Bukan Suka, Hanya Teman

6 1 0
                                    

“Maukah kamu menjadi temanku?”
Pertanyaan yang diberikan Nata sempat membuat Freya tertegun sesaat. Bagi Freya Nata memang teka-teki. Setelah seminggu berusaha berteman dan selalu diabaikan, sekarang Nata sendiri yang mengulurkan pertemanan. Fix, Nata adalah pemuda aneh. Namun, Freya tak bisa mengabaikannya. Nata menarik perhatiannya sejak kali pertama mereka bertemu.
Bukan penyelamatan heroik pemuda itu, meski hal itu memang memiliki sedikit pengaruh, tapi apa yang ada dalam diri Nata yang menarik Freya.
Biasanya, Freya tak segigih itu dalam berteman. Namun, ketika menyangkut pemuda setinggi 180 cm dengan rambut hitam legam dan tatapan mata yang terkadang kelam, Freya tak bisa berhenti berusaha.
Dia pernah berpikir bahwa dirinya jatuh cinta pandangan pertama pada Nata, tapi segera menampik pikiran tersebut. Cinta tak mungkin datang secepat itu, pikirnya. Jadi, Freya berkesimpulan apa yang dirasakannya hanyalah rasa penasaran pada murid baru itu saja. Pasalnya, tak pernah ada murid pindahan ke SMK Penjara selama satu dekade, yang ada siswa keluar dan pindah ke sekolah lain.
Sentimen negatif yang dimiliki sekolah Freya memang membuat banyak siswa dan orangtua siswa enggan memilih sekolah tersebut. Kecuali jika amat terpaksa. Berbeda dengan Freya yang memang sejak awal ingin masuk ke SMK ini. Bukan hanya karena dekat rumah, tapi sudah seperti tradisi keluarga. Orangtua dan ketiga kakak laki-lakinya lulusan SMK Lambung Mangkurat. Jadi, Freya ingin mengikuti tradisi tersebut. Lagi pula, sekolahnya sekarang menyediakan jurusan yang Freya sukai yaitu otomotif.
Freya memang berbeda dari kebanyakan gadis yang lebih memilih hal feminin. Walaupun terlahir dengan fisik mungil dan wajah manis, dia lebih suka mengutak-atik mesin kendaraan dibanding mengurusi pernak-pernik perempuan. Untungnya, orangtua Freya tak pernah protes malah sangat mendukung. Buktinya, Freya punya ruang khusus di rumah sebagai tempat mengutak-atik mesin kendaraan. Bahkan sang ayah merelakan satu motor untuk dipreteli.
Gigih merupakan salah satu sifat unggul Freya, mungkin itu sebabnya dia tak mudah menyerah dalam hal mendekati Nata. Namun, kini Freya sedikit bingung karena Nata yang mendekatinya lebih dulu. Jika minggu pertama pemuda itu dihabiskan dengan menjauhi Freya, maka di minggu kedua justru sebaliknya. Bisa dikatakan bahwa Nata terlalu gencar mendekati Freya.
Pemuda itu mengikuti ke mana pun Freya pergi dan melakukan semua kegiatan sekolah bersama Freya. Bahkan sekarang, ketika semua teman sekelas Freya sudah pulang, Nata tetap menemani Freya di bengkel.
“Kamu ga pulang?” tanya Freya. Dia menghentikan sejenak perbaikan motor milik salah satu guru yang mengalami kerusakan di bagian piston dan mengawasi Nata yang tengah membuka bodi motor.
“Kamu belum pulang,” jawab Nata tanpa melihat ke arahnya.
“Tapi yang lain sudah pulang,” sahut Freya.
“Aku tahu dan cukup heran kenapa kamu selalu pulang terakhir,” ujar Nata.
“Sudah kebiasaanku tinggal lebih lama di sekolah,” jelas Freya.
“Aku akan pulang saat kamu pulang,” kata Nata sembari melepaskan bodi sisi motor dan meletakkannya ke atas meja.
Freya menelengkan kepala, jawaban Nata semakin membuatnya bingung akan sikap pemuda itu. “Aku ingin bertanya.” Ucapannya dibalas anggukan oleh Nata. “Kenapa kamu tiba-tiba ingin berteman denganku?”
Nata menatap Freya sejenak kemudian segera mengalihkan pandangan. “K-kamu yang mengajakku berteman lebih dulu.”
Freya meringis. “Iya, sih,” sahutnya, “tapi kan kamu terus menolak. Kamu terus menjauhiku, tapi sekarang malah menemaniku. Itu aneh.”
“A-aku aneh?” Nata meletakkan obeng dan memandang Freya, tapi tak cukup lama sebelum kembali mengarahkan pandangan ke tempat lain. “Kamu lebih aneh. Ingat, kamu yang mendekatiku lebih dulu.”
Memikirkan jawaban Nata dan reaksi pemuda tersebut yang tiba-tiba salah tingkah, membuat Freya sampai pada kesimpulan. “Jangan bilang kalau ....”
“Kalau apa?” Terdengar suara Nata setelah semenit penuh Freya menggantung ucapannya.
“Kamu pikir aku naksir kamu.” Freya melompat berdiri. “Ya, kamu pasti berpikir begitu karena tiba-tiba sikapmu berubah. Kamu jadi bersikap baik dan mendekatiku karena itu.” Dia berbicara sembari mondar-mandir. “Kamu pikir aku menyukaimu, dan karena aku cukup manis, kamu pikir ga ada salahnya mendekatiku. Cowok kan selalu begitu, mengambil kesempatan yang ditawarkan.”
“Tu-tunggu dulu!”
Mengindahkan Nata, Freya terus berbicara. “Astaga, aku ga pernah berpikir kalau kamu bakal salah paham. Ini ga seperti yang ada di pikiranmu.” Dia berpaling ke arah Nata, memutari motor untuk mendekati pemuda itu, lalu berhenti ketika jarak setengah meter tersisa.
“Aku benar-benar minta maaf sudah membuatmu salah paham, tapi sungguh aku ga ada maksud membuatmu seperti itu. Aku mendekatimu murni ingin berteman bukan karena hal lain.” Freya memulai dengan kalimat panjang. Karena reaksi Nata hanya berupa mata membelalak karena terkejut, Freya melanjutkan, “aku merasa sebagai ketua kelas harus membantumu membiasakan diri dengan sekolah dan teman baru, makanya aku mendekatimu. Sama sekali tak ada niatan lain dan ga ada perasaan seperti yang kamu kira.”
Satu ...
Dua ....
Tiga ....
Semburan tawa Nata membuat Freya terdiam. Dia hanya bisa bengong memandangi Nata tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perut. Freya merasa tak ada yang lucu dalam kata-katanya, tapi ....
***
Nata tak bisa menghentikan tawanya. Situasi yang dihadapinya saat ini benar-benar aneh dan di luar dugaan, saking anehnya Nata tak bisa berhenti tertawa. Dua minggu pertama di sekolah baru memang membingungkan, pertama sekolahnya tak seperti yang Nata bayangkan, kedua bertemu dengan gadis yang membuat pikiran dan perasaannya kacau balau, lalu saat dia mencoba untuk mengerti apa yang tengah terjadi, si gadis mengatakan bahwa dia sudah salah paham. Nata tak tahu lagi bagaimana menghadapi situasi ini selain dengan tawa.
Seminggu terakhir Nata memang sengaja mendekati Freya, ingin melihat bagaimana reaksinya pada gadis itu. Mulanya memang sedikit kaku, tapi lama kelamaan dia mulai terbiasa, walau masih tak bisa menatap Freya lama-lama. Namun, keadaannya sudah cukup normal. Setidaknya, Nata sudah mampu berbicara. Hari ini Nata sudah hampir mencapai kesimpulan bahwa yang dirasakannya hanya sebatas kekaguman saja.
