26. Berdamai

830 105 18
                                    

Saat ini aku bersama Rifando sedang duduk di kursi tunggu depan bangsal ruang perawatan. Masih jam 7 malam, masih jam besuk. Tapi Kelvin di kamarnya masih belum sadar juga masih dalam pengaruh obat bius. Abangku ditinggal sendirian di sana karena aku takut akan berisik mengganggunya. Menurut informasi suster kemungkinan Kelvin akan bangun tengah malam nanti berkat pengaruh biusnya.

“Baru keluar dari ruang operasi jam  berapa?”

“Jam 5 sore, soalnya ngaret jam 11 baru bisa masuk ruang operasi. Obat biusnya lumayan ya dosisnya?”

“Mungkin dinaikin tinggi karena Kelvin aja orangnya susah tidur, nggak kebayang dia operasi tapi dalam keadaan sadar.”

“Aku kalo kena obat bius gimana ya?” tanyaku usil.

“Jangan dibayangin, gak kena obat bius aja tidurnya kayak mati suri. Kalo kena obat bius bisa jadi bangunnya 12 jam kemudian.” Cowok berbaju kemeja kotak-kotak biru itu terkekeh pelan.

Aku meninju lengannya sambil mendesis. Apakah aku sekebluk seburuk itu di matanya? Pantas saja Rifando tak pernah bisa melihatku sebagai perempuan yang menarik. Bodo amat, aku mau tetap menjadi diriku sendiri yang lebih suka tidur.

“Udah mau baikan sama Kelvin kan?” tanyaku mengingat perjuangannya datang ke sini padahal sudah aku bilang Kelvin belum bisa bangun.

“Tapi nggak tau harus gimana buat mulainya, aku ngerasa ribut sampe begini aneh buat baikan lagi.”

“Ya baikan kayak biasanya, dari dulu kan udah sering ribut.”

Tapi dulu ributnya jarang sampai selama ini saling mengabaikan satu sama lain.

“Iya nanti dicoba, kok kamu nggak bilang sih dari awal kalo Kelvin sakit parah dan harus operasi? Aku kan di rumahmu sampe sore?” tanya Rifando kecewa.

“Kita juga gak tau kalo sakitnya Kelvin makin parah pas semalam, Ayah langsung mau bawa ke RS tengah malamnya. Belum lagi permintaan si Kelvin, dia gak mau kamu tau bakal operasi sakitnya. Drama apaan ini?” Aku tertawa sinis.

Raut wajah Rifando yang menautkan kedua alis dengan bibir lama kelamaan melebar membuatku yakin cowok itu juga sama gelinya.

“Wajar kok dia kan emang uring-uringan, bahkan nggak sakit juga susah ditebak gimana moodnya.”

Aku mengangguk setuju, pendapat Rifando tentang Kelvin benar. “Maafin dia yang sering sensi, aku yakin sih dia udah sering sakit sejak sibuk rapat panitia OSPEK tapi  diabaikan gitu aja. Kata dokternya sebelum pecah berbahaya lebih baik cepat dioperasi.”

“Karena sesibuk itu dia bisa sakit? Bahaya juga pasti dia makannya sembarangan.”

“Kamu jaga kesehatan, kamu juga sibuk kan?”

Rifando ngangguk kecil. “Iya bakal sibuk, aku mau keluar nanti semester 8 deh. Nanti bulan Maret udah ganti kepengurusan. Bisa dibilang nggak keluar juga sih, mereka kan udah kayak dunia keduaku. Tapi ngurangin kegiatan aja kali ya, udah banyak yang baru-baru juga.”

Rifando dan Kelvin sempat mengurangi kegiatan dalam organisasinya saat semester 6 untuk mengambil mata kuliah magang. Aku ingin seperti mereka yang rajin dan disiplin dalam pembagian waktu.

Aku sendiri malas banget berkegiatan, di UKM Jurnalistik saja tidak bersemangat menunjukkan diri. Dulu saat baru mau masuk kuliah aku didorong oleh mereka untuk masuk organisasi, tapi aku tidak suka dengan acara pengkaderisasian. Aku tak suka segala tindakan perpeloncoan seperti itu. Ribet. Lumayan mengekang diriku. LDKO Osis dulu saat sekolah sudah membuatku sebal dan kapok. Terbukti aku sudah cukup capek dan pusing sama tugas-tugas. Kalau aku bergabung bisa jadi aku pusing tak bisa fokus belajar.

PekaWhere stories live. Discover now