25. Kelvin

800 98 12
                                    

Lewat tengah malam duduk di ruang tunggu depan ruang IGD adalah hal yang tak bisa aku duga sebelumnya. Angin malam mulai semilir menggelitik tengkuk. Saat ini sudah jam 12 lewat, aku bersama Rafel duduk sambil saling berdempetan. Cowok itu bagai bocah masih menangis sesenggukan sambil menyandarkan kepalanya pada bahuku. Mataku sama sekali tidak mengantuk, hal yang luar biasa jarang terjadi. Semua perasaan sama tegangnya.

Sudah sekitar setengah jam lalu, Kelvin masuk ke dalam ruang IGD untuk mendapatkan perawatan awal. Cowok itu mengalami sakit perut luar biasa, disertai demam tinggi, dan seluruh tubuhnya sudah kaku sulit digerakan.

Saat pergi ke klinik dokter mengatakan jika dalam dua hari sakit perutnya belum hilang, akan mendapat rujukan ke rumah sakit. Tiba di rumah sejam kemudian sakitnya semakin parah membuat ayah membawanya kembali ke klinik untuk segera ditangani serius meminta surat rujukan ke rumah sakit. Sekitar pukul 11 lewat Kelvin baru dibawa ke rumah sakit.

Di dalam Ayah sedang sibuk mengurus administrasi sedangkan Bunda menemani Kelvin yang masih kesakitan, ditambah dipasangin infusan.

Aku menemani Rafel duduk di ruang tunggu depan IGD sambil memandangi jalanan depan, beberapa kali ada calon pasien yang antre masuk IGD.

Si Bayi gede itu masih saja terisak sambil memeluk lenganku dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Ingin sekali aku ngeledek, namun perasaanku sendiri juga masih tegang mengingat betapa histerisnya reaksi si Kelvin atas sakit kram perutnya.

Cowok itu selama ini selalu mengabaikan rasa sakitnya, bahkan waktu itu masih sempet ketemu sama Nindya di Fikom. Waktu pulang langsung sakit sih.

Saat ini lumayan dingin, dekapan Rafel lumayan membuatku menjadi hangat.

“Udah jangan nangis, eh, di depan kita ada kamar kremasi tuh,” kataku bergidik ngeri melihat ruangan yang sendirian tak jauh dari koridor IGD.
Di kacanya ada tulisan Ruang Kremasi, dan di dalamnya ada banyak peti-peti mayat.

“Kak Andah, mah!!” seru Rafel ketakutan makin kenceng memeluk lenganku.

“Ada yang di dalem nggak ya? Kayaknya masih ada yang bingung tuh?”

“Jangan ngomong gitu, nanti pada ke sini!” omel Rafel.

“Kenapa kamu jadi clingy banget? Biasanya jahat sama Kelvin! Kenapa nangis segala? Kayak bayi gorila, badan kamu udah gede nggak kecil kayak waktu SMP dulu.”

“Aku nggak pernah liat Abang nangis kesakitan sampe begitu, kan kasian jadinya. Aku takut Abang nggak kuat, terus—huaaaaaa—“ Rafel nangis lagi.

“Depanmu ruang kremasi mayat, jangan kenceng-kenceng teriaknya! Kelvin tuh kuat kali, siapa yang paling bandel sering kecebur di kali, dan gelinding di jalanan tanjakan dulu? Kamu pake nangis kejer segala, uwu jadi gemes!” seruku mengacak puncak kepalanya.

Rafel mendecih, dia menarik kepalanya tak mau aku usap-usap. Rafel yang aku kira menyebalkan, tak peduli sama orang lain, egois, manja, dan maunya seneng-seneng aja. Ternyata hati anak ini sangat sensitif, melihat orang lain kesakitan dia menjadi ikutan nangis sampe kejar begitu.

“Andah, Rafel, eh masih nangis?” Bunda muncul dari pintu bertuliskan ruangan IGD itu memandangi kami heran.

“Abang gimana?” tanya anak bocah itu. “Abang gapapa, Bun?”

“Nanti setelah udah dapet kamar perawatan, kalian pulang aja yuk sama Bunda naik taksi,” kata Bunda. “Siapin tenaga buat besok karena Kelvin harus dioperasi. Ayah yang bakal jaga sampe pagi, jadi besok gantian. Kata perawat gejalanya mirip usus buntu, tapi kan harus pengecekan dulu hasilnya baru keluar besok pagi.”

PekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang