Part 19

1.6K 214 3
                                    

"Yer, cepet! Yang lain udah pada baris!" Seru Cecel tak sabaran dari ambang pintu ketika melihat Aerylin masih saja sibuk dengan kegiatannya.

"Bentar Cel, ikat rambut gue tiba-tiba nggak ada," sahut Aerylin sambil terus merogoh isi tasnya.

"Nggak usah diiket dulu rambut lo kalau gitu. Masih basah juga."

"Kan, lo tau sendiri. Waktu baris rambut nggak boleh digerai kecuali yang punya rambut pendek."

"Mangkanya, siapa suruh lo keramas pagi-pagi? Kalau udah kayak gini, repot sendiri, kan?"

"Semalem rambut gue lepek, Cel. Nggak enak kalau nggak dikeramasin,"

Kini dia mencoba mengecek kolong meja. Siapa tau ternyata ikat rambutnya tertinggal disana. Namun naas. Tidak ditemukan juga.

"Aduh, kemana lagi ikat rambutnya? Kenapa tiba-tiba ilang, sih." Gumam Aerylin seraya mengacak rambutnya asal. Salah satu ciri khas cewek itu kalau sudah hilang kesabaran.

Momo yang tak tega melihatnya, otomatis menghampiri Aerylin. "Seinget lo, lo taruh dimana ikat rambutnya?"

"Gue lupa, Mo. Tapi kalau nggak salah udah gue masukin ke tas, kok. Kenapa sekarang malah enggak ada?"

"Coba pelan-pelan dulu, dicarinya. Sekalian diinget-inget. Siapa tau lo salah naruh atau malah ketinggalan di rumah?" Tukas Momo. Dia ikut membantu mengecek setiap sisi dari tas Aerylin. Lebih teliti.

Barangkali memang ternyata tak sengaja terselip di tempat yang belum sempat Aerylin cari.

Satu menit berselang. Tapi tetap saja tidak ada tanda-tanda penemuan dari karet gelang milik Aerylin, membuat Cecel merasa gemas sendiri. Mata cewek berlesung pipi itu berpendar, mencoba mencari sebuah benda yang bisa dipakai untuk menguncir rambut Aerylin. Hingga akhirnya tatapannya jatuh pada kumpulan karet gelang yang tergeletak di atas meja Tetet, plesetan dari nama Rafael Mateo Dimitri.

Lantas, tanpa berpikir lagi dia langsung mengambil karet gelang tersebut lalu melangkah ke tempat Aerylin dan Momo berada.

"Iket rambut lo pake karet ini. Nanti kalau udah selesai baris, beli ikat rambut yang baru." Ucap Cecel sambil menyodorkan karet gelang tersebut kepada Aerylin.

"Lo dapet ini darimana?"

Cecel spontan memutar kedua bola matanya. "Nggak usah banyak nanyak dulu, Yer. Pake aja dulu. Kita udah hampir telat buat baris, nih."

Mendengar ucapan Cecel, Aerylin sontak mengikat rambutnya dengan asal. Meski rasanya sedikit sakit, namun tak apa. Daripada tidak diikat sama sekali. Toh, hanya sebentar. Tidak lama. Setelah itu, seperti kata Cecel, dia akan membeli ikat rambut yang baru.

"Selesai, kan? Gitu aja repot. Cecel gitu, loh!" Kata Cecel sambil meniup poni depannya. Sombong.

"Nggak usah banyak gaya. Mending kita baris. Daritadi bukannya lo yang kayak cacing kepanesan karena takut telat baris?" Tanya Momo sewot. Kontan dia menarik tangan Aerylin lalu berjalan melewati Cecel.

Cecel tercengang selama beberapa detik. Sebelum kemudian dia berteriak kesal. "YA! TUNGGUIN GUE!"

Segera dia menyusul kepergian kedua temannya itu dengan wajah bertekuk kesal. Begitu berhasil menyamai langkah mereka berdua, Cecel otomatis langsung menabok pundak Momo tanpa perasaan.

"Aww! Lo kenapa mukul gue?!" Mata Momo melotot. Bagai ibu-ibu kos yang sedang menagih biaya sewa.

"Kenapa lo tinggalin gue?!" Tanya Cecel balik.

Momo melirik Cecel sinis. "Males banget gue nungguin lo. Banyak gaya."

"Bilang aja lo sirik karena gue lebih cantik dari lo."

"Yang namanya cewek pasti cantik. Kalau ganteng baru cowok."

"Itu adalah ucapan seseorang untuk menyemangati dirinya sendiri. Dan lo salah satunya. Gue bener, kan?" Cecel menjentikkan jari dengan smirk yang terulas di bibir tipisnya.

Mendengar ucapan Cecel, refleks Momo membuang napasnya. Jengah. "Pede banget."

"Bukan pede. Tapi gue yakin banget kalau lo ngerasa tersaingi dengan kecantikan gue."

"Percuma cantik kalau nggak bisa dibawa mati. Daripada memperbanyak kesombongan, mending lo perbanyak amalan aja. Lebih berguna."

"Kayak yang paling bener aja." Cibir Cecel.

"Karena gue ngerasa masih banyak kekurangan mangkanya gue ingetin lo juga."

"Kenapa kalian malah bertengkar coba?" Aerylin yang sudah gerah mendengar perdebatan antara Momo dan Cecel yang kerap kali terjadi, langsung angkat suara. Cewek itu menghentikan langkahnya lalu membalikkan badan. Berhadap-hadapan dengan kedua temannya tersebut.

"Momo duluan yang nyari gara-gara."

"Kenapa jadi gue?"

"Ya, kan, lo tadi ninggalin gue, jambu!"

"Bukannya lo yang pengin cepet-cepet baris?"

"Tau. Cuma nggak dengan ninggalin gue dong!"

"Ya udah lah, sih. Ditinggal doang. Kan, lo bisa nyusul. Manja banget pake harus ditungguin segala."

"Apa lo bilang? Manja?!" Pekik Cecel tak terima. Yang kontan membuat Aerylin mengerutkan kening karena merasakan telinganya berdengung.

Sementara Momo hanya mengendikkan bahu tak mau tahu.

"Emang bener-bener lo, ya, Mo. Pengen banget ditumbalin ke buaya."

Aerylin memejamkan matanya, mencoba sabar. Perdebatan di antara keduanya ternyata belum berhenti. Malah semakin membara. Tak ada yang mau mengalah. Membuat Aerylin jadi kesal sendiri. Dan akhirnya memutuskan untuk pergi daripada menonton pertunjukan tak berfaedah tersebut.

Tidak peduli kalau nantinya Momo dan Cecel menjadi kesal karena dia tinggalkan.

Langkah kaki Aerylin membawanya menuju koridor jurusan IPA yang terhubung langsung dengan lapangan upacara. Namun, tepat ketika dia hendak berbelok menuju lapangan, sesosok pribadi bertubuh tinggi yang baru datang dari arah gerbang belakang sontak mencuri perhatian.

Aerylin berhenti begitu saja. Dengan mata sekelam langit malam miliknya yang terus mengikuti pergerakan orang itu hingga sebuah kesadaran karena merasa diperhatikan menghantam Si Pemilik tubuh tinggi tersebut.

Saat kepalanya menegak, kakinya mendadak terkunci. Menatap lekat cewek berwajah manis yang kini berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Dan yang terjadi kemudian adalah waktu seolah enggan untuk berdetak. Seakan membiarkan keduanya masuk ke dalam gelembung pancarona. Memunculkan peristiwa kemarin malam yang masih membekas di ingatan.

Tidak lama memang. Karena usikan dari suara dibalik speaker berhasil memecahkan gelembung warna-warni lamunan mereka. Membuat keduanya seketika tersadar dengan ekspresi yang berlawanan.

Sakha dengan ekspresi tak terbacanya. Dan Aerylin dengan wajah memerahnya.

Berdehem sejenak ketika tenggorokannya tiba-tiba terasa kering, Sakha lantas kembali melanjutkan langkah. Dengan pandangan lurus ke depan, dia melintasi Aerylin. Tanpa tahu jika ekor mata Aerylin sempat meliriknya sekilas.

Dan setelah Sakha sudah berjalan lumayan jauh, Aerylin pun memutar tubuh. Menatap punggung tegap itu lamat-lamat, bersama dengan beberapa pertanyaan yang timbul dalam kepalanya.

Mengapa bawah mata Sakha terlihat menghitam? Apa semalam dia tidak tidur?

Lalu, tentang luka dan plesternya. Wajahnya memang masih terlihat memar meski tidak seburuk saat pertama kali.

Tapi kenapa Sakha masih memakai plester yang dia berikan waktu itu? Apakah cowok itu tidak sempat menggantinya? Atau karena lukanya terlalu sakit?

Penampilannya juga tampak berbeda. Berantakan. Rambut mencuat kesana-kemari. Dasi yang tak tersimpul rapi. Serta seragam yang dibiarkan keluar. Karenanya, hal itu sedikit menganggu nurani Aerylin.

Ah, Sakha dan kehidupannya. Sangat tidak tertebak sama sekali.

~~~

Senin, 06 Juli 2020

Ineffable (Tamat)Where stories live. Discover now