34. Curahan hati

938 114 31
                                    

“Jangan sayang sama Yudha, nanti kamu sakit.”

Ya memang sayang sama kamu nggak sakit? jeritku dalam hati.

“Kalian bebas milih sama orang yang kalian mau, kenapa aku enggak sih? Kenapa kalian ikut campur dengan pilihanku? Kenapa Doy, kamu takut kehilangan aku ya?” Aku berakhir dengan tertawa membayangkan jangan-jangan Rifando lagi cemburu. “Kamu suka sama aku ya?”

“Hah? Aku? Aku nggak suka. Bukan begitu maksudku. Ini cinta pertama kamu, kisah cinta pertama itu yang bakal paling membekas di hati dan bisa mempengaruhi kehidupan cinta kamu.”

“Iya terus kenapa?” Aku memandanginya heran.

“Aku nggak mau kisah cinta pertama kamu bakal sesakit itu. Karena cinta pertamaku sesakit itu, Ndah.  Iya, ngaku, aku takut kehilangan kamu kalo patah hati, galau, dan sedih. Nanti yang hibur kamu siapa? Aku nggak yakin bisa hibur kamu, seperti kamu yang selalu nemenin aku. Aku kan nggak selucu, senyaman, dan sebaik kamu.”

Aku meneguk ludah. Baiklah, statusku di mata Rifando masih tetap menjadi teman, dan comforting zone.

“Aku bisa sendiri, patah hati yang bisa bangkitin adalah diri sendiri.”

“Bagiku enggak, aku nggak pernah sendiri. Kamu selalu ada di lembaran momen saat aku jatuh, dan patah.”

“Ya udah jangan patah hati lagi, siapa tahu nanti aku sendiri lagi jatuh, dan patah,” jawabku. “Jadi aku nggak mau bantuin kamu lagi!”

Tidak mungkin saat aku jatuh, dan patah, Rifando pasti lagi terbang dan bahagia. Apakah aku orang yang iri, mengapa aku sedih melihat orang lain bahagia? Apa karena bukan denganku?

"Ya aku juga berharapnya bisa bahagia, enggak ngerasain sakit hati lagi. Semoga aja kali ini akhirnya."

"Hah?"

“Ndah, aku tau kamu nggak suka Nindya waktu itu. Kamu juga nggak suka sama Vivi,” tutur Rifando membuatku tersentak menoleh kepadanya. “Aku punya perasaan buruk dan selalu benar kalau cewek-cewek itu nggak suka sama kamu, pasti aku nggak bakal berakhir bersama mereka.”

“Ya terus?”

“Kali ini aku mau nanya, aku nggak bisa nebak membaca kamu kali ini. Kamu suka nggak sih sama Nilla? Menurutmu dia gimana?”

Jleb.

Aku menahan degub jantung yang segera berpacu cepat membuat tubuhku menjadi panas dan perutku langsung sakit. Aku memiliki kecenderungan aneh saat sedang panik, perutku sakit, dan tubuhku melemas.

“Kalian mulai deket udah lama kan, masa enggak tau Nilla itu gimana?”

“Ya udah dari sejak Ospek sih, aku nanya dari sudut pandang kamu. Karena aku juga udah punya pendapat sendiri.”

“Ya pasti sama pendapatnya kayak aku, Doy. Nilla kan cuma satu orang.”

“Belum tentu sama dong, kamu kan juga perempuan kayak Nilla. Biasanya teman sesama jenis bisa keliatan sifat nyata satu sama lainnya.”

Gara-gara ucapan Rifando, aku jadi berpikir itu benar.

“Dia easy going, baik, pinter, lucu, dan seru.” Aku menjelaskan penilaian setelah beberapa kali bertemu, dan saling berkirim pesan menceritakan hal yang banyak.

Tapi sering patah hati, diselingkuhin, dan dimusuhin temannya karena dia gampang berbaur sama cowok. Sering bikin salah paham membuat pacar para teman dekatnya salah paham.

Kisahnya mirip denganku, makanya aku simpati kami memiliki kesamaan pengalaman gara-gara berteman dekat sama cowok. Bedanya, tampang Nilla bisa mengintimidasi cewek-cewek itu saking cantiknya. Bikin cewek-cewek insecure dan ngelabrak Nilla.  Sedangkan aku lebih banyak dikatain oleh mantan Rifando yang bar-bar berani.

PekaWhere stories live. Discover now