depan, melainkan memilih masuk lewat samping. Dia meletakkan sepatunya di teras samping, berniat mencucinya setelah mendapatkan segelas air atau jika beruntung Acil* Idah sudah selesai memasak makan malam untuknya. Aroma wangi masakan asisten rumah tangga yang sudah bekerja di rumahnya lebih dari sepuluh tahun itu tercium dan membuat perut Nata keroncongan. Dia bergegas masuk untuk melihat apa menu kali.
Nata masuk tepat saat Acil Idah menempatkan semangkuk ayam masak habang** di meja. Dia langsung mendekat dan menghidu aromanya dalam-dalam. “Pantesan baunya enak, rupakan ada ayam masak habang.”
“Ada Haruan juga,” Acil Idah memberitahu.
Nata tersenyum lebar. Dia memang sangat suka makan ikan Haruan atau Gabus, baik digoreng, bakar, atau dimasak asam, tapi favoritnya tetap masak habang haruan.
“Ada nasi kuningnya?” tanya Nata penuh harap.
Acil Idah tersenyum. Wanita paruh baya itu hafal benar dengan kesukaan anak majikannya. Nasi kuning dengan lauk masak habang ditambah acar kol dan wartel juga kerupuk udang. “Sebentar lagi matang.”
Nata langsung semringah.
“Tapi Nak Nata ke depan dulu, ada tamu yang dari tadi nungguin.”
Kernyitan muncul di kening Nata. “Tamu Papa atau Mama?”
“Tamunya Nak Nata, perempuan, cantik.”
Nata semakin bingung, dia tak merasa memiliki janji dengan siapapun apalagi perempuan. Lagi pula, dia tak dekat dengan banyak gadis di sekolahnya. Kecuali Nadine yang saat ini adalah pacarnya, walau Nata sendiri tak mengerti arti pacar itu sendiri. Dia hanya tak tega mempermalukan Nadine yang menyatakan cinta di lapangan sekolah sebulan lalu. Jadi, mereka resmi pacaran tanpa Nata benar-benar memedulikannya. Ada juga Marina yang belakangan mendekatinya, tapi gadis itu tak mungkin datang ke rumah.
Apa mungkin Nadine yang datang? batinnya.
“Temui dulu, kasihan udah nunggu dari tadi,” ujar Acil Idah.
“Bilangin tunggu sebentar lagi, aku mau mandi dulu.” Nata bergegas ke lantai atas dan menuju pintu pertama yang ditemuinya. Dia langsung menuju kamar mandi setelah melepas ransel dan meletakkannya di meja belajar.
Sepuluh menit kemudian Nata keluar dari kamar mandi dan menemukan seorang gadis duduk di tempat tidurnya. Nata yang hanya memakai sarung untuk menutupi bagian bawah tubuhnya dan handuk tersampir di bahu gelabakan. “A-apa yang kamu lakukan di sini?!”
“Hai, Nata,” gadis itu menyahut dengan santai. “Aku ke sini mau ketemu kamu,” ujarnya santai. “Pembantumu nyuruh aku nunggu terus, makanya aku naik aja. Biar kamu ga lari terus dariku.” Gadis itu tersenyum cerah.
“Sebaiknya kamu pulang, Marina. Ga pantas cewek ada di kamar cowok. Lagian, aku ga mempersilakan kamu masuk.” Nata berusaha bersikap dingin dan cuek. Namun, Marina sepertinya tak mau mendengar. 
“Aku ga akan pergi ke mana-mana, aku mau sama kamu.”
Nata melangkah ke lemari dan menyentak laci hingga terbuka, lalu mengambil kaus di bagian teratas. “Ga seharusnya kamu di sini. Kalau Gama tahu kamu ke sini dia bakal marah besar. Aku ga mau berurusan sama dia.”
“Gama bukan pacarku, dia hanya teman.” Marina bersikeras. “Aku maunya sama kamu.”
“Aku ga mau, lagian aku punya Nadine.” Nata memakai kaus, lalu menghampiri pintu dan membukanya lebar-lebar. “Sebaiknya kamu keluar.”
“Ga mau. Aku mau di sini,” sahut Marina.
“Kalau begitu aku yang keluar.” Sebelum sempat Nata menjauh, Marina melompat berdiri dan berlari ke arahnya, kemudian menarik Nata. Tak menduga gerakan tiba-tiba itu, Nata kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat di atas tubuh Marina. Nata hendak bangun, tapi jemari Marina menggenggam erat kausnya dan menarik Nata hingga tak bisa bergerak.
