Part 43

2.1K 242 4
                                    

"Gue nggak ikut."

Ini sudah yang kesekian kalinya Cecel membujuk Aerylin untuk datang ke sekolah, tapi cewek itu tetap menolak. Malah, dia semakin mengeratkan pelukannya pada guling dan memejamkan mata. Pengusiran secara halus.

Cecel mendengus. Kalau Aerylin tetap kekeh pada pendiriannya, maka Cecel juga tidak akan menyerah. Dia menggoyangkan tubuh Aerylin kencang. "Ayo, dong, Yer. Momo perlu semangat dari kita. Tega banget lo jadi sahabat."

Aerylin menggeleng sambil menenggelamkan wajahnya di bantal. "Sebelum-sebelumnya juga gue nggak pernah nonton pertandingan Momo, tapi tetep menang, kok."

Cecel menggertakkan gigi, gemas dengan tingkah Aerylin. "Tapi nggak apa-apa dong, sekali-kali nonton si Momo. Lo juga nggak ada kegiatan apa pun di rumah selain rebahan. Daripada sia-sia, mending dipake buat sesuatu yang lebih bermanfaat."

Aerylin tiba-tiba bangkit dari tidurnya, membuat Cecel hampir terjungkal karena tidak siap dengan pergerakan Aerylin.

"Lo kalau mau bangun, bilang, kek. Kalau gue jatuh, gimana?" tanya Cecel kesal.

Aerylin mendekatkan wajahnya ke wajah Cecel dengan raut penuh kecurigaan. "Gue tau kalau lo ke sini bukan cuma buat itu. Pasti karena Sakha, kan?"

Cecel kelabakan saat tebakan Aerylin tepat sasaran. "Kenapa lo ngiranya gitu?" tanyanya. Sebisa mungkin, dia bersikap normal.

Aerylin mencebik sambil bersedekap dada. "Karena lo nggak bakal peduli meski gue nggak dateng di pertandingan Momo. Ngaku aja. Sakha maksa lo? Atau dia iming-imingi lo sesuatu?"

"Ih, enggak gitu, kok."

"Terus apa?"

Cecel menghela napas pelan. Mau tak mau, dia memang harus jujur dengan Aerylin karena dia tidak punya waktu banyak. Sebentar lagi pertandingan akan dimulai.

"Yer, bukannya lo udah janji sama Sakha buat dateng ke pertandingan dia? Janji harus ditepati."

"Janji itu udah hangus waktu Sakha ketahuan peluk cewek di cafe. Lagi pula, gue yakin kalau pacar dia bakal dateng ke sana. Jadi, peran gue di sana sebagai apa?"

Cecel memperbaiki posisinya menjadi berhadapan dengan Aerylin. "Yer, dengerin gue. Alasan lo dateng ke pertandingan itu apa? Karena lo ngerasa jadi orang spesial di hidup Sakha? Berharap Sakha punya perasaan lebih ke lo? Kalau memang itu, pertemanan lo sama Sakha nggak murni. Lo nggak bener-bener pengin jadi temen Sakha, tapi lo pengin jadi pacar dia. Apa bedanya lo sama Kak Lauren?"

Aerylin hendak membantah semua yang Cecel katakan, tapi dia tak sanggup. Seolah ada palu yang memukul kepalanya. Apa bedanya dia dengan Kak Lauren? Dekat dengan Sakha hanya untuk menjadi pacarnya? Kemana pergi niat awalnya yang hanya sebatas rasa penasaran? Karena terlalu mengikuti kata hati, apa dia sekarang menjadi orang yang egois?

"Kalau lo nggak mau dateng, nggak masalah. Gue bisa dateng sendiri. Tapi jangan pernah nyesel sama keputusan lo ini. Dan jangan juga nyalahin Sakha kalau dia kecewa sama janji lo yang ingkar." Cecel bergerak turun dari tempat tidur Aerylin, tapi cepat-cepat ditahan cewek itu.

"Gue ikut, Cel." Meski pelan, Cecel tetap bisa mendengar suara Aerylin. Otomatis, senyum terukir di bibir Cecel. Akhirnya, dia berhasil!

~~~

Yel-yel penyemangat untuk masing-masing kubu pemain bergema di Gor Saraswati. Gerakan lincah dari anak-anak cheers semakin meramaikan suasana. Namun, Aerylin tidak bisa menikmati itu semua, karena fokusnya sudah diambil alih oleh cowok dengan nomor punggung 09 yang sedang melakukan dribble.

Ineffable (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang