{3} OWT: 1979

864 185 76
                                    





Di pojok kamarnya Jisoo sedang menangis sembari di peluk oleh Jennie. 15 menit yang lalu Jisoo menceritakan semua isi hatinya, termasuk paksaan ibu dan ayahnya untuk menerima lamaran dari keluarga Jeon. Meski Jisoo sudah menolak tetap saja ayah dan ibunya memaksa. Jisoo tidak bisa berbuat apa-apa selain berdiam diri dikamar dan menangis.

Jennie tidak dapat merasakan sakit yang Jisoo rasakan, namun ia paham dengan kondisi Jisoo yang sama sekali tidak menginginkan perjodohan. Jennie tidak bisa berbuat apa-apa. Ia dan ibunya seperti orang asing di keluarga Kim. Mereka tidak bisa berbuat banyak untuk membantu Jisoo.

"Jisoo berhentilah menangis. Jika ibu Hani melihat mu seperti ini, nanti kau dimarahi dan di pukul lagi," Ujar Jennie memohon.

Meski Jisoo yang paling disayang dan dianggap keberadaannya dibanding Jennie, tapi Jisoo sama sekali tidak merasakan kebahagian. Karena hidupnya selalu di atur oleh Ayah, ibu dan nenek nya. Seolah Jisoo seperti boneka yang dituntut bergerak sesuai keinginan mereka. Jisoo lelah, ia benci lahir di keluarga Kim. Ia ingin lahir menjadi orang biasa.

"Jennie apa yang harus aku lakukan. Aku tidak menginginkan perjodohan itu. Aku tidak mencintai Jungkook!"

"Aku juga tidak tahu harus bagaimana, Jisoo. Tapi, Jungkook orang yang baik. Kalian bisa saling mencintai nantinya—"

"Jadi kau setuju?" Reflek Jisoo melepaskan pelukannya dan menatap Jennie dengan raut kecewa.

"Jangan salah paham dulu," Ujarnya lalu menghela nafas. "Kau tidak ingin di jodohkan oleh Jungkook karena kau tidak mencintai nya. Tapi, kau ingin berkencan dengan laki-laki yang bahkan belum kau kenal? Melalui One Way Ticket itu, bukankah itu sama saja?"

Bibir Jisoo sedikit melengkung kebawah. Ya, tapi Jisoo benar-benar tidak ingin di jodohkan, biarkan ia mencari cintanya sendiri.

"Aku butuh kebebasan untuk memilih pasangan, Jen. Keluarga Jungkook merupakan keluarga terpandang, dia anak dari presiden negara ini. Dan kau tau sendiri kan, aku ingin hidup sebagai wanita biasa. Aku ingin bebas! Aku tidak suka diatur, aku ingin keluar dari lingkaran perebutan kekuasaan dan politik. Aku ingin tinggal di desa, menjadi rakyat biasa, membuka toko kue sederhana dan hidup bahagia bersama keluarga kecil ku. Itu keinginan ku, Jen." Jisoo menghirup nafas banyak-banyak lalu melendetkan punggungnya di tembok belakangnya.

"Aku hanya ingin hak ku sebagai manusia. Aku ingin hak kebebasan untuk memilih jalan hidupku," Tambah Jisoo, tangannya bergerak untuk memeluk lututnya.

Jennie tidak dapat berkata apapun. Mendengar ucapan Jisoo maka sudah semakin jelas mengapa Jisoo menolak perjodohan ini. Jennie dapat memahami keinginan Jisoo, bahkan keinginan Jisoo juga keinginan Jennie. Mereka sama-sama ingin bebas dari kehidupan yang menyiksa mereka.

"Aku akan membantumu, Jis." Tubuh Jennie bergeser mendekati Jisoo lalu segera merangkulnya kembali.

Jisoo tersenyum tipis. Meski ia tidak tahu apakah ada yang bisa menolongnya di kondisinya yang seperti ini. Apa bisa Jisoo bebas seperti orang lain? Kapan kah hari itu akan tiba?











9 April 1979

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari dimana para pemilik One Way Ticket bertemu dengan pasangan mereka. Jisoo dan Jennie sudah sampai di cafe tersebut sejak 2 jam yang lalu. Semakin lama Cafe semakin ramai, bahkan sudah banyak wanita yang menemukan pasangannya. Jennie dan Jisoo yang melihat itu hanya bisa tersenyum tipis sembari menunggu seorang pria datang kepada mereka dan mencocokan nomor ticket yang mereka dapat.

"Mengapa tidak ada satu pria pun yang menghampiri kita? Sebenarnya kita punya pasangan atau tidak?" Bisik Jennie sembari menatap sinis orang-orang yang sudah menemukan pasangannya.

One Way Ticket (1979) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang