Masa Lalu yang Menghantui

7 1 0
                                    

Terkadang ada bagian dari masa lalu yang ingin dilupakan. Seperti perbuatan bodoh yang memalukan, kesedihan, atau cerita lama yang mengubah masa depan. Freya mengerti itu. Jadi, walaupun penasaran dia tak bertanya. Freya membiarkan Nata larut dalam lamunan, tanpa ingin mengganggu. Walaupun sudah menghabiskan seporsi tahu campur, sebiji jagung bakar, dan dua gelas es kelapa muda, Freya masih berusaha diam. Di benaknya masih jelas ingatan mengenai kejadian sekitar setengah jam lalu.

“Kita bahkan belum saling menyapa. Apa kamu sudah lupa padaku, kawan lama?”
Wajah Nata pias seketika. Pemuda itu tak menjawab, hanya turun dari motor dan menarik Freya ke belakang tubuhnya, sementara lima orang pemuda mengelilingi mereka dengan raut tak bersahabat.
“Nata.” Freya berbisik dan Nata membalas dengan mengeratkan pegangan di lengan Freya.
“Kalau mereka menyerangku, cepat lari, cari bantuan, oke?”
Freya menggeleng. Meski tak mengerti apa yang terjadi dan mengapa ada orang-orang yang ingin menyerang Nata, Freya sama sekali tak ingin meninggalkan temannya. Jika pemuda-pemuda itu memukuli Nata, maka Freya akan membalas mereka. Dia sama sekali tidak takut.
“Freya?”
“Ga. Aku ga mau pergi.”
“Pacar barumu manis juga, boleh kenalan dong?”
Nata menarik rapat Freya ke belakang tubuh. “Jangan ganggu dia. Dia tak ada hubungannya dengan urusan kita. Lagi pula, kurasa kita sudah impas.”
“Impas? Jangan bercanda!” Gama berseru. “Aku masih belum selesai denganmu.”
Nata mendengus. “Tapi aku sudah dan tak mau lagi berurusan denganmu.”
“Kamu selamanya berhutang padaku.”
“Apa ga kebalik? Kamu yang berhutang banyak padaku,” sahut Nata berang. “Kamu merebut banyak hal dariku.”
“Dan sudah sepantasnya begitu, karena kamu merebut hal yang paling berharga untukku,” ujar Gama dingin.
“Aku tak merebut apa pun, Marina yang─”
“Jangan banyak omong!” Januar maju mendahului Gama, melayangkan tinju yang diarahkan ke wajah Nata. Dengan sigap Nata mengelak dan tinju Januar memukul udara. Satu tinju lagi diarahkan Januar dan Nata kembali menghindar sembari tetap menjaga Freya di belakangnya.
“Ini benar-benar tak ada gunanya. Kita tak seharusnya berkelahi hanya karena seorang gadis pembohong,” seru Nata yang langsung membuat Gama meradang.
“Marisa bukan pembohong!” raung Gama. Pemuda itu bergerak menyerang Nata, tapi tinjunya berhenti di udara kala mendengar teriakan dari kejauhan.
Beberapa pria berlari ke arah mereka, satu di antaranya bertubuh tegap dengan pakaian satpam. Sebelum orang-orang itu sampai, Freya melepaskan diri dari Nata, naik ke motor dan menyalakan mesin. “Nata, naik!” serunya dan langsung diikuti Nata. Freya langsung tancap gas, melajukan motor menjauh dari Gama cs juga orang-orang dewasa yang datang untuk melerai.
Freya terus melajukan motor menjauh lalu. “Kita mau ke mana?” tanya Nata dengan suara nyaring agar terdengar di telinga Freya.
“Ga tau.”
“Pulang?”
“Nanti.”
“Freya?”
Akhirnya Freya memperlambat laju motor lalu memarkirkan motor di dekat penjual tahu campur yang mangkal di Siring Kantor Walikota Banjarmasin.
“Freya?” Nata kembali menyebut namanya dengan nada bertanya.
“Aku haus, lapar juga,” sahut Freya seraya turun dari motor dan beranjak ke penjual tahu campur. Dia memesan dua porsi tahu campur dan dua gelas es kelapa muda. Kemudian penjualnya menyuruh mereka menunggu di kursi plastik yang di susun di atas siring atau memilih duduk lesehan di atas tikar plastik yang digelar di bibir siring. Freya memilih duduk di tikar sementara Nata mengikuti dengan enggan.

