20. Kenapa?

856 116 28
                                    

Suasana di kantin siang hari ini cukup ramai. Aku sedang bersama dengan Yudha yang mengajakku untuk bertemu memenuhi janji waktu itu.

“Kamu lagi sakit? Kenapa nggak bilang, kalo tau gitu aku nggak usah jadi ngajak ketemuan. Mau aku anter pulang aja?” Pria dengan rambut model shaggy itu memandangiku cemas, tangannya terulur memegang keningku.

Aku tersentak takut tidak bisa menipu dirinya. “Nggak apa-apa kok, cuma rasanya lagi lemes aja.”

Sudah beberapa hari ini aku mengurangi porsi makan gila-gilaan, aku berhenti ngemil makanan, apalagi yang manis-manis.

Yudha melihat diriku dari seberang meja ini dengan tatapan yang lurus-lurus, dia memegang kedua tanganku di atas meja. “Kamu pucet banget, lemes, dan napasnya berat. Tapi badan kamu nggak panas. Kamu punya anemia?”

Aku butuh makanan yang manis-manis, aku tahu
kondisi tubuhku saat ini sedang lemas karena kurangnya asupan makanan manis, dan karbohidrat. Makanan manis juga dibutuhkan untuk tubuh asal sesuai kebutuhan. Kurangnya asupan gula bisa membuat lemas, emosian, dan pucat. Inilah yang sedang aku rasakan.

“Gapapa, kayaknya cuma capek aja,” jawabku seadanya.

Tidak mau bercerita bahwa sedang diet ekstrim hanya makan beberapa sendok saja setiap makan di rumah, dengan lauk apa adanya yang ada, dan minum air putih. Sedangkan di kampus aku jarang makan, kalau siang lapar berat aku cuma makan roti isi. Perubahan anehku sudah dicurigai oleh Sasa, biasanya aku makan siang selalu banyak. Kalau Sasa sudah curiga maksa makan, aku bakal makan sedikit pura-pura sudah kenyang.

“Kamu mau makan apa? Aku pesenin sekarang juga.”

“Gapapa Yudh, aku pesen es teh manis aja ya?” pintaku.

Yudha sudah beranjak pergi, namun sebelumnya dia sempat melemparkan raut wajah aneh.

Aku menjilati bibirku yang kering, pernapasanku mulai berat dan bayangan di sekitar menjadi buram.

Di depanku ada bayangan Yudha sudah kembali membawakan dua buah gelas teh manis. Yudha terlihat panik melihatku yang mengerjapkan mata, cepat-cepat cowok itu menyodorkan gelas minuman membantuku untuk minum.

“Ndah, aku cariin air putih sama obat ya?”

Aku menyedot minuman itu tiada henti, pertahananku runtuh sekali minum manis langsung tidak mau berhenti alias candu. Kepalaku menggeleng kuat-kuat ketika Yudha mau bangun dari duduknya.

“Nggak usah. Aku nggak sakit kok, cuma lemes aja kurang makan.”

Kami berdua sama-sama melongo sadar bahwa gelas es teh manis itu sudah kosong, tapi rasanya dalam diriku langsung terasa berbeda. Rasanya menjadi lebih segar dan menyejukkan. Lemas di tubuhku lumayan perlahan menghilang.

Aku jadi mau minum es lagi, benar-benar pola makanku membuat sekalinya bertemu sesuatu yang aku jauhi akan ingin mengkonsumsi dengan porsi banyak.

“Kenapa? Nggak sarapan?” tanya Yudha kembali duduk.

Di meja kami kedatangan seorang ibu penjaga kantin yang menjual Sop Iga Sapi, dia membawa untuk dua porsi.

Aku menggeleng kuat-kuat. “Ini buat kamu semua kan, Dha?” tanyaku sembari melemparkan tatapan ngeri. Aku tidak mau makan, namun sepertinya dugaanku benar pasti Yudha akan memaksaku untuk makan.

“Enggak dong, kamu satu porsi,” tukas Yudha mendorong piring berisi nasi ke hadapanku. Lalu dia mengangkat mangkuk sop Iga ke depanku.

“Aku lagi nggak makan banyak,” jawabku cemas.

“Katanya kamu kurang makan, kamu lemes ya? Aku pesenin minuman lagi ya, satu gelasnya udah abis,”  Yudha bangun dari duduknya secepat kilat kabur untuk pesan minum lagi.

PekaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt