0.5

336 76 0
                                    

banyak waktu yang sudah berlalu begitu saja; tetapi terkadang memang, waktu tak menyembuhkan luka dan tak mengakhiri cerita. beberapa orang lebih memilih mengabaikan daripada memaafkan dengan benar, Elliott adalah salah satunya.

ada kesederhanaan dalam persaudaraan mereka; pada keheningan yang menghubungkan keduanya, tanpa sepatah kata 'pun mereka tahu keduanya sudah saling memaafkan. kemudian kembali menunggu untuk pertengkaran selanjutnya, rasa kebas itu kemudian akan kembali menguasainya, membutakan seluruh sensorinya.

terus berulang sampai kata 'impas' yang keduanya agungkan terlaksana. walaupun demikian, tetap saja, darah lebih kental daripada air.

"jangan bilang aku tidak mengingatkan mu brothers."

Elliott menyeringai menatap Josheniel yang terdiam membeku diambang pintu masuk. mengayunkan tangan seperti maid yang mempersilahkan untuk keluar, Elliott menyeringai geli.

"sebelum kita mulai berlayar, kau masih punya waktu untuk keluar brothers, jangan menyusahkan diri demi egomu yang tinggi itu."

bimbang. Josheniel mengepalkan tangan, "tidak ada kata mundur dalam kamus-ku."

"yo! Josheniel. tidak berlibur dengan club-mu? kau tipe orang yang menyayangi musuh rupanya."

Samuel menggoyangkan gelas berisi whisky, menatap lurus pada Josheniel. keadaan disini menguntungkan, jika mereka berdua berkelahi akan mudah untuk membuang mayat kedalam laut.

"kemarikan $100, aku benar bukan? Josheniel akan datang," Hilmiah membuka telapak tangannya dihadapan Samuel. "tidak mungkin tidak," lanjut Hilmiah dengan nada amat pelan.

Samuel menarik satu lembar $100 dan meletakkan diatas telapak tangan Hilmiah. lain halnya dengan Hilmiah, Samuel sama sekali tidak menyangka Josheniel benar-benar akan datang.

mengulum senyum, Elliott berjalan berlalu dari hadapan Josheniel. "ikuti aku, Jaimerson ingin bertemu denganmu."

"bye baby niel."

mengabaikan Samuel Leonhart adalah sebuah keharusan jika tidak ingin Yacht milik Jaimerson berubah menjadi arena pembunuhan. fokus Josheniel kembali pada adiknya tercinta, yang tak lain tak bukan tentu saja Elliott Krovasakoff.

"hei kau," Josheniel menghentikan langkahnya. Elliott menoleh, menatap Josheniel dengan wajah jenaka, mati-matian Elliott berusaha menahan tawa.

"kau keterlaluan kali ini," Josheniel menunjuk Elliott tepat pada pangkal hidung. "dan berhenti memasang wajah seperti itu, tertawa 'lah seperti orang gila."

"kenapa kau menyalahkan 'ku? aku sudah berbaik hati memperingatkan bukan? aku juga sudah mengatakan untuk turun sebelum kita berlayar."

tak lagi dapat menahan tawa, Elliott tertawa terbahak-bahak. kembali memutar tubuh, Elliott berjalan terlebih dahulu. mau tak mau Josheniel mengikuti langkah Elliott.

menarik nafas dalam-dalam, Josheniel memejamkan mata, berusaha meredam emosinya yang membumbung tinggi. 'kau pasti bisa Josheniel,' ia menyemangati dirinya sendiri.

sayang sekali Josheniel tidak dapat melihat wajah Elliott saat ini. Elliott menggigit bibirnya, menahan tawa yang siap meledak untuk yang kedua kalinya. 'rasakan,' batin Elliott menyeringai puas.

keduanya kembali berjalan menuju kamar Jaimerson, dengan tujuan berbeda. Josheniel dengan protesnya, sedang Elliott akan membagikan lelucon.

"kakakmu sepertinya bukan datang untuk berlibur, lihatlah wajahnya yang seperti siap untuk menelan seseorang."

tentu saja, apa yang Josheniel harapkan? Jaimerson pastilah akan menertawainya lebih dulu sebelum mendengarkan protesnya.

"jangan menggodanya seperti itu mate."

BREAKEVEN BROTHERHOODWhere stories live. Discover now