Part 22

1.5K 222 15
                                    

Aerylin mengulurkan tangan, membiarkan telapaknya diguyur oleh rinai hujan. Awan mendung masih menggumpal tebal. Padahal, sudah terhitung satu jam nama lain dari presipitasi berwujud cairan itu jatuh menghantam bumi.

Namun, hingga kini, tak ada tanda-tanda kalau rintik-rintik air tersebut akan berhenti. Malah, lama kelamaan, semakin deras. Membuat Aerylin dengan terpaksa mengurungkan niatnya untuk pulang dan memilih meneduhkan diri di pos satpam.

Secara alamiah, dia menarik tangan dari terpaan hujan lalu memasukkannya ke saku jaket. Udara yang semakin dingin membuat tubuhnya ikut menggigil meski sudah tertutup lapisan kain hangat.

Matanya bergulir, menatap sekeliling sekolah yang tampak lenggang. Sebagian murid sudah pulang dengan kendaraan masing-masing ataupun dijemput. Termasuk Cecel dan Momo. Menyisakan kaum seperti Aerylin yang menunggangi kendaraan roda dua tanpa membawa jas hujan.

Salah satu bentuk dari kecerobohannya yang sudah mendarah daging.

Menit demi menit Aerylin lalui dalam kebosanan, sampai secangkir kopi tiba-tiba saja terulur ke hadapan, membuatnya sontak menolehkan kepala.

Berdiri sesosok anak Adam yang telah menjungkir balikkan suasana hatinya belakangan ini. Dengan rambut setengah basah dan hoodie berwarna hitam yang membalut tubuhnya, Sakha berhasil menciptakan sensasi menggelitik dalam perut Aerylin. Layaknya kupu-kupu yang tengah asyik berterbangan disana.

Untuk sejenak, Aerylin terpaku. Ditatapnya Maha Karya Tuhan itu lamat-lamat. Seolah tak mengizinkan kepalanya untuk berpaling cepat. Namun, alam seakan tidak setuju. Karena setelahnya, suara guntur terdengar menggelegar, yang sukses mengembalikan Aerylin pada kesadaran.

Dia menjerit. Ketakutan. Kedua tangannya refleks menutup telinga, dengan tubuh yang seketika gemetar. Tak menyadari kalau di waktu yang bersamaan, dia sudah berada dalam pelukan nyaman Sakha.

Bukan tanpa alasan Sakha bersikap demikian. Karena ketika dia melihat sorot ketakutan yang Aerylin pancarkan, tanpa terduga, sendi pelananya langsung bergerak. Melingkupi Aerylin dalam lingkaran lengannya yang bebas.

Membiarkan cewek berkulit langsat itu menuntaskan rasa ketakutannya terlebih dahulu. Tidak menghiraukan beberapa pasang mata yang memperhatikan mereka berdua dengan raut penasaran.

Setelah dirasa tubuh Aerylin lebih rileks, barulah Sakha melepas pelukan. Ditatapnya Aerylin yang tengah menunduk. Walau begitu, dapat terlihat semu merah yang menjalari pipi chubby Aerylin. Menimbulkan kuluman senyum dari bibirnya.

"Lo nggak apa-apa?" Tanya Sakha.

Tanpa menatap Sakha, Aerylin mengangguk. "I-iya, nggak apa-apa."

"Maaf udah lancang meluk lo."

Mendengar permintaan maaf Sakha, mau tak mau Aerylin mendongakkan kepala. Matanya mengerjap beberapa kali, sebelum kemudian kembali menunduk. Canggung rasanya jika diingatkan kembali tentang kejadian barusan.

"Iya. Nggak masalah."

Lalu, hening. Tak ada yang bersuara. Hanya bunyi jatuhnya air dari langit yang memecah suasana sunyi di antara mereka berdua. Hingga tatapan Aerylin tanpa sengaja tertuju pada cup kopi yang masih setia berada di genggaman jari-jari Sakha.

"Emm, kopinya..." Aerylin menggigit bibir bawahnya sambil menunjuk cup kopi.

Mengerti maksud cewek di depannya, cowok dengan tinggi mencapai 178 cm itu langsung mengangsurkan minuman berkafein tersebut pada Aerylin.

"Buat lo."

"Eh, tapi kenapa?" Tanya Aerylin bingung, tak sertamerta menerima.

Sakha mengendikkan bahu. "Gue nggak suka kopi."

"Terus, kenapa beli?"

"Bukan beli, Fathur yang kasih."

Aerylin manggut-manggut paham. Bibirnya kembali terbuka, hendak berbicara sebelum Sakha menyelanya.

"Ambil aja, capek tangan gue pegang ini dari tadi."

Tidak menghiraukan tatapan protes yang dilayangkan Aerylin, Sakha lantas menempatkan cup kopi di tangan cewek itu lalu bersedekap dada.

"Jangan sampai dibuang. Mubazir namanya." Titah Sakha.

"Kan, gue nggak minta!"

"Anggap aja, lo lagi butuh kopi." Ucap Sakha. Dia mengeluarkan topi baseball dari saku hoodie lalu memakainya.

"Liat di belakang lo." Itu adalah kalimat terakhir yang Sakha ucapkan sebelum akhirnya dia berlari kecil menuju parkiran. Menembus hujan yang masih berlomba untuk menjamah Si Kelereng Biru.

Aerylin yang mendadak diliputi rasa penasaran, kontan saja membalikkan badan. Keningnya seketika berkerut heran kala menemukan sebuah jas hujan berwarna baby pink tergeletak di kursi panjang bersama dengan secarik kertas di atasnya.

Aerylin mengambil kertas tersebut dan membacanya.

Makasi, ya. Bukan balas budi, tapi ini beneran dari hati.

Sekumpulan huruf yang ditulis tangan dengan rapi itu sukses membuat Aerylin tidak bisa berkata-kata. Hanya remasan kuat di kertas yang menjadi pelampiasan atas sesuatu yang tengah dia rasakan.

Alhasil, untuk mengurangi perasaan tak keruannya, Aerylin memilih untuk meminum kopi pemberian Sakha dengan tergesa, tanpa tahu kalau asap masih mengepul, pertanda kopi dalam keadaan panas.

"Hahh, panes!" Aerylin spontan menjulurkan lidahnya yang memerah sambil mengipasinya dengan kertas.

Astaga, Sakha. Kenapa selalu bikin Aerylin jadi nggak fokus sama sekitarnya?

~~~

Kalau kamu jadi Aerylin, apa yang bakal kamu lakuin? 😅

Terus ikuti cerita ini yaa, happy weekend 🥰

Minggu, 12 Juli 2020

Ineffable (Tamat)Where stories live. Discover now