Walau sudah setengah jam berlalu, Nata tak kunjung buka suara, bahkan makanan yang Freya pesankan masih belum disentuh. Freya masih menunggu, sementara semburat jingga semakin pekat di ufuk barat. Pandangan Nata terus mengarah ke sungai tanpa benar-benar menatapnya.
Bosan menunggu, Freya melompat turun. Melangkah turun naik di tangga siring, sesekali dia berhenti untuk memandangi sekeliling, kemudian melangkah lagi. Dia hanya melangkah sejauh sekitar lima meter, lalu kembali. Ada perasaan khawatir Nata akan pergi meninggalkannya, walaupun hal itu tak beralasan.
“Kenapa kamu tak bertanya?”
Suara Nata terdengar setelah Freya kembali dari perjalanan hilir-mudiknya yang kelima. “Bertanya apa?” balasnya.
“Pastinya ada banyak pertanyaan di kepalamu saat ini,” ujar Nata.
Freya menggeleng. “Hanya satu.”
Nata terkejut dengan jawaban Freya. “Apa?”
“Kamu baik-baik saja?”
Nata diam. Selama semenit penuh pemuda itu tak menjawab, lalu suaranya terdengar, “Tidak.”
“Apa yang bisa membuatmu merasa lebih baik?” tanya Freya.
Nata mengangkat bahu. “Entahlah.”
Freya kembali duduk di sisi Nata. “Kenapa kamu ga makan dulu? Kata ayahku, perut kosong membuat otak tak bisa berpikir dan tangan tak bisa bekerja.”
“Tapi─”
Freya membungkam penolakan Nata dengan menyodorkan tahu campur ke depan pemuda itu. “Mau kusuapi?”
Wajah Nata seketika memerah. “A-aku bisa makan sendiri,” sahutnya sembari mengambil piring dari tangan Freya dan makan.
“Frey,” panggil Nata lima menit kemudian.
“Apa?”
“Aku ga suka tahu,” jawab Nata.
Freya menunduk ke arah piring di tangan Nata, hanya tersisa potongan tahun di sana sementara tempenya sudah habis. Perlahan pandangan Freya kembali ke wajah Nata. “Mau kupesankan seporsi lagi yang isinya tempe semua?” tawarnya dan disambut anggukan antusias Nata. Sembari menahan tawa Freya berlari ke gerobak penjual tahu campur dan kembali beberapa saat kemudian dengan pesanan Nata.
“Makasih,” ucap Nata sambil mengambil piring dari Freya.
“Sama-sama.” Freya kembali duduk di sisi Nata.
“Freya.”
“Ya?” Pandangan Freya kembali ke Nata.
“Besok aku bakal cerita.”
Freya mengerjap tak percaya, tapi kemudian dia menyahut, “Oke.”
“Setelah tempeku habis, aku antar kamu pulang.”
Freya mengangguk. Itu akhir percakapan mereka di siring. Kemudian Nata membayar semua makanan mereka dan mengantar Freya pulang.
***
Freya baru saja menghabiskan nasi goreng sosis buatan ibunya dan tengah meminum susu hangat saat ponsel di saku rok seragamnya bergetar. Dia meletakkan gelas dan mengeluarkan ponsel. Sebuah pesan dari Nata:
Mau berangkat bareng? Aku sudah di depan rumahmu.
Mata Freya melebar, lalu segera menghabiskan susunya. “Ma, Freya berangkat dulu,” ujarnya.
“Ga mau Abang antar?” tanya Ares, kakak sulung Freya, yang masih menyantap sarapan.
Freya cepat-cepat menggeleng. “Aku berangkat bareng temen, Bang.”
“Siapa?”
Freya tak menjawab pertanyaan kakaknya, dia bergegas menghampiri mamanya yang menyiram kebun samping rumah untuk berpamitan, lalu menghampiri abahnya yang duduk santai di depan televisi dengan segelas kopi.
“Hati-hati di jalan,” pesan sang ayah.
“Siap,” jawab Freya seraya melesat ke pintu depan. Dia sempat berpapasan dengan Rais, kakak keduanya yang baru pulang jogging, di halaman. “Aku berangkat dulu, Ka Rai,” ujarnya tanpa menghentikan lari.
Rei tak menjawab, hanya memerhatikan Freya melesat melalui jalan setapak berbata yang ke arah pagar setinggi satu meter. Dia memerhatikan sebuah motor matic menghampiri adiknya dan setelah Freya naik pengemudi berjaket merah dengan helm full face itu melajukan motor.