Namun, siapa sangka sikapnya malah diartikan berbeda oleh Freya. Walaupun sempat berpikir menyukai Freya, Nata tahu dirinya tak begitu. Dia hanya tercengang menemukan Freya di sekolahnya yang tak biasa, bahkan di angkatannya Freya satu-satunya perempuan. Jadi, tak ada rasa suka seperti itu. Hanya kagum semata, apalagi Freya bisa dikatakan sangat rajin dan berdedikasi saat melakukan kegiatan yang berhubungan dengan bengkel kerja.
Ya, semua sudah jelas sekarang. Apa yang dia rasakan, degup jantung yang tak karuan, dan segala perasaan aneh itu, hanyalah bentuk dari kekagumannya saja.
“Kenapa kamu tertawa?” Suara Freya kembali terdengar, tapi Nata belum bisa menghentikan tawanya. “Bisa berhenti tidak? Aku bukan badut yang bisa kamu tertawakan!” Kali ini terdengar nada marah dalam suara Freya sehingga Nata berusaha lebih keras menghentikan tawanya.
“Berhenti atau─”
Nata menghentikan ancaman Freya dengan mengangkat sebelah tangan, lalu pelan-pelan menegakkan tubuhnya. Tawanya mulai berkurang. Nata menarik napas dalam untuk menghentikan tawa itu secara total. “Maaf,” ucapnya masih diwarnai nada geli.
“Katakan apa yang kamu tertawakan.”
Memikirkan apa yang membuatnya tertawa hampir membuat Nata kembali menyemburkan tawa. Namun, dia berusaha sebaik mungkin menahan diri. Kalau Freya marah bisa-bisa Nata dilempari obeng, tang, baut, dan berbagai benda yang bisa menyebabkan luka berat lainnya. Bukankah perempuan suka begitu, melempar barang saat marah?
“Maaf,” ucap Nata lagi.
“Jangan cuma bisa bilang maaf,” sengit Freya.
“Oke, oke, bukan maaf lagi.”
“Katakan!”
“Kamu mikirnya kejauhan,” kata Nata. Dilihatnya sebelah alis Freya naik sedikit. “Aku mendekatimu bukan untuk mengambil kesempatan. Jujur saja, aku ga pernah berpikir kalau kamu suka padaku.”
Nata mendengar Freya menghela napas lega. Sepertinya, gadis itu benar-benar berpikir Nata suka padanya. “Lalu?” Freya kembali mendesak.
“Aku mendekatimu untuk berteman, seperti yang kamu tawarkan sebelumnya.”
“Hanya itu?”
Nata mengangguk sebagai jawaban pertanyaan dan tatapan menyelidik Freya. “Aku anak baru dan tak punya teman di sini. Kamu satu-satunya yang menawarkan pertemanan.”
“Benar begitu?” Freya masih terlihat tak percaya.
“Sumpah.” Nata mengangkat telunjuk dan jari tengah ke udara.
Freya meraih jari Nata dan menurunkannya. “Ga usah pakai sumpah segala.”
“Kamu percaya?” Kini Nata yang berbalik ingin memastikan dan Freya mengangguk sebagai jawaban. “Kita masih berteman?” Lagi, Freya mengangguk. “Syukurlah.”
“Tapi aku penasaran, kenapa kamu tertawa?”
Nata meringis. “Bisa tidak aku ga usah jawab.”
“Tapi aku penasaran,” sahut Freya.
“Anggap saja tadi aku ga ketawa,”
“Mana bisa, kamu ketawanya ngakak begitu.” Mata Freya menyipit marah. “Kamu anggap aku lucu, ya?”
“Ga, ga gitu kok. Beneran. Berani sumpah disambar gledek bareng-bareng kita.”
“Siapa yang mau disambar gledek bareng-bareng kamu. Ogah!”
“Ya udah, ga usah nanya.”
“Orang penasaran juga.”
“Ya udah, kita pulang aja,” ujar Nata menghentikan perdebatan tak penting itu. Dia melangkah ke pintu bengkel dan Freya mengikuti sambil terus mendesaknya dengan pertanyaan, kenapa kamu tertawa?

Meniti MimpiWhere stories live. Discover now