1. Aku dan Pacarmu

5.3K 421 37
                                    

"Satu hal yang hanya bisa aku lakukan untuk tetap berada di dekatmu adalah menjadi sahabatmu."

💖💖💖

Perasaanku mengatakan tidak enak, bahwa nanti akan terjadi sesuatu yang buruk. Meski bukan aku penyebab utamanya, tetap saja bisa terseret ke dalam masalah orang lain.

Kini aku sedang duduk di kursi D dalam bioskop yang strategis, bersama dengan sosok cowok. Lampu di dalamnya masih terang belum dimatikan, tayangan di layar masih berupa trailer film-film yang akan datang, dari  Indonesia mau pun luar negeri. Manusia mulai berdatangan mengisi kursi yang kosong. Untuk kursi sampai ke bawah yang nyaris dekat dengan layar juga sudah mulai terisi.

Gelisah.

Aku menyuapkan popcorn caramel ke dalam mulut. Cowok di sebelahku sedang bermain ponselnya sambil nyedot minuman, dia terlihat sangat pusing. Pikiran ini sedang menerka-nerka, apa yang membuatnya terlihat suntuk begitu.

Apakah masalah dengan pacarnya, atau organisasi mahasiswanya?

Aku menunjukkan tidak tenang dengan gerakan, sedangkan dirinya dengan raut wajah.

Melihatnya yang kelihatan tak senang membuatku jadi ikutan kesal. “Dibilang kalo nggak bisa nggak usah dipaksa,” cetusku padahal tidak tahu cowok itu sedang sibuk ngapain.

“Ck, udah dibilangin nggak apa-apa.” Reaksi cowok itu menjawab ucapanku dengan mencurigakan, tampangnya juga segera berubah menjadi santai banget. Seperti sedang menutupi sesuatu.

Pilihannya untuk menemaniku atas kemauan dirinya sendiri, tetapi perasaanku tetap saja tidak enak. Rencananya aku mau menonton bersama Kelvin, Abangku. Namun tiba-tiba saja orang itu tidak bisa menepati rencananya, alias tidak bisa. Kelvin ada urusan dengan organisasinya, yang sedang mempersiapkan acara OSPEK penerimaan mahasiswa baru nanti. Sudah mau semester 7 masih aktif saja di BEM Fakultas.

“Ini kamu udah izin sama Mala pergi sama aku, 'kan?”

Ada satu hal yang pernah tercipta perjanjian di antara kami, karena aku sering dijadikan kambing hitam. Alias sasaran amukan pacar cowok ini. Aku menegaskan setiap dia pergi denganku sudah harus ada izin terketik dari pacarnya.

Sejak berangkat dari Kampus tadi aku sudah bawel mencecarnya tentang izin pacar. Tapi ni cowok jawabnya hanya iya-iya saja. Aku yang curiga malas banget kalau terjadi keributan lagi, sayangnya itu bukan hubungan asmaraku.

Minggu lalu cowok ini pergi menemaniku mencari buku, setelahnya ribut sama pacarnya. Padahal dia sudah setuju kalau mau pergi bersamaku harus izin ke pacarnya dulu. Aku tidak mau kejadian kayak gitu terulang lagi, memalukan untukku yang terlibat di kisah cinta orang lain.

Ribet banget, tapi ini harusnya bukan urusanku. 

“Iya-iya tenang aja. Kenapa sih, hm?” Cowok dengan kemeja kegedean warna hitam-krem itu memandangiku dengan tampang datar.

“Kalo dia marah, aku juga marah sama kamu.”

“Jangan marah nanti cepet tua!” Ini cowok malah nyahutinnya nyebelin.

“Baru beberapa hari kamu berdamai sama dia. Nggak tenang banget setelah kalian ribut kemarin,” cetusku meliriknya sinis.

“Makanya cari pacar!” Sekarang dia malah ngeledek.

“Kok jadi makin resek?”

“Gapapa dong,” jawabnya kalem tapi menyebalkan.

“Ih, nyebelin. Kan sayang tiketnya kalo batal, mana ini film yang udah aku tunggu banget.”

"Iya bener, sayang."

Mendengarnya bicara ngaco aku segera melotot. "Ngomong apa?"

"Apaan ngegas tiba-tiba?" tanyanya dengan raut bingung.

"Tadi bilang sayang."

"Tiketnya woi, bukan lagi godain kamu. Geer banget!"

Yhaaa, aku sudah gede rasa dan sekarang sudah tengsin banget. Aku mencebik bibir kembali menatap ke depan berusaha menahan rasa malu.

“Kalo nggak niat aturan nggak usah dipaksa!” Aku masih sewot sebab salah tingkah.

“Siapa yang kepaksa memangnya?"

Aku menggertakkan rahang. “Ya kamu!”

Keheningan menemani kami setelahnya. Aku sibuk dengan rasa kesalku dan tak bisa menerka apa pikirannya.

“Enggak tuh, kalo kepaksa nggak bakalan mau. Kamu tau."

"Ho'oh."

"Ya makanya aku di sini,” sahut Rifando. Ya namanya adalah Rifando. Cowok yang sekilas terlihat judes itu bisa tiba-tiba berbicara hal aneh.

Dia bicara lagi namun membuatku bingung. “Ngapain?”

“Biar kamu nggak batal nonton, kan kamu udah nungguin film ini dari lama.”

Tenggorokanku tercekat mendengar jawabannya. Setelah meneguk ludah hanya bisa berkomentar. “Oh, iya ya. Ini gara-gara Kelvin yang emang sok sibuk. Beneran kan Mala udah tau kita lagi pergi bareng?”

Aku menatap profile dirinya dari samping yang sedang menerawang serius. Lalu Rifando sudah tak sekaku itu lagi, dia mengambil popcorn miliknya kemudian menyuapkannya padaku. Aku mengunyah sambil menahan desisan. Apa ini caranya untuk membuatku tidak ngoceh lagi?

“Yang penting aku udah bilang, tapi dia nggak bales pesanku udah dari dua jam lalu. Tadi sih dia bilangnya memang ada jadwal kelas sampe jam 12. Tapi sekarang udah jam 1.”

“Kamu izin belum diiyain kok nggak bilang? Terus kamu main cabut aja sama aku, iya? Heh!!!” Tiba-tiba aku bangun dari duduk mengejutkan beberapa orang di sekitar, yang masih menunggu film itu mulai.

“Pssssst, buset dah panik banget!” Rifando mendorong bahuku agar mundur sandaran lagi ke posisi yang tenang. “Udah jangan ngomongin dia lagi, biarin aja. Dia yang ngelarang aku gabung nonton sama kalian dan bilangnya nonton sama dia aja. Tapi Minggu lalu waktu aku ngajakin nonton film ini, dia nggak mau. Dia nggak suka genrenya. Padahal sebelumnya Mala yang janjiin bakal nemenin aku nonton, 'kan?”

Sejak trailer film ini muncul, aku sama Kelvin sudah heboh harus menonton film ini. Kalau kami nonton bertiga itu bisa lebih baik, agar aku tak membuat pacar nih cowok marah-marah cemburu. Waktu itu Rifando menolak nonton bareng, karena dilarang oleh Mala. Rifando dijanjikan oleh Mala, sayangnya rencana mereka tidak terpenuhi, karena alasan yang disebutkan tadi. Kata Rifando, Mala tuh suka egois.

Aku menjadi menatap lurus ke layar lagi, berdebat tak akan selesai. Lampu latar sudah mati mulai menggelap di layar masih ada iklan bermunculan.

Kumerasakan bahwa lenganku terasa bersentuhan dengan sesuatu. Saat aku menolehkan kepala, tuh cowok resek lagi iseng makan lahan tempatku dengan meletakkan tangannya di pembatas kursi dengan makan tempat. Walau tampangnya sok kalem, aku tahu dalam dirinya memang sedang niat bercanda.

“Geseran, Nyet,” bisikku dengan menyikut tangannya agar tangan itu menjauh pergi. Aku bisa menempati tanganku di sana dengan leluasa.

Hanya sementara sebab Rifando balas dendam melakukan hal yang sama. “Aku juga bayar, Nyet.”

“Udah, minggir sana! Tanganmu gede makan tempat.”

Sebelum film benar-benar mulai kami masih sesempatnya bercanda saling sikut rebutan lahan pegangan tangan. Tawa segera aku tahan daripada kelepasan mengganggu suasana yang mulai hening. Aku masih sesempatnya melirik ke arah kiriku. Meski pun gelap aku bisa melihat siluet sisi sampingnya, berkat cahaya dari layar bioskop.

Kami bersahabat, orang lain mengira kami adalah sepasang manusia yang disebut sebagai bersahabat. Tetapi aku tidak bisa menganggapnya demikian. Aku mencintainya dalam diamku.

💖💖💖



16 JUNI 2020

PekaWhere stories live. Discover now