Rais memasuki rumah lewat pintu samping setelah mencuci tangan dan kaki. Dia langsung menghampiri meja makan dan mengambil segelas susu. “Freya punya pacar, ya?” tanyanya pada Ares setelah menandaskan isi gelas.
Sebelah alis Ares terangkat. “Pacar? Setahuku tidak.”
“Tadi kulihat dia dijemput cowok pake motor matic. Aku ga liat mukannya, tapi rasanya dia bukan salah satu teman sekelas Freya,” jelas Rais.
“Akan kucari tahu,” gumam Ares.
***
Sementara itu, Freya sudah setengah jalan menuju sekolah. Dia duduk di belakang Nata dengan debar jantung tak beraturan. Bingun dan bertanya-tanya mengapa Nata menjemputnya hari ini.
“Nata,” panggilnya setelah tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. “Kenapa kamu menjemputku?”
“Kemaren kan aku janji mau cerita,” jawab Nata.
“Sepagi ini?” Freya tampak tak percaya.
“Lebih baik disegerakan.”
Freya tak memprotes hanya membiarkan Nata membawanya ke sekolah. Namun, mereka tak langsung ke kelas melainkan pergi ke bengkel kerja. Mereka duduk di kursi membelakangi pintu dan menghadap proyek kelas Oto 1 yang baru setengah selesai. Hari ini rencananya proyek itu akan kembali dikerjakan.
Ruangan itu seberantakan biasanya, tapi Freya sudah terbiasa. Terlalu terbiasa malah dengan keadaan bengkel yang semerawut dan bau bensin, oli, serta gemok berbaur di ruangan. Justru keadaan ini membuat Freya merasa lebih santai. Dia bisa lebih tenang menunggu Nata memilih kata untuk memulai cerita.
“Kemarin itu Gama, Januar, Haris, Alan, dan Ridho, mereka dulu satu sekolah denganku,” Nata memulai. “Kamu tahu SMK Percontohan Gemilang?”
Freya mengangguk. “Sekolah impian sebagian besar siswa dan orangtua siswa,” jawabnya, “aku juga tahu kalau kamu dulu sekolah di sana. Anak-anak yang kemarin dari SMK Gemilang?”
“Ya. Tiga bulan lalu aku berselisih dengan Gama karena seorang gadis namanya, Marisa,” ujar Nata.
Mata Freya membulat tak percaya, menatap Nata dengan tak berkedip. “Rebutan cewek?”
“Tidak,” sahut Nata cepat-cepat. “Gama berpikir aku merebut ceweknya, padahal Marina yang tiba-tiba mendekatiku. Dia fans dadakan yang mendekatiku setelah aku pulang sebagai bagian tim pemenang Piala Asia U16. Fans yang hyperaktif, bahkan membuat Nadine marah padaku.”
Seketika Freya menjadi sebal saat nama gadis lain di sebut. Dia bertanya-tanya berapa gadis yang pernah dekat dengan Nata. Tak tahan untuk tidak bertanya, Freya akhirnya bersuara. “Siapa Nadine?”
“Pacarku saat itu.”
“Oh, pacar,” ujar Freya dengan nada tak senang, “sekarang masih pacaran?”
“Ga.” Nata mendengus. “Dia meninggalkanku setelah Gama dan teman-temannya membuatku masuk rumah sakit.”
Freya mengerjap tak percaya. “Mereka memukulimu?”
Nata meringis. Memalukan mengakui dirinya sudah dipukuli, tapi dia tak bisa mengelak kenyataan. “Satu lawan lima, aku tak bisa berbuat banyak. Aku dirawat di rumah sakit selama sebulan, dikeluarkan dari sekolah, tak bisa mengikuti seleksi timnas, ditinggalkan orangtuaku, dan terdampar di SMK Penjara.” Nata terdengar ringan saat mengatakannya, tapi Freya tahu hal itu sulit dijalani.
“Aku tak menyangka ada yang tega berbuat sejahat itu hanya karena seorang cewek,” bisik Freya.
“Cewek itu pembohong.”
Freya kebingungan, tapi nada suara Nata yang penuh kebencianlah yang membuatnya penasaran. “Aku tak mengerti.”
“Marina menjebakku, mengaku pada orang-orang aku melakukan tindakan asusila kepadanya sampai membuatnya hamil.”
Mata Freya membelalak ngeri. Kalimat terakhir Nata benar-benar membuatnya setengah tak percaya.

Meniti MimpiWhere stories live. Discover now