Tepat saat itulah Papa Nata datang dan memergoki mereka. Syamsul berang melihat kejadian itu dan langsung menarik Nata hingga berdiri sementara itu Marina beringsut di lantai dan memeluk kedua lututnya.
“Anak kurang ajar, Papa tak pernah mendidikmu seperti ini.” Tinju sang ayah mendarat di rahang Nata, membuatnya jatuh tersungkur di lantai kamar.
Mamanya yang kebetulan juga sudah pulang berdiri di ambang pintu. “Apa yang terjadi?”
“Lihat kelakukan anakmu, sudah jadi orang tak bermoral dia!” seru Samsyul sambil menunjuk Nata.
“Pa, Ma, dengarkan Nata dulu,” pinta Nata sembari menahan sakit.
“Papa tak mau dengan alasanmu. Cepat berpakaian dan turun ke bawah, kita selesaikan ini.” Samsyul berderap ke luar kamar. “Kamu juga,” tambahnya pada Marina.

Orangtua Nata tak memercayai penjelasannya, apalagi dengan drama teatrikal yang ditampilkan Marina. Gadis itu menangis sesengukan, bahkan mengaku bahwa ini bukan kali pertama Nata melakukan ini padanya. Marina mengaku ketakutan sehingga tak bisa melawan dan berbagai kebohongan lainnya. Acil Idah mencoba membela Nata, tapi berakhir dipecat oleh Samsyul.
Nata disudutkan, kata-kata tak didengar dan dipersalahkan untuk segala hal. Ayahnya langsung menghentikan latihan bola Nata, karena merasa Nata tak lagi pantas memperoleh keistimewaan bermain sepak bola. Bahkan orangtua Marina datang kemudian hari, Nata dipaksa menandatangi perjanjian yang menyebutkan dirinya harus bertanggung jawab pada Marina. Tanggung jawab bagaimana, Nata tak mengerti karena dia memang tak berbuat apa pun.
Semua kebohongan Marina dipercaya dan kejujurannya diempaskan bagaikan kain rombeng. Menyerah melawan, Nata diam, mengunci diri dari dunia luar. Berhenti berbicara dengan orangtua yang juga tak lagi memedulikannya. Nata hanya diperbolehkan keluar untuk sekolah, selain itu dia tinggal di rumah dan terpaksa mengurus diri sendiri. Orangtuanya semakin jarang pulang. Nata sedirian. Dia hanya beruntung tak menjadi gila karenanya.
Marina kembali berulah karena Nata bersikap dingin. Marina mendatangi orangtua Nata dan mengaku hamil, usia kandungan 8 minggu yang membuat Nata menjadi tersangka utama. Kali ini Nata membela diri mati-matian, dia tak merasa bersalah atas yang terjadi pada Marina. Jangankan membuat Marina hamil, menyentuhnya secara sengaja saja tak pernah Nata lakukan.
Namun, sekali lagi tak ada yang percaya padanya. Nata memilih pergi dari rumah. Dia tak punya tujuan, hanya ingin menjauh dari kekacauan yang disebabkan seorang gadis pembohong. Sayangnya di perjalanan ke luar kota, mini bus yang Nata tumpangi dihadang. Karena supir takut terkena masalah, Nata ditinggalkan. Dan di sanalah Nata harus menghadapi Gama serta teman-temannya, sendirian. Nata diseret ke hutan dan dipukuli habis-habisan.
“Jangan pernah mengganggu Marina lagi.” Ancaman Gama menjadi suara terakhir yang Nata dengar hari itu.
Dua hari kemudian beberapa pemburu menemukannya dan membawa Nata ke rumah sakit. Untungnya tak ada tulang yang patah, tapi tulang kaki kanan Nata mengalami keretakan begitupula dua tulang rusuknya.
Nata dirawat selama sebulan di rumah sakit, orangtuanya hanya datang sekali, neneknya lebih banyak menunggui Nata. Nadine datang hanya untuk memutuskan hubungan yang bagi Nata sendiri sebenarnya tak ada. Marina pun muncul kemudian untuk meminta maaf. Namun, Nata tak lagi peduli. Kebohongan gadis itu membawa kehancuran baginya.
Kehilangan impian, orangtua, dikeluarkan dari sekolah, bahkan sangat sulit baginya menemukan sekolah baru hingga seorang sepupu yang merupakan alumni SMK Lambung Mangkurat membantu Nata.

Meniti MimpiWhere stories live. Discover now