Part 39

1.5K 220 13
                                    

Nanda tahu kalau suasana hati Sakha sedang tidak baik-baik saja. Terbukti dari semenjak kedatangannya ke rumah sakit, wajah Sakha tampak murung. Pun dengan kepribadian cowok itu yang semakin beku.

"Cafe masih lo tutup, kan?" tanya Nanda, berusaha untuk mencairkan keadaan.

"Iya," balas Sakha sekenanya.

Nanda hanya mengangguk pelan, kemudian memilih untuk menatap para pasien yang duduk di depan kamar rawat mereka masing-masing. 

Sakha menelisik lebam di wajah Nanda yang sudah tidak membengkak lagi. Diam-diam, dia meringis. Karena amarah yang menguasai, dia menjadi kelepasan dan memukul Nanda dengan membabi buta. "Maaf, ya, gue udah tonjok lo tadi."

Nanda mengibaskan tangannya tidak peduli. "Santai aja, gue tau kalau lo lagi butuh pelampiasan. Dan sebagai temen, gue harus bantu lo."

"Gue kadang iri sama keluarga lo, Nan," ucap Sakha tiba-tiba, yang kontan membuat langkah Nanda terhenti.

"Maksud lo? Kenapa iri sama keluarga gue?" tanya Nanda dengan kening berkerut.

Sakha mengangkat bahu acuh tak acuh. "Keluarga lo harmonis, sedangkan keluarga gue jauh banget dari kata itu."

Sesaat, Nanda termenung. Namun kemudian dia pun terkekeh. "Lo nggak tau aja, bokap sama nyokap gue suka banget berdebat. Entah masalah baju, makanan, sampe tempat barang. Kepala gue hampir meledak," sahutnya, mencoba untuk menghibur Sakha.

Tanpa sadar, Sakha ikut tertawa kecil. "Mereka nunjukkin cinta mereka dengan cara yang berbeda, Nan. Kalau salah satu dari mereka nggak ada, rumah pasti sepi. Apalagi lo, kan, anak tunggal."

"Ya ... selain dimanjain, jadi anak tunggal itu sebenernya nggak enak. Nggak punya saudara buat diajak main, atau bertengkar. Seharusnya bokap sama nyokap bikin satu lagi. Setidaknya gue nggak ngerasa kesepian kalau mereka lagi mesra-mesraan."

"Bokap sama nyokap lo mikir-mikir, lah, kalau harus punya anak kayak lo lagi satu. Repot banget."

Sontak, Nanda mendelik seraya mengapit kepala Sakha di ketiaknya, membuat cowok tinggi itu langsung berdesis kesal. "Kurang ajar emang lo jadi temen."

"Lepasin gue, Nan! Ketek lo bau," keluh Sakha, berusaha melepaskan apitan Nanda, hingga mengundang rasa penasaran dari orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar koridor.

Nanda yang tak terima dengan tuduhan Sakha, semakin menenggelamkan wajah Sakha di ketiaknya.

"Cium ketek gue, Sak. Harum, kan? Kayak bunga melati yang baru dipetik," ucap Nanda.

"Lepas, anjing!" Sakha mendorong tubuh Nanda kasar, membuat kepalanya seketika terlepas dari apitan Nanda. Spontan, Sakha menghirup udara dengan rakus sambil menahan rasa mual.

Melihat ekspresi tersiksa di wajah Sakha tak pelak mengundang tawa Nanda, bahkan dia sampai harus memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.

"Lo mau bikin gue mati?" tanya Sakha sinis.

Nanda langsung menggeleng cepat. Dengan sisa-sisa tawa, dia pun menyahut, "Enggak, enggak. Gue bercanda doang. Kalau lo mati gue temenan sama siapa lagi?"

Sakha memutar kedua bola matanya. "Jangan tanya gue."

Nanda mencebik, dia sudah akan menendang tumit Sakha saat matanya tak sengaja menatap para petugas medis yang sedang mendorong brankar dengan dua orang dari pihak keluarga yang menyusul di belakangnya. Namun, Nanda tidak bisa melihat orang yang tergeletak di atas brankar karena tubuh para petugas medis menghalanginya.

Kontan, Nanda memukul bahu Sakha seraya berucap, "Sak, Sak. Itu bukannya Raffa sama asisten rumah tangga nyokap lo?"

Alis Sakha mengkerut, lalu mengikuti arah tuju Nanda. Lama dia terdiam--- guna memastikan kebenaran dari penglihatan Nanda---sebelum kemudian menatap cowok itu lekat. Tanpa mengatakan apapun, Nanda tahu maksud Sakha.

Ineffable (Tamat)Where stories live. Discover now