12. Sabar ya

813 104 28
                                    

"Dia bilang, cinta itu juga dicari sebelum akhirnya menjadi ditemukan. Artinya, bukan aku yang sudah berada di sekitarnya selama ini ya?"

💖💖💖

Di jalanan  pulang aku menatap jalanan dengan sorot datar. Perasaanku mendadak jadi memburuk cuma gara-gara dibercandain oleh Sasa. Dan mendengar sendiri pengakuan Rifando dan rencananya.
Aku melotot melihat ponselku ada yang menelepon dengan nama Vivi. Sudah suasana hatiku lagi kesal ditambah orang ini.

“Nih adik-adikan kamu ngapain nelepon?” Aku memegang ponsel menunjukan layarnya ke Rifando.

“Lah, itu bocah salah nelepon kali. Angkat dulu aja,” kata Rifando nyuruh.

Namanya Vivi, adalah adik tingkat di Himpunan Mahasiswa yang sama dengan Rifando. HiMa Jurusan Ilmu Komunikasi. Anak semester tiga yang dikenalkannya padaku karena Vivi sering membutuhkan informasi tentang Rifando melalui aku. Rifando suka hilang tanpa jejak tak membalas pesan, sedangkan teman-temannya terkadang membutuhkan cowok itu. Sok penting banget kan dicariin sama orang-orang mulu! Kelihatannya Vivi juga menaruh rasa pada Rifando mengingat betapa centil, dan sok akrabnya cewek itu pada Rifando.

Iya, sainganku banyak juga, Zella dan Vivi. Untuk cewek yang bernama Vivi ini, Rifando masih akrab, tidak se-anti dengan Zella. Karena mereka masih sering bersama dan bertemu ketika di organisasinya.

“Halo?”

“Andah, Kak Rifando mana? Kok ditelepon nggak nyambung?” Suara cempreng dan jutek keluar dari ponselku.

“Hape kamu mana? Dia nelepon katanya nggak nyambung?” Aku berbisik ke Rifando.

Cowok itu balas sendiri dengan suara keras. “Hape gue lobet, Vi. Ini sekarang lagi nyetir.” Rifando bicara di depan ponsel yang aku sodorkan ke arah wajahnya, lalu mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya, dan mencolokan ke charger.

“Katanya hapenya lagi mati. Dan dia lagi nyetir,” ulangku.

“Oh ya udah tau, kedengeran kok. Nanti langsung cek PDF yang aku kirim ya, Kak. Ya udah, aku matiin ya.” Tanpa kata-kata lagi Vivi mematikan sambungan. Tebak sendiri kata-kata mana yang untukku, dan mana yang untuk Rifando.

“Songong anak ini, aku nggak suka,” kataku berkomentar tentang Vivi.

Cewek yang merupakan adik tingkat Rifando, dan keduanya cukup dekat. Entah hubungannya apa, walau katanya adik-abang. Aku merasa Vivi sudah terbawa perasaan dan suka sama Rifando. Rifando yang biasa aja padanya, beda dengan sikap Rifando ke Zella yang penuh ketegasan membuatku sebenarnya penasaran. Tapi, nanti cemburu dan rasa penasaran itu membuatku sakit hati.

Rifando menoleh dan tersenyum maklum. “Santai aja, anaknya emang gitu. Tapi dia kinerjanya bagus di Divisiku.”

Mengingat rencana Rifando yang katanya lagi nyari calon gebetan dengan modus mencari kenalan teman, aku langsung sinis berkomentar.

“Kamu kenapa nggak pacarin dia aja? Kayaknya bakal langgeng,” ucapku. “Dia pasti bisa cinta mati sama kamu.” 

“Nggak, dia bocah udah kayak adik nggak sih buat aku. Rasanya aneh kalo pacaran sama dia.”

“Dia naksir sama kamu deh, kenapa kalo sama Zella kamu nunjukin nggak suka, sedangkan ke Vivi kayak ngasih harapan?”

Rifando menoleh. “Jonny yang ngomong ke aku, jangan kasih harapan apa-apa ke Zella. Biar Zella naksir cowok lain yang bisa nerima dia, aku kan nggak bisa.”

“Jadi ngasih harapan ke Vivi itu boleh?” cecarku lagi.

“Aku nggak pernah ngasih harapan, aku nggak suka, dia kayak anak kecil. Aku harus bersikap biasa aja, kita kan satu organisasi. Aku sama dia nggak sedekat itu kok, aku nggak bersikap ngasih harapan apa-apa ke dia.”

PekaWhere stories live. Discover now