Part 32

1.5K 235 5
                                    

Seberusaha mungkin, Aerylin menutup pintu rooftop dengan sangat perlahan—berharap pintu reot tersebut tidak mengeluarkan suara deritan yang cukup menganggu indra pendengaran, hingga mengusik seseorang yang sedang bersandar di salah satu bangku sambil mendengarkan musik melalui earphone dengan mata terpejam.

Setelahnya, Aerylin berjalan mengendap-endap menuju pribadi berwajah ganteng yang semakin terlihat bersinar karena biasan cahaya matahari tersebut.

"Udah dateng?"

Aerylin yang baru saja mendaratkan bokong di kursi, seketika berjengit kaget kala kelopak mata itu terbuka---menampilkan keindahan dari netra cokelat kehijauannya.

"Lo udah lama?" Sebisa mungkin, Aerylin bersikap biasa saja, meski sebenarnya dia masih kikuk karena sempat kepergok menatap Sakha secara sembunyi-sembunyi.

Sakha menggeliat---merenggangkan kedua tangannya ke atas, lalu menggeleng pelan. "Belum lama. Sepuluh menit... mungkin?"

Aerylin membalasnya dengan anggukan mengerti, tidak ingin menanggapi lebih lanjut.

"Jadi, gue lanjut materi yang kemarin aja, ya?"

"Jawab dulu pertanyaan gue."

"Pertanyaan yang mana?" Alis Sakha terangkat sebelah.

Aerylin berdecak. Sakha itu memang benar-benar lupa atau hanya sengaja?

"Alasan lo bawa gue pulang tiba-tiba. Padahal, duduk aja belum."

Sakha diam sejenak, sebelum kemudian tersenyum geli. Kepalanya dimiringkan menghadap Aerylin, dengan kepalan tangan yang menjadi tumpuan. Sorot mata cowok itu begitu intens, seolah memang menitik fokuskan Aerylin sebagai objeknya.

"Lo memang penasaran banget, ya?"

Aerylin yang ditatap demikian oleh Sakha, langsung terpaku selama beberapa saat. Seperti tersihir, dia hanyut dan tenggelam dalam lautan pesona Sakha. Menciptakan perasaan menggelitik pada perutnya yang menjalar melalui semu merah di pipi.

Alhasil, Aerylin langsung berpura-pura sibuk dengan buku, guna menenangkan degup jantungnya yang menggila. Ya Tuhan, kalau terus begini, lama-lama dia akan meleleh layaknya cokelat yang diletakkan di bawah sinar matahari.

"Gue cuma tanya. Kalau lo memang nggak mau jawab, nggak apa-apa," ucap Aerylin, mencoba terlihat biasa saja meski hatinya berteriak ingin segera kabur ke kelas—atau ke mana pun asal tidak ada Sakha. Karena dia tidak yakin akan sanggup menahan matanya lebih lama lagi supaya tidak melirik ke samping, tempat cowok itu berada.

"Kalau gue kasih tau, lo harus jawab soal yang gue kasih."

"Ih, mana bisa kayak gitu?" Aerylin menoleh tidak setuju, tapi begitu menyadari kalau Sakha masih mempertahankan posisinya, dia pun kembali menatap buku.

"Bisa. Itu namanya hubungan sebab-akibat dalam konteks yang lebih simpel. Mau nggak? Kalau enggak, kita lanjut materi." Sakha lantas menegapkan tubuh dan hendak membuka buku, namun urung dilakukannya saat suara Aerylin terdengar. 

"Ya, udah. Tapi soalnya jangan susah-susah. Otak gue udah panas, jangan dibikin makin panas. Nanti meledak," tukas Aerylin sambil mengerucutkan bibir.

Sakha tersenyum tipis. "Ini bukan kartun, Ly. Otak nggak bakal meledak kalau cuma jawab soal. Ya, kecuali kalau kepala lo ditembak beberapa kali. Mungkin, bisa."

Sontak, Aerylin meringis ngeri. Tak mau membayangkan tentang tembak-menembak yang pasti selalu berhubungan dengan darah, rumah sakit, dan kuburan.

"Jadi, apa alasannya?" tanya Aerylin.

Sakha menipiskan bibirnya lalu menjawab, "temen gue abis babak belur."

Ineffable (Tamat)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora