Bertemu Masa Lalu

6 1 0
                                    


Musik lembut mengalun dari speaker yang di pasang di sudut langit-langit Rainbow, salah satu kafe yang tengah populer di kalangan remaja, karena menyajikan tempat nongkrong yang asyik dengan harga terjangkau. Pemuda itu duduk di bagian sudut dengan segelas kopi hitam yang mendingin. Bukan untuk nongkrong melainkan tengah menunggu seseorang.

Gama memang tak pernah menyukai minuman-minuman dingin kekinian seperti yang umumnya disukai remaja. Kopi hitam pekat tanpa gula adalah favoritnya, sebab baginya kopi hitam tampak seperti kehidupannya. Pahit dengan rasa asam yang kadang muncul. Seharusnya, terlahir sebagai anak seorang pengusaha batu bara dengan kekayaan melimpah yang tak akan habis digunakan tujuh turunan membuatnya bahagia. Sayangnya, kehidupan Gama begitu getir.

Terlahir sebagai satu-satunya anak laki-laki dari Hamdan Masyur, seorang pengusaha terkemuka di Kalimantan, membuat Gama menjadi anak kesayangan sang ayah. Apa saja permintaannya selalu dipenuhi. Sayangnya, dia anak dari istri keempat yang tak disukai ketiga istri tua ayahnya. Di permukaan Gama tampak disayang, tapi di belakang seringkali dia mendapat perlakuan tak menyenangkan.

Penghinaan seringkali Gama dapatkan karena lahir sebelum orangtuanya resmi menikah. Sebutan anak haram dilontarkan dengan begitu kejam oleh para ibu tirinya dan membuat Gama kecil menangis hingga jatuh tertidur. Ayahnya tak banyak membantu, karena pria itu lebih banyak berada di luar rumah, mengurus bisnis yang beroperasi bukan hanya di berbagai penjuru daerah. Ibunya adalah wanita lembek yang hanya bisa menangis ketika dihina dan tak melakukan satu hal pun untuk menyelamatkan anaknya. Bahkan rela tinggal serumah dengan istri lain suaminya dan membiarkan Gama mendapatkan pukulan dari para wanita keji itu.

Akhirnya, Gama sendirilah yang harus menolong diri sendiri, belajar bertahan dan menjadi kuat dengan usahanya. Dulu, dia memang hanya bisa mendengar hinaan dan menahannya. Kini, Gama sudah bisa melawan dan tak satu pun ibu tirinya berani mengucap kata itu lagi.

Gama bisa bertahan berkat gadis itu. Gama kuat karena selalu didukung oleh senyuman itu. Sayangnya, kini senyuman itu menghilang. Pergi jauh dari kehidupan Gama.

Beberapa lembar foto dilemparkan ke meja. "Hadiah dariku." Seorang temannya datang dan duduk di hadapan Gama dengan segelas minuman cokelat di tangan.

Gama hanya melirik sekilas foto-foto di atas meja. "Kamu menyuruhku datang ke sini hanya untuk foto-foto itu, Jan?"

"Kamu tentu mengenali siapa di foto itu," ujar Januar.

"Tak ada hubungannya denganku," sahut Gama sembari kembali menyesap kopinya yang kini terasa asam karena hadiah dari Januar.

"Kamu tentu belum lupa kalau dia yang membuat Marina─"

Gama menggebrak meja dan membuat Januar terdiam.

"Dia keluar dari rumah sakit dua bulan lalu, tapi tak bisa melanjutkan bermain sepak bola. Kariernya habis dan hanya bisa masuk ke SMK Penjara," jelas Januar setelah meminum setengah isi gelas.

"Cewek itu?"

"Cewek barunya, dia sama sekali tak peduli dengan Marina. Dia bersenang-senang, sementara ...." Januar tak berani melanjutkan karena pelototan Gama. "Gam, kita ga bisa membiarkannya begitu saja. Dia harus diberi pelajaran atau beritahu dia mengenai Marina. Siapa tahu bisa memperbaiki keadaan Marina."

Gama tak menjawab, pandangannya fokus pada foto di meja yang memperlihatkan Nata membonceng seorang gadis di depan gerbang SMK Penjara. Rupanya satu pelajaran tak cukup bagi Nata untuk pergi sejauh mungkin. Pemuda itu masih merasa berhak berada di kota yang sama dengan Gama. Nata masih hidup dengan tenang setelah apa yang terjadi pada Marina. Sementara Marina menanggung semua sakit dan rasa malu, Nata tetap melanjutkan hidup.

Meniti MimpiWhere stories live. Discover now